*LASTRI
25*
Mardi menatap ibunya
tajam. Tak mengerti, atau mungkin mengerti tapi tidak setuju.
"Apa maksud ibu
?"
"Mardi, Lastri itu
gadis yang berbeda dengan gadis-gadis lainnya. Ibu Punya harapan atas dia, agar
bisa menjadi menantu ibu, jadi jangan sampai dia kembali kekota lagi."
"Ibu, ini tidak
benar. Ada yang kehilangan disana, dan kehilangan itu kan menyedihkan."
"Ibu tau, tapi
berapa lamanya orang sedih karena kehilangan? Dengan berjalannya waktu, dari
hari ke hari, kesedihan itu pasti akan hilang dengan sendirinya."
"Tapi bu, tampaknya
Lastri juga menderita. Mungkin salah satu dari lelaki ganteng yang pernah
datang kemari adalah kekasihnya."
"Jangan menduga
yang tidak-tidak. Kebanyakan orang kota tidak suka gadis-gadis desa yang
dianggapnya bodoh, dan terlalu lugu. "
"Tidak semua
bu"
"Kebanyakan begitu,
percayalah pada ibu."
Sore mulai temaram sa'at
itu, pembicaraan terhenti karena melihat Lastri mendekati rumah bu lurah. Bu
Lurah segera mengambil koran yang tadi dibaca anaknya dan membawanya masuk kedalam kamarnya.
"Kok sampai sore
Tri?" sapa Mardi ketika Lastri sudah masuk kedalam rumah.
"Iya, mbah Kliwon
bercerita banyak tentang masa kecilku, kang. Menyenangkan sekali," jawab
Lastri sambil tersenyum.
"Kamu juga
membicarakan tentang kebun milih mbah Surip?"
"Ya, itu yang
terpenting, aku sudah menyerahkan sejumpah uang pada mbah Kliwon. Besok dia
akan mulai membabati tanaman sayuran yang ada di bekas rumah simbah, dan akan
membeli apa-apa yang diperlukannya. Katanya tidak banyak, tapi aku bilang kalau
kurang harus ngomong sama aku."
"Kamu punya uang
banyak?"
"Ada tabungan,
nggak seberapa sih, sisa dari pembelian barang keperluan untuk gubug itu, kalau
masih ada, akan aku pergunakan untuk sesuatu yang entah apa, untuk menyambung
hidupku kang."
"Lastri, aku akan
membantu kamu."
"Terimakasih kang,
tapi aku nggak mau merepotkan siapapun. Dengan tinggal disini saja aku sudah
merasa merepotkan."
"Lastri, kamu itu
sudah aku anggap sebagai keluarga sendiri, jangankan tinggal disini untuk
beberapa hari, biar selamanya juga boleh," kata bu lurah yang tiba-tiba
muncul.
"Ah, bu lurah, mana
mungkin saya bisa melakukannya. Saya berharap mbah Kliwon bisa segera
menyelesaikan gubug itu, sehingga saya tidak terlalu lama menyusahkan bu
lurah."
"Siapa bulang merepotkan,
aku tuh hanya punya satu anak, laki-laki, aku ingin anak perempuan, jadilah
anakku," kata bu lurah sambil menepuk bahu Lastri.
"Terimakasih banyak
bu, senang sekali bisa menjadi anak bu lurah," lawab Lastri sambil masuk
kebelakang.
"Saya mau mandi
dulu, seharian belum mandi." lanjutnya.
"Tri, didapur ada
satu ceret berisi air panas, mandilah dengan air panas, udara sudah
dingin."
"Ya bu, nanti saya
pergunakan kalau merasa kedinginan.."
Bu Lurah tersenyum. Ia
senang memandangi Mardi memperhatikan Lastri tanpa berkedip.
"Bukankah dia
cantik? Belum mandi juga tetap saja dia cantik." ujar bu Lurah.
"Ah ibu,"
Mardi hanya tersenyum. Sedikit tergugah, tapi dia lebih menyadari perasaan
Lastri itu seperti apa. Bukankah kalau Lastri menolak maka dia akan patah hati?
Karenanya Mardi tak terlalu hanyut pada wajah sempurna yang juga menarik hati
ibunya itu.
*
"Bayu, besok kan ibumu ulang tahun?"
kata pak Marsudi pada suatu malam, ketika bu Marsudi sudah berada dikamarnya.
"Iya, Bayu hampir
lupa. Besok Bayu akan membelikan sesuatu buat ibu," jawab Bayu.
