Selasa, 28 April 2020

LATRI (25-26)

*LASTRI 25*

Mardi menatap ibunya tajam. Tak mengerti, atau mungkin mengerti tapi tidak setuju.
"Apa maksud ibu ?"

"Mardi, Lastri itu gadis yang berbeda dengan gadis-gadis lainnya. Ibu Punya harapan atas dia, agar bisa menjadi menantu ibu, jadi jangan sampai dia kembali kekota lagi."

"Ibu, ini tidak benar. Ada yang kehilangan disana, dan kehilangan itu kan menyedihkan."
"Ibu tau, tapi berapa lamanya orang sedih karena kehilangan? Dengan berjalannya waktu, dari hari ke hari, kesedihan itu pasti akan hilang dengan sendirinya."

"Tapi bu, tampaknya Lastri juga menderita. Mungkin salah satu dari lelaki ganteng yang pernah datang kemari adalah kekasihnya."
"Jangan menduga yang tidak-tidak. Kebanyakan orang kota tidak suka gadis-gadis desa yang dianggapnya bodoh, dan terlalu lugu. "

"Tidak semua bu"
"Kebanyakan begitu, percayalah pada ibu."

Sore mulai temaram sa'at itu, pembicaraan terhenti karena melihat Lastri mendekati rumah bu lurah. Bu Lurah segera mengambil koran yang tadi dibaca anaknya  dan membawanya masuk kedalam kamarnya.

"Kok sampai sore Tri?" sapa Mardi ketika Lastri sudah masuk kedalam rumah.
"Iya, mbah Kliwon bercerita banyak tentang masa kecilku, kang. Menyenangkan sekali," jawab Lastri sambil tersenyum.

"Kamu juga membicarakan tentang kebun milih mbah Surip?"
"Ya, itu yang terpenting, aku sudah menyerahkan sejumpah uang pada mbah Kliwon. Besok dia akan mulai membabati tanaman sayuran yang ada di bekas rumah simbah, dan akan membeli apa-apa yang diperlukannya. Katanya tidak banyak, tapi aku bilang kalau kurang harus ngomong sama aku."

"Kamu punya uang banyak?"
"Ada tabungan, nggak seberapa sih, sisa dari pembelian barang keperluan untuk gubug itu, kalau masih ada, akan aku pergunakan untuk sesuatu yang entah apa, untuk menyambung hidupku kang."

"Lastri, aku akan membantu kamu."
"Terimakasih kang, tapi aku nggak mau merepotkan siapapun. Dengan tinggal disini saja aku sudah merasa merepotkan."

"Lastri, kamu itu sudah aku anggap sebagai keluarga sendiri, jangankan tinggal disini untuk beberapa hari, biar selamanya juga boleh," kata bu lurah yang tiba-tiba muncul.

"Ah, bu lurah, mana mungkin saya bisa melakukannya. Saya berharap mbah Kliwon bisa segera menyelesaikan gubug itu, sehingga saya tidak terlalu lama menyusahkan bu lurah."

"Siapa bulang merepotkan, aku tuh hanya punya satu anak, laki-laki, aku ingin anak perempuan, jadilah anakku," kata bu lurah sambil menepuk bahu Lastri.

"Terimakasih banyak bu, senang sekali bisa menjadi anak bu lurah," lawab Lastri sambil masuk kebelakang.
"Saya mau mandi dulu, seharian belum mandi." lanjutnya.

"Tri, didapur ada satu ceret berisi air panas, mandilah dengan air panas, udara sudah dingin."
"Ya bu, nanti saya pergunakan kalau merasa kedinginan.."

Bu Lurah tersenyum. Ia senang memandangi Mardi memperhatikan Lastri tanpa berkedip.

"Bukankah dia cantik? Belum mandi juga tetap saja dia cantik." ujar bu Lurah.

"Ah ibu," Mardi hanya tersenyum. Sedikit tergugah, tapi dia lebih menyadari perasaan Lastri itu seperti apa. Bukankah kalau Lastri menolak maka dia akan patah hati? Karenanya Mardi tak terlalu hanyut pada wajah sempurna yang juga menarik hati ibunya itu.
*

 "Bayu, besok kan ibumu ulang tahun?" kata pak Marsudi pada suatu malam, ketika bu Marsudi sudah berada dikamarnya.