"Maksud bapak, kita
akan mengadakan pesta kecil-kecilan disebuah rumah makan, bapak akan memesankan
tempat dan menunya untuk besok malam."
"Itu bagus pak,
terserah bapak saja."
"Bapak juga akan
mengundang semua karyawan dikantor, agar membawa keluarganya untuk ikut
merayakannya."
"Mengapa harus
mengundang orang lain sih pak?" protes Bayu yang tidak suka suasana ramai
dan yang hingar bingar.
"Sudah lama kita
tidak melakukannya untuk ibumu. Ini kejutan yang semoga bisa menyenangkan hati
ibumu."
"Kalau begitu Bayu
tidak usah ikut ya pak, cukup akan memberi hadiah untuk ibu dihari istimewa
itu."
"Ya harus ikut dong
Yu, anak buah bapak akan bapak suruh membawa keluarhanya, masa bapak yang hanya
punya kamu dan ibumu saja lalu kamu tidak mau hadir."
"Bayu nggak suka
suasana ramai begitu."
"Justru suasana
menyenangkan itu yang akan membuat kamu terhibur."
"Tapi...."
"Bayu, sudah
bertahun-tahun kita tidak membuat kejutan buat ibumu, yang memang selalu
menolak kalau hari ulang tahunnya dirayakan. Kali ini kita akan memaksa ibumu
tertawa bersama banyak orang."
Bayu akhirnya menyerah.
Dia berjanji tak akan berbaur dengan tamu-tamu ayahnya.
"Baiklah, terserah
bapak saja. Tapi bolehkah Bayu mengundang juga Sapto dan mas Timan?"
"Timan.. yang
penjual buah itu?"
"Iya, Timan siapa
lagi?"
Pak Marsudi menampakkan
wajah tak suka, tapi ia juga tak ingin Bayu kecewa.
"Ya, terserah kamu
saja."
"Bayu akan
mengundangnya sekarang ya pak."
"Ya, terserah kamu
saja."
Tapi Timan menolak untuk
datang karena merasa minder.
"Nggak mas Bayu,
saya mana pantas duduk bersama dengan para pejabat, para pengusaha.."
"Ini yang
mengundang aku mas, jangan merasa rendah, mas Timan kan sahabatku," Bayu
memaksa.
"Gimana ya, pasti
nanti saya merasa kikuk."
"Nggak, nanti kita
akan duduk menjauh dari mereka. Pokoknya tidak usah memperdulikan mereka,"
kata Bayu yang ketika menelpon itu menjauh dari ayahnya, sehingga pak Marsudi
tidak mendengar kata-kata Bayu yang pasti akan membuat pak Marsudi marah.
"Begitu ya
mas?"
"Iya, nanti mas
Timan aku jemput, dan aku antarkan pulang."
"Oh, jangan mas,
nggak usah. Baiklah, besok saya akan mencoba datang/"
"Ini bener lho,
awas ya, kalau nggak datang aku pasti akan menjemput kerumah mas Timan."
Timan tertawa.
"Iya, saya
janji."
*
Pak Marsudi memesan
tempat disebuah restoran mewah, ia juga meminta agar ruangan yang dipesannya
berhiaskan bunga-bunga segar yang
cantik. Aroma bunga memenuhi ruangan yang sudah ditata dengan apik.
Anak buahnya yang
rata-rata sudah setengah tua datang dengan membawa keluarganya. Ada yang
namanya pak Dirman, datang membawa anak gadisnya yang cantik.
"Tuh kan, aku tau
maksud bapak," kata hati Bayu ketika melihat anak pak Dirman.
Ia menoleh kearah pintu,
Sapto dan Timan yang diundangnya belum tampak datang. Bayu mengeluarkan
ponselnya untuk menelpon mereka ketika tiba-tiba pak Marsudi memanggilnya.
"Bayu, kesini dulu,
bapak ingin kamu berdiri disamping bapak dan ibumu, untuk mengucapkan selamat
datang kepada tamu-tamu kita."
"Aduuh, Bayu
sungkan pak," jawab Bayu dengan wajah muram.
"Bayu, menurutlah
apa kata bapak," bujuk bu Marsudi karena merasa apa yang dikatakan
suaminya itu benar.
Bayu menghela nafas,
urung menarik ponselnya karena bapaknya sudah berdiri dan menggandeng tangan
ibunya.
Bayu melangkah perlahan
lalu berdiri disebelah kiri ibunya, tapi ayahnya menariknya agar Bayu berdiri
ditengah tengah, diantara ayah ibunya.