"Iya, Bayu hampir lupa. Besok Bayu akan membelikan sesuatu buat ibu," jawab Bayu.
"Maksud bapak, kita akan mengadakan pesta kecil-kecilan disebuah rumah makan, bapak akan memesankan tempat dan menunya untuk besok malam."
"Itu bagus pak, terserah bapak saja."

"Bapak juga akan mengundang semua karyawan dikantor, agar membawa keluarganya untuk ikut merayakannya."
"Mengapa harus mengundang orang lain sih pak?" protes Bayu yang tidak suka suasana ramai dan yang hingar bingar.

"Sudah lama kita tidak melakukannya untuk ibumu. Ini kejutan yang semoga bisa menyenangkan hati ibumu."
"Kalau begitu Bayu tidak usah ikut ya pak, cukup akan memberi hadiah untuk ibu dihari istimewa itu."

"Ya harus ikut dong Yu, anak buah bapak akan bapak suruh membawa keluarhanya, masa bapak yang hanya punya kamu dan ibumu saja lalu kamu tidak mau hadir."

"Bayu nggak suka suasana ramai begitu."
"Justru suasana menyenangkan itu yang akan membuat kamu terhibur."

"Tapi...."
"Bayu, sudah bertahun-tahun kita tidak membuat kejutan buat ibumu, yang memang selalu menolak kalau hari ulang tahunnya dirayakan. Kali ini kita akan memaksa ibumu tertawa bersama banyak orang."

Bayu akhirnya menyerah. Dia berjanji tak akan berbaur dengan tamu-tamu ayahnya.

"Baiklah, terserah bapak saja. Tapi bolehkah Bayu mengundang juga Sapto dan mas Timan?"
"Timan.. yang penjual buah itu?"
"Iya, Timan siapa lagi?"

Pak Marsudi menampakkan wajah tak suka, tapi ia juga tak ingin Bayu kecewa.
"Ya, terserah kamu saja."
"Bayu akan mengundangnya sekarang ya pak."
"Ya, terserah kamu saja."

Tapi Timan menolak untuk datang karena merasa minder.
"Nggak mas Bayu, saya mana pantas duduk bersama dengan para pejabat, para pengusaha.."
"Ini yang mengundang aku mas, jangan merasa rendah, mas Timan kan sahabatku," Bayu memaksa.

"Gimana ya, pasti nanti saya merasa kikuk."
"Nggak, nanti kita akan duduk menjauh dari mereka. Pokoknya tidak usah memperdulikan mereka," kata Bayu yang ketika menelpon itu menjauh dari ayahnya, sehingga pak Marsudi tidak mendengar kata-kata Bayu yang pasti akan membuat pak Marsudi marah.

"Begitu ya mas?"
"Iya, nanti mas Timan aku jemput, dan aku antarkan pulang."
"Oh, jangan mas, nggak usah. Baiklah, besok saya akan mencoba datang/"

"Ini bener lho, awas ya, kalau nggak datang aku pasti akan menjemput kerumah mas Timan."
Timan tertawa.
"Iya, saya janji."
*

Pak Marsudi memesan tempat disebuah restoran mewah, ia juga meminta agar ruangan yang dipesannya berhiaskan  bunga-bunga segar yang cantik. Aroma bunga memenuhi ruangan yang sudah ditata dengan apik.

Anak buahnya yang rata-rata sudah setengah tua datang dengan membawa keluarganya. Ada yang namanya pak Dirman, datang membawa anak gadisnya yang cantik.

"Tuh kan, aku tau maksud bapak," kata hati Bayu ketika melihat anak pak Dirman.

Ia menoleh kearah pintu, Sapto dan Timan yang diundangnya belum tampak datang. Bayu mengeluarkan ponselnya untuk menelpon mereka ketika tiba-tiba pak Marsudi memanggilnya.

"Bayu, kesini dulu, bapak ingin kamu berdiri disamping bapak dan ibumu, untuk mengucapkan selamat datang kepada tamu-tamu kita."

"Aduuh, Bayu sungkan pak," jawab Bayu dengan wajah muram.
"Bayu, menurutlah apa kata bapak," bujuk bu Marsudi karena merasa apa yang dikatakan suaminya itu benar.

Bayu menghela nafas, urung menarik ponselnya karena bapaknya sudah berdiri dan menggandeng tangan ibunya.

Bayu melangkah perlahan lalu berdiri disebelah kiri ibunya, tapi ayahnya menariknya agar Bayu berdiri ditengah tengah, diantara ayah ibunya.

Hadirin yang kira-kira berjumlah limapuluhan itu memperhatikan keluarga berbahagia itu dengan penuh perhatian. Tak sengaja Bayu melirik kearah gadis bergaun hijau muda  yang juga sedang memperhatikannya. Gadis itu cantik. Matanya bening hidungnya mancung, wajahnya tirus, kulitnya keputihan, Tapi kemudian Bayu memalingkan mukanya kearah lain.
Pak Marsudi mengucapkan salam, dan mengucapkan terimakasih atas kehadiran tamu-tamunya.

"Hari ini isteri saya berulang tahun. Hal yang jarang sekali saya lakukan dengan mengundang saudara-saudara sekalian, tapi kali ini saya ingin melakukannya," lanjutnya.

Pak Marsudi bertepuk tangan tiga kali, dan tiba-tiba seorang pelayan mendorong sebuah meja dengan kue tart diatasnya. Kue tart yang menawan, dan membangkitkan selera. Meja dorong dengan kue itu diletakkanya ditengah-tengah tamu-tamunya. Bu Marsudi menyalakan lilin dengan angka 60 . Hampir semua berdecak kagum melihat wanita berusia 60 itu masih tampak muda dan cantik.

Lalu seorang anak muda yang duduk didepan sebuah orgen, mengalunkan denting-denting lagu ulang tahun. Serentak semua tamu undangan berdiri dan bersama menyanyikan  lagu yang sudah sangat populer itu dengan bersemangat. Tepuk tangan yang meriah mengiringi berkumandangnya lagu itu sampai selesai, kemudian pak Marsudi menyuruh isterinya  meniup lilin dan memotong kuenya.Tepuk tangan kembali bergema diruangan itu.

Bu Marsudi memotng seiris kue, diberikan kepada pak Marsudi, dan pak Marsudi mencium kedua pipi isterinya dengan mesra. Demikian juga ketika bu Marsudi menyerahkan sepotong lagi untuk Bayu, Bayupun mencium ibunya, dan memeluknya erat.

Tepuk tangan tak henti-hentinya bergema melihat adegan mesra ketiganya. Lalu para tamu bergerak menyalami bu Marsudi dan memberikan ucapan-ucapan yang manis. Bayu ingin mundur, tapi pak Marsudi menarik lengannya, karena para tamu juga menyalami pak Marsudi dan tentu saja Bayu juga harus tetap berdiri disitu dan menerima salam dari semuanya.

Ketika giliran gadis bergaun hijau muda itu, Bayu merasa bahwa gadis itu mnggenggam tangan lebih erat dari lainnya. Atau boleh dikata meremasnya. Bayu tak bergeming, perlahan ia melepaskan genggaman itu karena dibelakangnya ada tamu lain yang menunggu.

Begitu acara salam menyalami itu selesai, tamu undangan dipersilahkan menikmati hidangan yang sudah disediakan. Bayu tiba-tiba menghilang dari samping orang tuanya. Ia melihat kedua tamunya sendiri yaitu Sapto dan Timan  memasuki ruangan. Bayu menyambutnya dengan ramah, lalu mengajaknya duduk ditempat yang terpisah.

"Saya ingat, mas ini yang dulu hampir menghajar saya kan?" kata Sapto begitu mengenali Timan."

"Ma'af mas, saya hanya ingin menjaga Lastri."
"Dia hampir menghajar kamu, tapi aku sudah terlanjur menghajarnya," lalu ketiganya tertawa. Mereka sudah saling cerita tentang kejadian itu.

Bayu mengajak mereka makan, tapi Sapto mengajak menemui bu Marsudi dulu untuk memberi ucapan selamat.
Bu Marsudi senang melihat keduanya datang.

"Terimakasih nak, ibu senang kalian datang, ayo sekarang silahkan menikmati hidangan. Bayu, ajak mereka makan," katanya kemudian kepada Bayu.

Ketika ketiganya sedang makan disebuah meja terpencil, tiba-tiba pak Marsudi datang dengan menggandeng gadis bergaun hijau muda itu. Bayu langsung menampakkan wajah muram.

"Bayu, kenalkan, ini anaknya rekan kerja bapak dikantor, namanya Anggraeni, bapaknya memanggilnya Reni."
"Oh, iya, tadi sudah salaman." kata Bayu singkat.