Hadirin yang kira-kira
berjumlah limapuluhan itu memperhatikan keluarga berbahagia itu dengan penuh
perhatian. Tak sengaja Bayu melirik kearah gadis bergaun hijau muda yang juga sedang memperhatikannya. Gadis itu
cantik. Matanya bening hidungnya mancung, wajahnya tirus, kulitnya keputihan,
Tapi kemudian Bayu memalingkan mukanya kearah lain.
Pak Marsudi mengucapkan
salam, dan mengucapkan terimakasih atas kehadiran tamu-tamunya.
"Hari ini isteri
saya berulang tahun. Hal yang jarang sekali saya lakukan dengan mengundang
saudara-saudara sekalian, tapi kali ini saya ingin melakukannya,"
lanjutnya.
Pak Marsudi bertepuk
tangan tiga kali, dan tiba-tiba seorang pelayan mendorong sebuah meja dengan
kue tart diatasnya. Kue tart yang menawan, dan membangkitkan selera. Meja
dorong dengan kue itu diletakkanya ditengah-tengah tamu-tamunya. Bu Marsudi
menyalakan lilin dengan angka 60 . Hampir semua berdecak kagum melihat wanita
berusia 60 itu masih tampak muda dan cantik.
Lalu seorang anak muda
yang duduk didepan sebuah orgen, mengalunkan denting-denting lagu ulang tahun.
Serentak semua tamu undangan berdiri dan bersama menyanyikan lagu yang sudah sangat populer itu dengan
bersemangat. Tepuk tangan yang meriah mengiringi berkumandangnya lagu itu
sampai selesai, kemudian pak Marsudi menyuruh isterinya meniup lilin dan memotong kuenya.Tepuk tangan
kembali bergema diruangan itu.
Bu Marsudi memotng
seiris kue, diberikan kepada pak Marsudi, dan pak Marsudi mencium kedua pipi
isterinya dengan mesra. Demikian juga ketika bu Marsudi menyerahkan sepotong
lagi untuk Bayu, Bayupun mencium ibunya, dan memeluknya erat.
Tepuk tangan tak
henti-hentinya bergema melihat adegan mesra ketiganya. Lalu para tamu bergerak
menyalami bu Marsudi dan memberikan ucapan-ucapan yang manis. Bayu ingin
mundur, tapi pak Marsudi menarik lengannya, karena para tamu juga menyalami pak
Marsudi dan tentu saja Bayu juga harus tetap berdiri disitu dan menerima salam
dari semuanya.
Ketika giliran gadis bergaun
hijau muda itu, Bayu merasa bahwa gadis itu mnggenggam tangan lebih erat dari
lainnya. Atau boleh dikata meremasnya. Bayu tak bergeming, perlahan ia
melepaskan genggaman itu karena dibelakangnya ada tamu lain yang menunggu.
Begitu acara salam
menyalami itu selesai, tamu undangan dipersilahkan menikmati hidangan yang
sudah disediakan. Bayu tiba-tiba menghilang dari samping orang tuanya. Ia
melihat kedua tamunya sendiri yaitu Sapto dan Timan memasuki ruangan. Bayu menyambutnya dengan
ramah, lalu mengajaknya duduk ditempat yang terpisah.
"Saya ingat, mas
ini yang dulu hampir menghajar saya kan?" kata Sapto begitu mengenali
Timan."
"Ma'af mas, saya
hanya ingin menjaga Lastri."
"Dia hampir
menghajar kamu, tapi aku sudah terlanjur menghajarnya," lalu ketiganya
tertawa. Mereka sudah saling cerita tentang kejadian itu.
Bayu mengajak mereka
makan, tapi Sapto mengajak menemui bu Marsudi dulu untuk memberi ucapan
selamat.
Bu Marsudi senang
melihat keduanya datang.
"Terimakasih nak,
ibu senang kalian datang, ayo sekarang silahkan menikmati hidangan. Bayu, ajak
mereka makan," katanya kemudian kepada Bayu.
Ketika ketiganya sedang
makan disebuah meja terpencil, tiba-tiba pak Marsudi datang dengan menggandeng
gadis bergaun hijau muda itu. Bayu langsung menampakkan wajah muram.
"Bayu, kenalkan,
ini anaknya rekan kerja bapak dikantor, namanya Anggraeni, bapaknya
memanggilnya Reni."
"Oh, iya, tadi
sudah salaman." kata Bayu singkat.
"Biarkan dia ikut
semeja disini, kasihan dia nggak ada teman, semuanya tua-tua."