"Biarkan dia ikut semeja disini, kasihan dia nggak ada teman, semuanya tua-tua."
"Oh, tapi kami akan segera pergi."
"Lho, pergi kemana ?"
"Ada teman sekolah kami juga yang ulang tahun, kami mau kesana setelah makan ini, ya kan Sap?"

Sapto terkejut, Bayu mengarang cerita, pasti untuk menghindari si cantik ini. Tapi rupanya sifat iseng Sapto masih tersisa.

"Nggak apa-apa Yu, biar adik ini duduk sebentar bersama kita."

Bayu menyepak kaki Sapto, seperti yang sering dilakukannya ketika Sapto mengganggu Lastri. Sapto memelototi Bayu dengan marah. Bayu menyibukkan dirinya menyendok makanan yang sudah diambilnya. Timan hanya terdiam, dia tak seberani Sapto dalam menghadapi gadis-gadis.

"Nah, tuh nak Sapto mau kok. Reni, duduklah disini sebentar saja."

Dan celakanya Reni menurut apa kata pak Marsudi. Jadi dimeja itu mereka kemudian duduk berempat. Bayu kesal bukan alang kepalang. Tapi ia bersyukur karena Sapto lah yang lebih aktif berbicara, bahkan tukar menukar nomor kontak segala.
*

Pagi hari itu Lastri pergi kerumah mbah Kliwon, ada beberapa orang kampung yang membantu membersihkan kebun.

"mBah, Lastri mau memasak untuk mereka-mereka yang bekerja, membuatkan minum dan makan."
"Iya Tri, aku sudah belanja beras, sayuran bisa mencari dikebun, dan juga bumbu-bumbunya."
"Oh, terimakasih mbah, Lastri tinggal memasak saja."

Mbah Kliwon sudah lama hidup menduda. Ia sudah biasa menanak nasi sendiri dan juga memasak sayur, jadi dia tau apa yang harus dibeli untuk keperluan itu.

Lastri senang melakukannya. Orang-orang desa dengan suka rela membantu apabila ada warga yang membutuhkannya.. Mbah Kliwon bilang, besok sudah bisa mulai membuat rumah untuk Lastri. Lastri bersemangat sekali. Tidak lama lagi ia akan tinggal digubugnya sendiri, dan tidak akan merepotkan bu lurah lagi.

Sore harinya  kebun itu sudah bersih. Lastri pulang kerumah bu lurah dengan wajah berseri. Ia yakin akan pulang dan benar-benar pulang untuk meninggalkan kenangan yang membuat batinnya teriris. Setiap kali ingatannya melayang kewajah Bayu, segera ditepisnya. Tapi alangkah susah melupakannya. Wajah ganteng dengan senyuman menawan, ya Tuhan, hilangkan dia dari ingatan hamba. Selalu pintanya, tapi tak pernah ia bisa melakukannya. Hanya linangan air mata yang selalu mengiringinya, setiap menjelang tidur ketika mengingatnya.
*

Pagi hari itu Lastri sudah memasak dirumah mbah Kliwon. Hari itu barang yang dipesan mbah Kliwon akan datang.  Ketika menyiapkan makan bagi orang-orang yang membantunya, didengarnya suara mobil mendekat, Lastri keluar untuk melihat, apa saja pesanan mbah Kliwon. Itu sebuah colt terbuka, membawa pasir dan batu bata.

Oh tidak, dibelakangnya masih ada lagi sebuah colt lain, berisi keramik semen dan genting. Lastr terkejut bukan alang kepalang. Ia berteriak memanggil mbah Kliwon, ia yakin mbah Kliwon salah memesan.

"mBah... mbah..."

Lastri tak perlu mengulang teriakannya karena mbah Kliwon telah berada didekat colt itu.

"mBah, ini pesanan kita? Mana atap rumbai.. anyaman bambu.. "
"Tidak nduk, simbah nggak memesan anyaman bambu dan atap rumbai."
"Apa maksud mbah Kliwon?"

Lastri terkejut ketika pasir tiba-tiba sudah diturunkan didepan rumah mbah Kliwon, dan batu bata, dan genting, dan....
"mBah..!" Lastri berteriak.

"Lastri tak akan bisa membayar semua ini mbah, ini mahal." Lanjutnya seperti orag kebingungan.
"Tri, kamu tidak usah membayar semua ini,"

"Apa maksudnya mbah?"
"Ini semua bu lurah yang memesannya."
"Apa?"

"Kamu jangan marah sama simbah. Ini semua kemauan bu lurah, tadi malam dia datang kemari dan memberikan sejumlah uang, jadi kamu tidak usah membayarnya. Ini sudah lunas nduk."

"Tidaaaaak..." Lastri berteriak.

Bersambung

&&&&&&


*LASTRI 26*

"Apa maksudmu Lastri.. ini anugerah, jangan menampik rejeki. Ini uangmu juga aku kembalikan, bu lurah yang menyuruhnya," kata mbah Kliwon sambil mengulurkan amplop yang semula diberikan Lastri untuk membeli semua bahan-bahan yang diperlukan.

"Tidak mbah, saya tidak mau berhutang terlalu banyak. Bu lurah sudah memberi saya tumpangan, dan sekarang membuatkan saya rumah? Tidak mbah..." kata Lastri sedikit keras, sambil matanya berkaca-kaca. Lalu ia berjalan pergi menuju rumah bu lurah.

Dalam perjalanan itu ia melihat seorang gadis berjalan berlawanan dengan arahnya. Gadis itu menatapnya tajam, tapi Lastri tidak memperdulikannya. Ia harus segera tiba dirumah bu lurah dan mendapatkan  penjelasan darinya.

"Lastri !!" ada suara memanggilnya, rupanya setelah bersimpangan gadis itu mengingat siapa dirinya. Lastri menoleh sejenak, lalu melambaikan tangannya, tanpa ingin tau siapa dia. Lastri terus melangkah.

Ketika tiba dirumah bu lurah, dilihatnya bu lurah sedang menggoreng ikan. Bau gurih menyergap hidungnya, tapi Lastri tak bereaksi apapun tentang aroma gurih itu .

"Bu, mengapa ibu melakukannya?" katanya dengan wajah kusam.
"Eh, Lastri, kamu mau makan dirumah saja? Ibu sedang menggoreng ikan, tadi Mardi menangkapnya dari kolam dibelakang," ujar bu lurah masih dengan kesibukannya menggoreng dan hanya menoleh sekilas pada Lastri.

"Bu, mohon dijelaskan, mengapa ibu melakukannya?" kata Lastri lagi.

Gorengan ikan itu sudah matang dan kering, bu lurah mengentasnya, lalu mematikan kompornya. Dipandanginya Lastri yang menatapnya tajam.

"Lastri, ada apa kamu ini?"
"Bu.. tadi ada barang-barang datang.."
"Oh, sudah datang ya, syukurlah, biarlah mbah Kliwon mengaturnya." kata bu lurah yang kemudian mencari sebuah piring untuk wadah ikan gorengnya.

Lastri mengambil piring itu dan membantu meletakkan ikan diatasnya, kemudian meletakkannya dimeja.

"Itu bukan barang-barang yang Lastri pesan bu," kata Lastri masih dengan posisi berdiri. Bu lurah heran melihat Lastri tidak tampak gembira.

"Lastri, nanti  rumahmu tidak akan beratapkan rumbai dan berdinding anyaman bambu, juga bukan beralaskan tanah kering. Aku sudah mengurus semuanya Kamu tidak usah memikirkannya."

"Lastri tidak mengharapkan rumah bagus bu, Lastri ingin melakukan sendiri semampu Lastri."
"Mengapa kamu berkata begitu Lastri, bukankah lebih nyaman tinggal dirumah yang bagus?"

"Tidak bu, ini diluar kemampuan Lastri. Bukan itu yang Lastri inginkan..Itu terlalu mewah buat Lastri. Bisakah barang-barang itu dikembalikan?"

Bu lurah menatap Lastri tak percaya. Diberi kebaikan sebesar itu, diberi kenikmatan untuk tinggal dirumah bagus, dan dia menolak?

"Lastri, aku tak mengerti.."
"Bu, bisakah barang-barang itu dikembalikan?"
"Mana mungkin Lastri, itu sudah dibayar lunas. Engkoh penjual itu bia marah sama ibu."

Lastri terdiam. Dia juga tak ingin bu lurah kena marah. Tapi dia juga tak bisa menerima kebaikan sebesar itu. Berhutang budi itu sangat berat. Tak ada gambaran dia akan bisa membalasnya. Dia hanya memiliki sedikit uang, tapi ia akan mempergunakan uang itu sebagai modal usaha. Dia belum memikirkan usaha apa, tapi hidupnya harus terus berlanjut dan usaha itu harus ada.