"Oh, tapi kami akan
segera pergi."
"Lho, pergi kemana
?"
"Ada teman sekolah
kami juga yang ulang tahun, kami mau kesana setelah makan ini, ya kan
Sap?"
Sapto terkejut, Bayu
mengarang cerita, pasti untuk menghindari si cantik ini. Tapi rupanya sifat
iseng Sapto masih tersisa.
"Nggak apa-apa Yu,
biar adik ini duduk sebentar bersama kita."
Bayu menyepak kaki
Sapto, seperti yang sering dilakukannya ketika Sapto mengganggu Lastri. Sapto
memelototi Bayu dengan marah. Bayu menyibukkan dirinya menyendok makanan yang
sudah diambilnya. Timan hanya terdiam, dia tak seberani Sapto dalam menghadapi
gadis-gadis.
"Nah, tuh nak Sapto
mau kok. Reni, duduklah disini sebentar saja."
Dan celakanya Reni
menurut apa kata pak Marsudi. Jadi dimeja itu mereka kemudian duduk berempat.
Bayu kesal bukan alang kepalang. Tapi ia bersyukur karena Sapto lah yang lebih
aktif berbicara, bahkan tukar menukar nomor kontak segala.
*
Pagi hari itu Lastri
pergi kerumah mbah Kliwon, ada beberapa orang kampung yang membantu
membersihkan kebun.
"mBah, Lastri mau
memasak untuk mereka-mereka yang bekerja, membuatkan minum dan makan."
"Iya Tri, aku sudah
belanja beras, sayuran bisa mencari dikebun, dan juga bumbu-bumbunya."
"Oh, terimakasih
mbah, Lastri tinggal memasak saja."
Mbah Kliwon sudah lama
hidup menduda. Ia sudah biasa menanak nasi sendiri dan juga memasak sayur, jadi
dia tau apa yang harus dibeli untuk keperluan itu.
Lastri senang
melakukannya. Orang-orang desa dengan suka rela membantu apabila ada warga yang
membutuhkannya.. Mbah Kliwon bilang, besok sudah bisa mulai membuat rumah untuk
Lastri. Lastri bersemangat sekali. Tidak lama lagi ia akan tinggal digubugnya
sendiri, dan tidak akan merepotkan bu lurah lagi.
Sore harinya kebun itu sudah bersih. Lastri pulang kerumah
bu lurah dengan wajah berseri. Ia yakin akan pulang dan benar-benar pulang
untuk meninggalkan kenangan yang membuat batinnya teriris. Setiap kali
ingatannya melayang kewajah Bayu, segera ditepisnya. Tapi alangkah susah
melupakannya. Wajah ganteng dengan senyuman menawan, ya Tuhan, hilangkan dia
dari ingatan hamba. Selalu pintanya, tapi tak pernah ia bisa melakukannya.
Hanya linangan air mata yang selalu mengiringinya, setiap menjelang tidur
ketika mengingatnya.
*
Pagi hari itu Lastri
sudah memasak dirumah mbah Kliwon. Hari itu barang yang dipesan mbah Kliwon
akan datang. Ketika menyiapkan makan
bagi orang-orang yang membantunya, didengarnya suara mobil mendekat, Lastri
keluar untuk melihat, apa saja pesanan mbah Kliwon. Itu sebuah colt terbuka,
membawa pasir dan batu bata.
Oh tidak, dibelakangnya
masih ada lagi sebuah colt lain, berisi keramik semen dan genting. Lastr
terkejut bukan alang kepalang. Ia berteriak memanggil mbah Kliwon, ia yakin
mbah Kliwon salah memesan.
"mBah...
mbah..."
Lastri tak perlu
mengulang teriakannya karena mbah Kliwon telah berada didekat colt itu.
"mBah, ini pesanan
kita? Mana atap rumbai.. anyaman bambu.. "
"Tidak nduk, simbah
nggak memesan anyaman bambu dan atap rumbai."
"Apa maksud mbah
Kliwon?"
Lastri terkejut ketika
pasir tiba-tiba sudah diturunkan didepan rumah mbah Kliwon, dan batu bata, dan
genting, dan....
"mBah..!"
Lastri berteriak.
"Lastri tak akan
bisa membayar semua ini mbah, ini mahal." Lanjutnya seperti orag
kebingungan.
"Tri, kamu tidak
usah membayar semua ini,"
"Apa maksudnya
mbah?"
"Ini semua bu lurah
yang memesannya."
"Apa?"