"Tri, ibu tau, hatimu begitu keras. Ibu juga tau kamu tak ingin berhutang budi. Bagaiman kalau biarkan saja barang-barang itu, dan biarkan pembangunan  rumah itu dilnjutkan, tapi nanti, kamu bisa membayarnya dengan mencicil sekuat kamu bisa," kata bu lurah sambil menggenggam kedua telapak tangan Lastri erat-erat.

Kekagumannya pada Lastri bertambah, dan keinginannya untuk mengambil menantu juga semakin kuat. Jarang ada gadis seperti Lastri.

"Sampai kapan bu? Lastri tak punya apa-apa," katanya sedih.

"Kamu kan ingin berusaha, mungkin berjualan, Atau apalah yang kamu pernah utarakan itu, sedikit-sedikit pasti kamu bisa dan akan aku terima. Sungguh, jangan semua yang aku  lakukan kemudian membebani diri kamu, Lastri." kata bu lurah yang ingin mengendapkan ketersinggungan Lastri atas apa yang dilakukannya.

Lastri terdiam, semuanya memang sudah terlanjur, Kalau kemudian menolak mentah-mentah juga akan membuat bu lurah tersinggung.

"Lastri, ma'afkan aku ya, aku telah  melakukan semuanya tanpa memberi tau kamu dulu, Sebenarnya aku ingin membuat kejutan yang semoga bisa menyenangkan kamu. Aku tak menyangka bahwa ini justru membuat kamu tersinggung. Ma'af ya Tri," kata bu lurah penuh sesal.

Tak urung hati penuh kasih itu luluh. Tak bisa menolak,  tapi dengan janji akan mengganti semuanya. Lalu ia bertanya pada mbah Kliwon, berapa habisnya, kemudian dia mencatatnya.
*

Tumpukan matrial itu tetap dikerjakan. mBah Kliwon juga mengembalikan semua uang yang telah Lastri berikan.

Dalam memasak makanan untuk orang-orang yang mengerjakan pekerjaan itu, Lastri berfikir keras, apa yang akan dilakukannya agar bisa mengembalikan uang bu lurah yang telah dikeluarkannya demi membangun rumah untuknya.

Ketika Lastri sibuk mengentas nasi, tiba-tiba seseorang masuk begitu saja kedapur mbah Kliwon.

"Lastri, kamu sombong ya, mentang-mentang dikasih rumah sama bu lurah, terus nggak mau kenal sama aku," kata orang yang baru masuk itu tadi.

Lastri menoleh, dilihatnya seorang gadis, berdiri sambil menatapnya tajam. Lastri mengingat-ingat. Ah ya, bukankah gadis itu yang ketemu ketika dia sedang terburu-buru kerumah bu lurah? Lastri mengulurkan tangannya, dia lupa siapa yang sudah mengetahui namanya itu.

"Ma'af aku lupa, mbak siapa ya?"
"Nggak usah mbak mbek, dulu kamu kan manggil aku yu, ya sudah yu saja lebih enak," kata gadis itu.

Lastri tersenyum, gadis itu kalau ngomong ceplas ceplos. Lastri mencoba meng ingat-ingat. Oh ya, ada tahi lalat dibibir gadis itu. Lastri menggenggam erat tangannya.

"Kamu yu Marni kan?"
"Tuh kamu ingat. Waktu kecil kamu cengeng. Dikit-dikit menangis, diganggu sedikit bawaannya menangis, lalu kami dijewer sama mbah Surip." kata gadis yang memang Marni itu.

"Anakmu sudah berapa yu?" tanya Lastri sambil tertawa.
"Anakku? Aku belum menikah, tau? Baru menunggu kalau ada yang ngelamar."

"Oh ya? Tampaknya sudah ada ya yu?"
"Sudah ada sih, tapi nggak tau kapan aku dilamar. Orang tuaku juga sudah bertanya terus."

"Wah, ikut seneng yu, siapa calonmu itu?"
"Ya itu, dia... si lurah muda," katanya sambil tersipu.

"O, kang Mardi? Ya ampun, seneng aku yu... kapan nikahnya?" tanya Lastri dengan wajah berseri. Ia tak menduga Marni adalah calonnya Mardi. Nanti pasti dia akan menggodanya. Pikir Lastri.

"Nggak tau aku Tri, sudah pacaran lama, nggak ada ujungnya. Ibunya itu sekarang sama aku malah kelihatan acuh tak acuh." sungut Marni.
"Masa sih yu ?"