"Kamu jangan marah
sama simbah. Ini semua kemauan bu lurah, tadi malam dia datang kemari dan
memberikan sejumlah uang, jadi kamu tidak usah membayarnya. Ini sudah lunas
nduk."
"Tidaaaaak..."
Lastri berteriak.
Bersambung
&&&&&&
*LASTRI
26*
"Apa maksudmu Lastri..
ini anugerah, jangan menampik rejeki. Ini uangmu juga aku kembalikan, bu lurah
yang menyuruhnya," kata mbah Kliwon sambil mengulurkan amplop yang semula
diberikan Lastri untuk membeli semua bahan-bahan yang diperlukan.
"Tidak mbah, saya
tidak mau berhutang terlalu banyak. Bu lurah sudah memberi saya tumpangan, dan
sekarang membuatkan saya rumah? Tidak mbah..." kata Lastri sedikit keras,
sambil matanya berkaca-kaca. Lalu ia berjalan pergi menuju rumah bu lurah.
Dalam perjalanan itu ia
melihat seorang gadis berjalan berlawanan dengan arahnya. Gadis itu menatapnya
tajam, tapi Lastri tidak memperdulikannya. Ia harus segera tiba dirumah bu
lurah dan mendapatkan penjelasan
darinya.
"Lastri !!"
ada suara memanggilnya, rupanya setelah bersimpangan gadis itu mengingat siapa
dirinya. Lastri menoleh sejenak, lalu melambaikan tangannya, tanpa ingin tau
siapa dia. Lastri terus melangkah.
Ketika tiba dirumah bu
lurah, dilihatnya bu lurah sedang menggoreng ikan. Bau gurih menyergap
hidungnya, tapi Lastri tak bereaksi apapun tentang aroma gurih itu .
"Bu, mengapa ibu
melakukannya?" katanya dengan wajah kusam.
"Eh, Lastri, kamu
mau makan dirumah saja? Ibu sedang menggoreng ikan, tadi Mardi menangkapnya
dari kolam dibelakang," ujar bu lurah masih dengan kesibukannya menggoreng
dan hanya menoleh sekilas pada Lastri.
"Bu, mohon
dijelaskan, mengapa ibu melakukannya?" kata Lastri lagi.
Gorengan ikan itu sudah
matang dan kering, bu lurah mengentasnya, lalu mematikan kompornya.
Dipandanginya Lastri yang menatapnya tajam.
"Lastri, ada apa
kamu ini?"
"Bu.. tadi ada
barang-barang datang.."
"Oh, sudah datang
ya, syukurlah, biarlah mbah Kliwon mengaturnya." kata bu lurah yang
kemudian mencari sebuah piring untuk wadah ikan gorengnya.
Lastri mengambil piring
itu dan membantu meletakkan ikan diatasnya, kemudian meletakkannya dimeja.
"Itu bukan
barang-barang yang Lastri pesan bu," kata Lastri masih dengan posisi
berdiri. Bu lurah heran melihat Lastri tidak tampak gembira.
"Lastri, nanti rumahmu tidak akan beratapkan rumbai dan
berdinding anyaman bambu, juga bukan beralaskan tanah kering. Aku sudah
mengurus semuanya Kamu tidak usah memikirkannya."
"Lastri tidak
mengharapkan rumah bagus bu, Lastri ingin melakukan sendiri semampu
Lastri."
"Mengapa kamu
berkata begitu Lastri, bukankah lebih nyaman tinggal dirumah yang bagus?"
"Tidak bu, ini
diluar kemampuan Lastri. Bukan itu yang Lastri inginkan..Itu terlalu mewah buat
Lastri. Bisakah barang-barang itu dikembalikan?"
Bu lurah menatap Lastri
tak percaya. Diberi kebaikan sebesar itu, diberi kenikmatan untuk tinggal
dirumah bagus, dan dia menolak?
"Lastri, aku tak
mengerti.."
"Bu, bisakah
barang-barang itu dikembalikan?"
"Mana mungkin
Lastri, itu sudah dibayar lunas. Engkoh penjual itu bia marah sama ibu."
Lastri terdiam. Dia juga
tak ingin bu lurah kena marah. Tapi dia juga tak bisa menerima kebaikan sebesar
itu. Berhutang budi itu sangat berat. Tak ada gambaran dia akan bisa
membalasnya. Dia hanya memiliki sedikit uang, tapi ia akan mempergunakan uang
itu sebagai modal usaha. Dia belum memikirkan usaha apa, tapi hidupnya harus
terus berlanjut dan usaha itu harus ada.