"Iya, aku kan ya punya perasaan. Kalau mas Mardi sih tetep baik."
"Pacaran sudah lama ?"
"Kami sudah lama dekat, kalau pacaran, atau cinta-cintan sih belum, tapi mas Mardi selalu bersikap manis sama aku."

"Memang yu Marni kan manis," canda Lastri.
"Ih, kamu. Aku justru takut kalau mas Mardi jatuh cinta sama kamu."
"Lhoooo..." Lastri melotot.

"Habisnya, kamu sekarang cantik, aku iri sama kamu."
"Biasa saja yu, perempuan itu semua juga cantik, mana ada perempuan ganteng."

"Tapi kamu memang cantik lho. Terus bu lurah kok baik banget sama kamu? Itu rumah kan bu lurah yang kasih uangnya," kata Marni dengan nada cemburu.

"Aku juga nggak tau yu, tadi kan aku sempat menolaknya." Kemudian Lastri berfikir. Apa yang dilakukan bu lurah untuknya rupanya telah tersebar keseluruh desa.

"Jangan-jangan kamu mau diambil menantu Tri," kata Marni sambil menatap tajam Lastri, mencari kebenaran atas tebakannya.

"Waduh, nggak lah yu.. aku nggak mikir begitu. Aku masih ingin sendiri."
"Kamu sudah punya pacar dikota?"

Lastri terdiam, wajah Bayu melintas dibenaknya, senyum itu, aduhai, wajah Lastri langsung menjadi sendu.

"Kamu pulang karena patah hati?"
"Sudah yu, jangan banyak tanya, ayo bantuin aku mengaduk sayurnya itu. Sebentar lagi waktunya makan siang." kata Lastri sambil melanjutkan mengentas nasi kedalam ceting bambu.

"Baiklah, hm... sayur bobor daun lembayung ya Tri, enaknya.. aku mau lho."
"Boleh dong, nanti kita makan bersama-sama."
*

Malam itu Lastri sedang melamun sendirian didepan rumah. Udara dusun yang sejuk lembut mengelus tubuhnya. Lastri memandangi bintang-bintang bertabutan dilangit sana,.

"Wahai bintang, apakah kau bintang yang sama yang bisa dipandangi kekasih hatiku? Kalau ya, sampaikan salamku, katakan, jangan bersedih karena kepergianku, Temukan gadis yang lebih baik dari aku," bisiknya perlahan sambil memandangi bintang-bintang yang seakan berkedip manja.

"Alangkah rindunya aku," bisiknya lagi lalu ia keluar kehalaman agar puas memandangi langit indah malam itu.
Setitik air matanya menetes, lalu segera dihapusnya.

"Jangan lagi ada tangis, jangan lagi ada duka karena kepergian ini," bisiknya lagi.

Lastri tak sadar, sepasang mata mengawasi  gerak geriknya, mengawasi ketika ia mengusap air matanya. Lalu pemilik sepasang mata itu ikut turun kehalaman, dan berbisik ditelinganya.
"Rindu sama siapa?"

Lastri terkejut setengah mati. Rupanya kang Mardi mendengar apa yang dibisikkannya.

"Kamu kelihatan sedih Tri, sebenarnya ada apa? Bisakan aku membantumu?"
"Kang Mardi, kamu sudah banyak membantu aku, termasuk ibumu juga."
"Ibu menyesal melakukan itu tanpa sepengetahuanmu."
"Ya, sudahlah, mau bagaimana lagi."

"Kamu sedang merindukan seseorang? Alangkah bahagianya orang itu," kata Mardi sambil tersenyum.

"Ayo duduk diteras, lama-lama dingin," kata Lastri yang sebenarnya ingin mengalihkan pembicaraan."

Keduanya duduk diteras rumah.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku." kata Mardi ketika mereka sudah duduk berdua.
"Pertanyaan yang mana sih kang?"
"Kamu rindu pada seseorang bukan?"

Lastri menghela nafas.
"Aku hanya gadis dusun, siapa yang mau aku rindukan? Oh ya, bagaimana dengan yu Marni?" tanya Lastri menglihkan pembicaraan.

"Kamu ketemu sama Marni?"
"Ya, manis ya kang, tahi lalat dibibirnya itu yang membuat dia bertambah manis."
"Masa?"

"Jangan pura-pura kang. Kamu itu sudah pantas punya isteri, masa pak lurah kok bujangan? Lamar dong dia."
"Kamu ini ada-ada saja."

"Yu Marni bilang, sedang menunggu dilamar kamu."
"Dia bilang begitu?"
"Iya benar, masa aku bohong. Tadi siang kami bicara banyak. Yu Marni cinta banget sama kang Mardi."

Mardi menghela nafas panjang.

"Mas Mardi juga cinta kan sama dia?"
"Dia gadis yang baik, cuma agak sedikit kecentilan. Kadang-kadang berlebihan. Ibu kurang suka sama dia."

"Memang dia itu kalau ngomong ceplas ceplos, tapi aku suka, dia itu polos. Lamarlah kang, kasihan, dia kan sudah lebih tua dari aku, dibawah kamu sedikit. Pas lho kang."
"Benarkah?"

"Benar, percaya deh sama aku."
"Nanti aku mau bicara sama ibu."

"Ya kang, bicara dan katakan apa yang menjadi kelebihan dia. Pasti bu lurah akan suka."
Mardi terdiam, kalau saja Lastri tau, bahwa Lastri lah yang diharapkan menjadi menantunya..
"Kok terus ngelamun mas."

"Pertanyaanku tadi jawab dulu dong Tri."
"Lhah, kok kembali lagi kesitu."
"Sebenarnya aku tau, bahwa kamu pulang kemari karena ada masalah, dan masalah itu adalah cinta. Benar kan?"

Lastri menghela nafas panjang, dipandanginya lagi langit, dan matanya berkejap, seakan membalas kerdipan bintang yang sedang ditatapnya.

"Kamu sangat mencintainya?"
"Dia tak ada duanya," bisiknya lirih, masih dengan menatap bintang diatas sana.

Jawaban itu membuat Mardi membunuh semua angan-angan yang pernah terlintas dihatinya. Beruntung Mardi sangat berhati-hati dalam bersikap. Sekarang dia tau, Lastri tak akan pernah menerima keinginan ibunya. Tapi Mardi tidak sakit hati, juga tidak merasa patah hati. Cukuplah Lastri sebagai sahabat, atau saudara.

"Kejarlah cinta itu," bisik Mardi perlahan. Lastri menoleh, menatap laki-laki muda disampingnya, lalu saling melemparkan senyum.

Tiba-tiba Lastri juga teringat kata-kata mbah Kliwon. Mirip apa yang dikatakan Mardi. Pegang erat cintamu, dan mata Lastri kembali berkaca-kaca.
*
 
Pagi itu Lastri bersiap akan berangkat ke rumah mbah Kliwon. Ia harus membuatkan minuman para tetangga yang membantunya. Kemarin mbah Kliwon mengunduh pisang di kebun. Pisang kepok yang sudah matang pohon. Lastri akan membuat nagasari. Ia sudah membeli tepung beras dan memetik daun pandan dikebun.

Ia berpamit pada bu lurah, lalu melangkah keluar. dirumah itu ia berpapasan dengan Marni yang membawa bungkusan.

"Tunggu Tri, aku akan membantu kamu. Aku sudah membuat pipis katul yang legit, dan sudah aku tinggalkan dirumah mbah Kliwon, bisa untuk camilan yang pada bekerja kan? Tapi sebentar aku menemui bu lurah dulu. Tungguin aku ya." pesan Marni.

"Ya yu, cepatlah."
"Bu lurah..." teriak Marni didapur.

"Eh kamu itu kalau datang selalu membuat aku terkejut. Ada apa?" tanya bu lurah yang oleh Lastri dinilai kurang ramah.

"Ma'af bu. Mas Mardi mana?"
"Baru mandi, ada apa sih?"
"Nggak apa-apa, cuma nanya aja. Ini bu, pipis katul buatan Marni, kan mas Mardi suka."

"Walah, sudah to Ni, jangan suka repot-repot untuk Mardi. Dengar ya, Mardi itu sudah punya calon isteri."
"Apa bu?" tanya Marni pelan, karena diliputi hati yang sakit.

"Iya, dia sudah punya calon. Kamu tau Lastri kan? Dia itu calon menantuku."

Marni terdiam, Lastri yang menunggu diruang tengah terkejut. Ia buru-buru keluar dari rumah, agar Marni mengira dia tak mendengar kata-kata bu lurah yang menyakitkan itu.
*


Bersambung


Tidak ada komentar:

Posting Komentar