"Tri, ibu tau,
hatimu begitu keras. Ibu juga tau kamu tak ingin berhutang budi. Bagaiman kalau
biarkan saja barang-barang itu, dan biarkan pembangunan rumah itu dilnjutkan, tapi nanti, kamu bisa
membayarnya dengan mencicil sekuat kamu bisa," kata bu lurah sambil
menggenggam kedua telapak tangan Lastri erat-erat.
Kekagumannya pada Lastri
bertambah, dan keinginannya untuk mengambil menantu juga semakin kuat. Jarang
ada gadis seperti Lastri.
"Sampai kapan bu?
Lastri tak punya apa-apa," katanya sedih.
"Kamu kan ingin
berusaha, mungkin berjualan, Atau apalah yang kamu pernah utarakan itu,
sedikit-sedikit pasti kamu bisa dan akan aku terima. Sungguh, jangan semua yang
aku lakukan kemudian membebani diri
kamu, Lastri." kata bu lurah yang ingin mengendapkan ketersinggungan
Lastri atas apa yang dilakukannya.
Lastri terdiam, semuanya
memang sudah terlanjur, Kalau kemudian menolak mentah-mentah juga akan membuat
bu lurah tersinggung.
"Lastri, ma'afkan
aku ya, aku telah melakukan semuanya
tanpa memberi tau kamu dulu, Sebenarnya aku ingin membuat kejutan yang semoga
bisa menyenangkan kamu. Aku tak menyangka bahwa ini justru membuat kamu tersinggung.
Ma'af ya Tri," kata bu lurah penuh sesal.
Tak urung hati penuh
kasih itu luluh. Tak bisa menolak, tapi
dengan janji akan mengganti semuanya. Lalu ia bertanya pada mbah Kliwon, berapa
habisnya, kemudian dia mencatatnya.
*
Tumpukan matrial itu
tetap dikerjakan. mBah Kliwon juga mengembalikan semua uang yang telah Lastri
berikan.
Dalam memasak makanan
untuk orang-orang yang mengerjakan pekerjaan itu, Lastri berfikir keras, apa
yang akan dilakukannya agar bisa mengembalikan uang bu lurah yang telah dikeluarkannya
demi membangun rumah untuknya.
Ketika Lastri sibuk
mengentas nasi, tiba-tiba seseorang masuk begitu saja kedapur mbah Kliwon.
"Lastri, kamu
sombong ya, mentang-mentang dikasih rumah sama bu lurah, terus nggak mau kenal
sama aku," kata orang yang baru masuk itu tadi.
Lastri menoleh,
dilihatnya seorang gadis, berdiri sambil menatapnya tajam. Lastri
mengingat-ingat. Ah ya, bukankah gadis itu yang ketemu ketika dia sedang
terburu-buru kerumah bu lurah? Lastri mengulurkan tangannya, dia lupa siapa
yang sudah mengetahui namanya itu.
"Ma'af aku lupa,
mbak siapa ya?"
"Nggak usah mbak
mbek, dulu kamu kan manggil aku yu, ya sudah yu saja lebih enak," kata
gadis itu.
Lastri tersenyum, gadis
itu kalau ngomong ceplas ceplos. Lastri mencoba meng ingat-ingat. Oh ya, ada
tahi lalat dibibir gadis itu. Lastri menggenggam erat tangannya.
"Kamu yu Marni
kan?"
"Tuh kamu ingat.
Waktu kecil kamu cengeng. Dikit-dikit menangis, diganggu sedikit bawaannya
menangis, lalu kami dijewer sama mbah Surip." kata gadis yang memang Marni
itu.
"Anakmu sudah
berapa yu?" tanya Lastri sambil tertawa.
"Anakku? Aku belum
menikah, tau? Baru menunggu kalau ada yang ngelamar."
"Oh ya? Tampaknya
sudah ada ya yu?"
"Sudah ada sih,
tapi nggak tau kapan aku dilamar. Orang tuaku juga sudah bertanya terus."
"Wah, ikut seneng
yu, siapa calonmu itu?"
"Ya itu, dia... si
lurah muda," katanya sambil tersipu.
"O, kang Mardi? Ya
ampun, seneng aku yu... kapan nikahnya?" tanya Lastri dengan wajah
berseri. Ia tak menduga Marni adalah calonnya Mardi. Nanti pasti dia akan
menggodanya. Pikir Lastri.
"Nggak tau aku Tri,
sudah pacaran lama, nggak ada ujungnya. Ibunya itu sekarang sama aku malah
kelihatan acuh tak acuh." sungut Marni.
"Masa sih yu
?"
"Iya, aku kan ya
punya perasaan. Kalau mas Mardi sih tetep baik."
"Pacaran sudah lama
?"
"Kami sudah lama
dekat, kalau pacaran, atau cinta-cintan sih belum, tapi mas Mardi selalu
bersikap manis sama aku."
"Memang yu Marni
kan manis," canda Lastri.
"Ih, kamu. Aku
justru takut kalau mas Mardi jatuh cinta sama kamu."
"Lhoooo..."
Lastri melotot.
"Habisnya, kamu
sekarang cantik, aku iri sama kamu."
"Biasa saja yu,
perempuan itu semua juga cantik, mana ada perempuan ganteng."
"Tapi kamu memang
cantik lho. Terus bu lurah kok baik banget sama kamu? Itu rumah kan bu lurah
yang kasih uangnya," kata Marni dengan nada cemburu.
"Aku juga nggak tau
yu, tadi kan aku sempat menolaknya." Kemudian Lastri berfikir. Apa yang
dilakukan bu lurah untuknya rupanya telah tersebar keseluruh desa.
"Jangan-jangan kamu
mau diambil menantu Tri," kata Marni sambil menatap tajam Lastri, mencari
kebenaran atas tebakannya.
"Waduh, nggak lah
yu.. aku nggak mikir begitu. Aku masih ingin sendiri."
"Kamu sudah punya
pacar dikota?"
Lastri terdiam, wajah
Bayu melintas dibenaknya, senyum itu, aduhai, wajah Lastri langsung menjadi
sendu.
"Kamu pulang karena
patah hati?"
"Sudah yu, jangan
banyak tanya, ayo bantuin aku mengaduk sayurnya itu. Sebentar lagi waktunya
makan siang." kata Lastri sambil melanjutkan mengentas nasi kedalam ceting
bambu.
"Baiklah, hm...
sayur bobor daun lembayung ya Tri, enaknya.. aku mau lho."
"Boleh dong, nanti
kita makan bersama-sama."
*
Malam itu Lastri sedang
melamun sendirian didepan rumah. Udara dusun yang sejuk lembut mengelus
tubuhnya. Lastri memandangi bintang-bintang bertabutan dilangit sana,.
"Wahai bintang,
apakah kau bintang yang sama yang bisa dipandangi kekasih hatiku? Kalau ya,
sampaikan salamku, katakan, jangan bersedih karena kepergianku, Temukan gadis
yang lebih baik dari aku," bisiknya perlahan sambil memandangi
bintang-bintang yang seakan berkedip manja.
"Alangkah rindunya
aku," bisiknya lagi lalu ia keluar kehalaman agar puas memandangi langit
indah malam itu.
Setitik air matanya
menetes, lalu segera dihapusnya.
"Jangan lagi ada
tangis, jangan lagi ada duka karena kepergian ini," bisiknya lagi.
Lastri tak sadar,
sepasang mata mengawasi gerak geriknya,
mengawasi ketika ia mengusap air matanya. Lalu pemilik sepasang mata itu ikut
turun kehalaman, dan berbisik ditelinganya.
"Rindu sama
siapa?"
Lastri terkejut setengah
mati. Rupanya kang Mardi mendengar apa yang dibisikkannya.
"Kamu kelihatan
sedih Tri, sebenarnya ada apa? Bisakan aku membantumu?"
"Kang Mardi, kamu
sudah banyak membantu aku, termasuk ibumu juga."
"Ibu menyesal
melakukan itu tanpa sepengetahuanmu."
"Ya, sudahlah, mau
bagaimana lagi."
"Kamu sedang
merindukan seseorang? Alangkah bahagianya orang itu," kata Mardi sambil
tersenyum.
"Ayo duduk diteras,
lama-lama dingin," kata Lastri yang sebenarnya ingin mengalihkan
pembicaraan."
Keduanya duduk diteras
rumah.
"Kamu belum
menjawab pertanyaanku." kata Mardi ketika mereka sudah duduk berdua.
"Pertanyaan yang
mana sih kang?"
"Kamu rindu pada
seseorang bukan?"
Lastri menghela nafas.
"Aku hanya gadis
dusun, siapa yang mau aku rindukan? Oh ya, bagaimana dengan yu Marni?"
tanya Lastri menglihkan pembicaraan.
"Kamu ketemu sama
Marni?"
"Ya, manis ya kang,
tahi lalat dibibirnya itu yang membuat dia bertambah manis."
"Masa?"
"Jangan pura-pura
kang. Kamu itu sudah pantas punya isteri, masa pak lurah kok bujangan? Lamar
dong dia."
"Kamu ini ada-ada
saja."
"Yu Marni bilang,
sedang menunggu dilamar kamu."
"Dia bilang begitu?"
"Iya benar, masa
aku bohong. Tadi siang kami bicara banyak. Yu Marni cinta banget sama kang
Mardi."
Mardi menghela nafas
panjang.
"Mas Mardi juga
cinta kan sama dia?"
"Dia gadis yang
baik, cuma agak sedikit kecentilan. Kadang-kadang berlebihan. Ibu kurang suka
sama dia."
"Memang dia itu
kalau ngomong ceplas ceplos, tapi aku suka, dia itu polos. Lamarlah kang,
kasihan, dia kan sudah lebih tua dari aku, dibawah kamu sedikit. Pas lho
kang."
"Benarkah?"
"Benar, percaya deh
sama aku."
"Nanti aku mau bicara
sama ibu."
"Ya kang, bicara
dan katakan apa yang menjadi kelebihan dia. Pasti bu lurah akan suka."
Mardi terdiam, kalau
saja Lastri tau, bahwa Lastri lah yang diharapkan menjadi menantunya..
"Kok terus ngelamun
mas."
"Pertanyaanku tadi
jawab dulu dong Tri."
"Lhah, kok kembali
lagi kesitu."
"Sebenarnya aku
tau, bahwa kamu pulang kemari karena ada masalah, dan masalah itu adalah cinta.
Benar kan?"
Lastri menghela nafas
panjang, dipandanginya lagi langit, dan matanya berkejap, seakan membalas
kerdipan bintang yang sedang ditatapnya.
"Kamu sangat
mencintainya?"
"Dia tak ada
duanya," bisiknya lirih, masih dengan menatap bintang diatas sana.
Jawaban itu membuat
Mardi membunuh semua angan-angan yang pernah terlintas dihatinya. Beruntung
Mardi sangat berhati-hati dalam bersikap. Sekarang dia tau, Lastri tak akan
pernah menerima keinginan ibunya. Tapi Mardi tidak sakit hati, juga tidak
merasa patah hati. Cukuplah Lastri sebagai sahabat, atau saudara.
"Kejarlah cinta
itu," bisik Mardi perlahan. Lastri menoleh, menatap laki-laki muda
disampingnya, lalu saling melemparkan senyum.
Tiba-tiba Lastri juga
teringat kata-kata mbah Kliwon. Mirip apa yang dikatakan Mardi. Pegang erat
cintamu, dan mata Lastri kembali berkaca-kaca.
*
Pagi itu Lastri bersiap
akan berangkat ke rumah mbah Kliwon. Ia harus membuatkan minuman para tetangga
yang membantunya. Kemarin mbah Kliwon mengunduh pisang di kebun. Pisang kepok
yang sudah matang pohon. Lastri akan membuat nagasari. Ia sudah membeli tepung
beras dan memetik daun pandan dikebun.
Ia berpamit pada bu
lurah, lalu melangkah keluar. dirumah itu ia berpapasan dengan Marni yang
membawa bungkusan.
"Tunggu Tri, aku
akan membantu kamu. Aku sudah membuat pipis katul yang legit, dan sudah aku
tinggalkan dirumah mbah Kliwon, bisa untuk camilan yang pada bekerja kan? Tapi
sebentar aku menemui bu lurah dulu. Tungguin aku ya." pesan Marni.
"Ya yu,
cepatlah."
"Bu lurah..."
teriak Marni didapur.
"Eh kamu itu kalau
datang selalu membuat aku terkejut. Ada apa?" tanya bu lurah yang oleh
Lastri dinilai kurang ramah.
"Ma'af bu. Mas
Mardi mana?"
"Baru mandi, ada
apa sih?"
"Nggak apa-apa,
cuma nanya aja. Ini bu, pipis katul buatan Marni, kan mas Mardi suka."
"Walah, sudah to
Ni, jangan suka repot-repot untuk Mardi. Dengar ya, Mardi itu sudah punya calon
isteri."
"Apa bu?"
tanya Marni pelan, karena diliputi hati yang sakit.
"Iya, dia sudah
punya calon. Kamu tau Lastri kan? Dia itu calon menantuku."
Marni terdiam, Lastri
yang menunggu diruang tengah terkejut. Ia buru-buru keluar dari rumah, agar
Marni mengira dia tak mendengar kata-kata bu lurah yang menyakitkan itu.
*
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar