Rabu, 29 April 2020

LASTRI (29-30)

*LASTRI  29*

Lastri benar-benar terpana. Mobil itu tampak meriah dengan gambar bunga-bunga cantik, tapi mengapa ada namanya disitu ? Besar lagi..

"Yu Marni, apa-apaan ini???"
"Kamu suka?"

"Yu, mengapa ada namaku, jadi nggak enak." Lastri protes sambil mencubit lengan Marni.
"Adduh, ini kenapa sih, jadi orang sukanya nyubit," teriak Marni sambil mengelus lengannya yang terasa sakit.

"Itu yu... mengapa LASTRI ? Harusnya MARNI, ganti dong yu."
"Enak aja, bikinnya mahal, tau?!"

"Tapi mengapa Lastri? Bagusan MARNI dong.."
"Wuih, MARNI.... jelek banget... kurang manis. Kalau namamu kan manis, indah, diantara bunga-bunga  karena kamu adalah bunga."

"Aaah... yu Marni.... gitu banget deh.."
mBah Kliwon yang ikutan keluar melihat mobil itu dan berdecak kagum.

"Indah sekali Marni.... "
"Tuh kan, mbah Kliwon saja bilang indah... sudah.. nggak boleh protes."
Marni langsung menarik Lastri kedalam rumah yang hampir jadi.

"Bagus sekali Lastri, itu kamar buat kamu, nanti kita taruh dagangan kita disini. Itu pintunya sudah dipasang, besok di cat dan selesai deh."

"Besok aku sudah mau tidur disini, nggak enak numpang terus."
"Oh iya, baguslah, ayo sekarang ikut aku."
"Kemanaaa?"

"Ayo.. ikut saja, kamu kan kenek, jadi harus nurut ama sopirnya," kata Marni sambil menarik tangan Lastri, dibukakannya pintu sebelah kiri, dan dipaksanya Lastri masuk, sementara dia sendiri kemudian duduk didepan kemudi.

"mBah, pergi dulu sebentar yaaa," teriak Marni yang kemudian menstarter mobilnya.
"Hati-hati!!" pesan mbah Kliwon yang juga berteriak.

Mobil Marni terus berjalan keluar dusun, dijalanan banyak orang memandangi mobil itu dan kagum karena memang tampak cantik.

"Ini sopirnya tukang maksa deh."
"Kamu tuh kalau nggak dipaksa nggak bakalan mau."

Mobil itu berhenti disebuah toko yang menjual aneka perabot rumah tangga.
Marni mengajak Lastri turun.

"Apa nih? Kamu mau borong almari?"
"Satu almari, satu kasur,"

"Kamu nggak punya almari atau kasur?"
"Buat kamu Lastri."

"Oh tidaaak... aku nggak bawa uang, nggak bawa apa-apa.. tolong," teriak Lastri yang melihat Marni nyelonong masuk kedalam dan memilih-milih.

"Yu Marni, tolong, jangan begitu, aku bisa tidur diatas tikar. Atau, ijinkan aku kembali dulu untuk mengambil uangku."

"Tidak Lastri, kelamaan. Yang mana? Ini ya, oh ya, sama bantal satu, guling satu,"katanya kepada pelayan toko.

"Yu, aduuh... nekat sekali kamu yu," Lastri tak bisa berkutik. Marni memilih dan memilih, tak perduli Lastri berteriak-teriak.
"Almari nggak usah yang terlalu besar ya, ini saja cukup?"
Lastri hanya garuk-garuk kepala.

"Nanti semua ini aku ganti," kata Lastri pelan, takut keributan itu menarik perhatian para pelayan toko.

"Nggak bisa, Ini impentaris perusahaan yang harus kamu pakai."
"Inventaris...?" kata Lastri membetulkan.

"Ya, apalah itu namanya, ini milik usaha kita."
"Aduuuh..." keluh Lastri tak berdaya.

Pelayan sudah menaikkan sebuah almari, sebuah kasur busa, satu bantal dan satu guling ke jok belakang mobil Marni, diikat dengan rapi agar jangan roboh.

"Astaga, ada yang terlupa, ada tikar?"
Pelayan itu mengangguk. Marni masuk lagi kedalam, memilih sebuah tikar dan membayarnya sekaligus.

"Kalau ada tamu datang, suruh duduk di tikar. Besok-besok kita beli kursi tamu," kata Marni yang tampak sibuk.

"Nanti pulangnya mampir kerumahku dulu, ambil kompor," kata Marni sambil naik keatas mobil.
"Aduuuh..."Lastri geleng-geleng kepala.
*

Memandangi orang-orng menata rumahnya, ada rasa miris dihati Lastri. Lebih-lebih ketika didalam kamar yang sudah dibersihkan, lalu dimasukkannya almari, dan lincak mbah Kliwon diberikan untuk alas kasur yang tadi dibeli, Lastri merasa menjadi beban banyak orang. Bukannya senang tapi sedih jadinya.

"Mengapa hidupku selalu menjadi beban banyak orang?" keluhnya lirih ketika duduk ditepi kasur yang empuk, dan yang sudah berseprei cantik karena Marni sudah mempersiapkan semuanya.

Tak terasa berlinang air mata Lastri. Tiba-tiba ia merasa tak berdaya. Ia merasa hidupnya hanya karena orang lain. Karena belas kasihan orang lain, dan itu membuatnya tak punya arti. Tiba-tiba juga Lastri ingin pergi. Menjauh dari orang-orang yang telah menanam kebaikan.

Menjauh dari orang-orang yang membuatnya tak berguna. Itu benar bukan? Bisik hati Lastri. Tapi mau pergi kemana lagi ? Mengapa tiba-tiba rumah ini tidak membuatnya bahagia?

Hari sudah sore. Marni sudah pulang dan Lastri masih ada dirumahnya. Ia harus berpamit pada bu lurah, karena akan tidur dirumahnya sendiri.

Ahaaa.. rumahnya sendiri? Bukan, ini rumah buatan bu lurah. Ia hanya punya tanah tak seberapa, yang seharusnya akan didirikannya dengan atap rumbai, lantai tanah dan dinding dari anyaman bambu.

Rumah ini sangat mewah baginya. Dengan tembok bercat kuning muda, ada kamar yang bersih dan hangat, ada dapur, ada kamar mandi yang bisa dengan mudah dibersihkan karena semuanya berlapis keramik, seperti seluruh lantai dirumah itu.

mBah Kliwon membuatkan bangku dari bambu yang diletakkannya didapur. Ada kompor gas yang dibawakan Marni ketika mereka pulang dari membeli kasur.

"Ini masih baru dan tak pernah terpakai karena sudah ada satu yang aku gunakan, dan itu cukup," kata Marni siang tadi. Lalu apa lagi? Semua atas bantuan orang lain. Yang tidak terbantu hanyalah ketika dia mandi dan menyuapkan makan dan minum kemulutnya.

Lastri duduk di bangku yang ada didapur. Besok ia akan membeli alat-alat yang diperlukan. Harus berangkat pagi-pagi sebelum Marni datang dan membelikan semuanya.

Lastri masih duduk termangu, sampai senja tampak temaram. Tiba-tiba terdengar langkah-langkah, bukan hanya satu orang. Salah satunya adalah mbah Kliwon, membawa lampu minyak yang sudah dinyalakan. Dari bayang-bayang diantara lampu yang berkebit itu dilihatnya bu lurah. Bu lurah datang kemari? Lastri berdiri dan mengambil lampu minyak yang dibawa mbah Kliwon. lalu diletakkannya disebuah bangku kayu mulik para pekerja yang dipergunakan untuk memanjat-manjat.

"Hari sudah semakin gelap, mengapa kamu tidak mengambil lampu minyak dari rumah simbah?" tegur mbah Kliwon sambil melangkah keluar. Mungkin akan mengambil satu atau dua lagi lampu minyak untuk rumahnya.

"Lastri.. , tadi aku menunggu kamu pulang, tapi karena tidak segera pulang lalu aku menyusul kemari." kata bu lurah sambil duduk diatas bangku, dan Lastri kemudian mengikutinya.

"Saya masih membersihkan kamar," jawab Lastri sambil duduk disamping bu lurah.
"Itu kamar kamu?" lanjutnya.

"Iya bu, sedianya saya mau pamit sama ibu, bahwa malam ini saya tidak akan menumpang lagi dirumah bu lurah." kata Lastri pelan.

"Aku tau, ketika rumah ini jadi maka kamu pasti akan segera pergi dari rumahku."

"Saya minta ma'af dan sangat berterimakasih karena bu lurah telah memberi kebaikan yang tak terhingga untuk saya, dan tentu saja tak akan terbayar oleh apapun juga."

"Tidak usah berterimakasih, aku senang bisa membantu."
"Saya sudah berjanji akan mengganti semua uang yang ibu keluarkan untuk saya,"

"Ya, terserah kamu saja Lastri. tidak usah tergesa-gesa. Aku mendengar kamu akan mendirikan sebuah usaha sama Mardi."
"Ya, baru rencana bu."

"Semoga berhasil, aku senang ide-ide kalian. Sudah sa'atnya lurah Mardi ikut membangun desanya. Dan kamu membantunya."
Lastri hanya mengangguk.

"Besok pagi saya akan mengambil barang-barang saya ya bu."
"Kamu akan tidur disini malam ini juga?"

"Maksud saya begitu bu, karena yu Marni sudah menata rumah ini sehingga saya bisa tinggal kapan saya mau."
"Marni ? Dia mau membantu kamu, setelah peristiwa malam itu?"

"Oh, itu bu, itu hanya karena salah paham. Kami bersahabat baik, hamir tiap hari dia disini membantu saya memasak dan bersih-bersih rumah ini sejak kemarin.
"Lastri, apa kamu tau bahwa sesungguhnya aku berharap lebih?"

"Apa maksud ibu ?"
"Aku melihat kamu gadis yang baik, cantik, dan aku belum pernah bertemu gadis sepertimu. Aku berharap kamu bisa menjadi menantuku."

Lastri terdiam. Ia sudah tau bahwa bu lurah punya maksud seperti itu. Dipandanginya lampu minyak yang berkebat kebit ditiup angin dari arah pintu depan. Begitu juga hatinya. Segala macam bantuan tak terhingga diguyurkan untuk hidupnya, untuk semua kebutuhannya, tapi hatinya tidak bahagia menerima semua itu. Ada rasa berkebat kebit kalau-kalau ia tiak bisa membalas semua itu.

"Ma'af kalau ini mengganggu perasaan kamu Lastri."
"Ma'af juga bu, apakah ibu melakukan semua karena ibu menginginkan saya menjadi isterinya kang Mardi?"
Bu lurah terdiam.

"Saya sungguh menyesal kalau itu yang terjadi. Apakah saya harus memberikan rumah ini kepada ibu agar saya tak berhutang?"
"Tidak Lastri, jangan begitu," kata bu lurah yang tak bisa melanjutkan kata-katanya.

"Dengan berdirinya rumah ini, saya sama sekali tidak bahagia. Sungguh bu, menelan kebaikan dari orang lain itu sungguh berat bagi saya. Sejak siang tadi saya memikirkannya, mengapa hidup saya ini selalu menjadi beban bagi orang lain?"

Tiba-tiba mbah Kliwon datang lagi dengan membawa satu lampu minyak, yang kemudian diletakkannya di lincak depan.
"Duduk disini saja bu, ini.. ada lincak dan sudah saya taruh lampu didepannya. Barangkali lebih enak bicara disini saja," kata mbah Kliwon.

"Sudah mbah, aku sudah mau pulang kok," kata bu lurah sambil berdiri.
"Lastri, aku mau pulang dulu, silahkan kalau kamu mau tidur disini malam ini, besok barang-barang mu bisa kamu ambil."
"Terimakasih bu."

"Kamu jangan memikirkan semua yang aku berikan, pamrih itu sekarang tidak ada. Aku kagum pada pendirianmu. Aku kira kamu suka pad Mardi," katanya sambil berjalan.

"Ma'af bu, kang Mardi cukup menjadi kakak saya saja, saya tidak lagi memiliki cinta yang tersisa," kata Lastri pelan.

Bu lurah melangkah keluar rumah.

"Bu, yu Marni gadis yang sangat baik. Saya percaya dia akan menjadi pendampung kang Mardi yang membanggakan. Bukankah kang Mardi juga mencintainya?"

Bu lurah hanya mengangguk, lalu mempercepat langkahnya pergi dari rumah Lastri. Harapan akan Lastri pupus sudah, benarkah Marni gadis yang terbaik untuk Mardi ? Bu lurah akan mempertimbangkannya kembali.
*

Lastri masih duduk dilincak depan rumah yang tadi diletakkan oleh mbah Kliwon. Lampu minyak masih berkebat kebit, dan ini lebih kencang karena letaknya diluar ruang. Ketika ditebarkannya pandangan mata keluar rumah, hanya kegelapan yang nampak.

Dusun terpencil yang senyap ini, apakah bisa Lastri menghidupkannya sehingga menjadi dusun yang penuh gairah? Angannya membubung tinggi kelangit sana. Gemerlap bintang yang menemaninya, berkedip manja seperti kedipan seorang pecinta.

Dilangit yang sama, ada sebuah bayangan bintang yang lain. Ia tak hanya mengerdipkan matanya, tapi juga menyunggingkan senyumnya yang menawan. Lalu rindupun kembali menyesak adanya.

"Wahai cinta, mengapa sekejam ini kamu memperlakukan aku?"
Angin berhembus sedikit keras, Lastri menggigil, dan lampu minyak bergoyang semakin kencang.

"Kudekap rinduku, kubawa dalam mimpiku. Mas Bayu, mengapa aku tak bisa melupakanmu? "
Lastri berdiri, melambaikan tangannya kearah bintang.

"Kalau kamu bintang yang sama, sampaikan rinduku untuknya," bisiknya lalu masuk kedalam rumah, menutupkan pintunya.

Lastri masuk kekamar, setelah meletakkan lampu minyak ditengah ruang. Dibiarkannya pintu kamarnya terbuka, agar kamar itu tak terlalu gulita. Lalu dibaringkannya tubuhnya di kasur. Ia tak perduli hawa dingin yang menyergap masuk kekamarnya. Ia memeluk guling dan berusaha terlelap.

Matanya hampir terpejam ketika tiba-tiba didengarnya ketukan pintu.
Lastri bangkit dan mendengarkan lebih seksama. Betulkah itu ketukan dipintu rumahnya?
Tapi kemudian ketukan itu diiringi panggilan dengan suara serak.

"Tri, sudah tidur?"
Oh, itu suara mbah Kliwon. Ada apa mbah Kliwon mengertuk pintu?
Lastri keluar dari kamar.

"Lastri." suara memanggil terdengar lagi.
"Ya, ini aku."

Lastri membuka pintu . Dilihatnya mbah Kliwon berdiri sambil membawa dua bugkusan.
"Ada apa mbah?"

Lastri membuka pintunya lebih lebar. mBah Kliwon masuk kedalam.

"Ini ada kiriman dari bu lurah. Ini selimut, katanya udara sangat dingin jadi kamu pasti membutuhkannya. Yang ini nasi dan lauk pauknya, untuk kamu makan malam," katanya sambil mengulurkan kedua bungkusan.

"Ya ampun, Lastri tidak lapar mbah."
"Nggak apa-apa, terima saja. Ayo sini, simbah temani,ini kan ada tikar, duduklah dan nikmati," kata mbah Kliwon sambil duduk diatas tikar. Lastri mengambil lampu minyak agar pemandangan diruang itu lebih terang.

"Ini membuat saya merasa tak berdaya mbah," kata Lastri pelan sambil membuka bungkusan, lalu disodorkannya kehadapan mbah Kliwon.

"Apa maksudmu Lastri?"

"Sejak siang tadi, ketika saya mengamati rumah ini, dan semua kebaikan Marni dan semua kebaikan simbah, saya merasa bahwa hidup saya ternyata membebani banyak orang."

"Ketika saya ingin membuat rumah, ada orang yang memberikan bahan-bahan dan semua kebutuhannya,
ketika saya ingin memiliki usaha, Marni menyiapkan mobil yang bahkan bertuliskan nama saya,
ketika saya kedinginan, ada yang memberikan saya selimut,
ketika saya lapar, ada yang memberi saya makanan.
Bukankah saya ini tak berdaya?
Saya sedih mbah, berdirinya rumah ini dan semuanya, tidak membuat saya bahagia, justru membuat saya merasa tak punya makna."

"Itu pendapat yang keliru Lastri, tapi tunggu dulu, mengapa nasinya kamu berikan untuk aku?"
"Simbah saja yang makan, Lastri tidak lapar."

"Jangan begitu, nasinya sangat banyak, kalau sampai besok pasti basi, jadi ayo kita makan berdua."

Lastri membuka bungkusan, dan merobek daun pembungkusnya menjadi dua. Dia mengambil sedikit nasi, dan sedikit lauk. Rupanya bu lurah gemar menggoreng nila. Maklumlah, tinggal mengambil dikolam belakang rumahnya.

Ternyata Lastri memang lapar, dia menyuapkannya dengan nikmat.

"Betul kan mbah, kata saya?" tanya Lastri sambil memasukkan suapan ke mulutnya.
"Tidak Lastri, kamu salah."

"Saya salah? Bukankah semua yang saya ketakan itu benar? Siang tadi saya memutuskan untuk lari dari semua ini. Pergi jauh entah kemana."

"Tidak benar.Kamu bukannya tak punya makna. Kamu, karena kebaikan kamu, ketulusan kamu, maka dimanapun kamu berada pasti ada yang menolongnya. Apa yang kamu terima itu adalah anugerah, adalah jalan yang diberikan Yang Maha Kuasa agar kamu bisa mencapai apa yang kamu inginkan. Syukurilah itu, jangan kamu sesali nduk."

Lastri terdiam. Tapi bahwa dimanapun pasti ada pertolongan untuk dirinya, itu benar. Itu bukan karena dia tak berdaya? Bukan karena dia tak punya makna? Dan itu adalah anugerah?

Lastri mencoba meresapinya. Ia menelusuri hari-hari setelah kepergiannya. Ketika ingin pulang, tak tau harus kemana, ia bertemu dengan nenek penjual sayur yang memberinya tumpangan.

Ketika ingin melanjutkan perjalanan, ia bertemu bu lurah yang kemudian menawarkannya untuk tinggal, ketika ingin ketemu mbah Kliwon dan menanyakan tentang tanah milik simbahnya, tiba-tiba ia bertemu mbah Kliwon yang kemudian bersama-sama membersihkan makan kedua orang tua dan neneknya, ketika ingin membangun rumah, ketika..ketika.. dan ketika.... Lastri menghela nafas, itu adalah anugerah.

"Ayo ambil lagi nasinya, tampaknya kamu lapar."
"Sudah mbah, benar-benar kenyang."

"Sekali lagi simbah ingatkan, jangan sampai kamu merasa tak berguna. Kamu itu justru manusia terpilih yang dimanapun kamu berada pasti ada yang mengasihi kamu. Ketika kamu kesulitan, ketika kamu menginginkan sesuatu, begitu mudah kamu mendapatkannya. Ayo nduk, kejar cita-citamu, dan jangan lupa, kejar cintamu."

Lastri terdiam, tapi kata-kata terakhir dari mbah Kliwon tadi sungguh menggetarkan hatinya. Bisakah aku mengejarnya? Kata batin Lastri. Namun ketika terlelap, Lastri merasa batinnya sudah lebih kuat.
*

Pagi hari itu Lastri membenahi barang-barangnya, ia sudah memasukkan semuanya kedalam sebuah tas besar. Tapi ia belum membungkus sepatunya. Lastri mencari koran, tapi tak ada.

"Sedang mencari apa Tri?"
"Bu, punya koran yang sudah tidak dipakai?" kata Lastri sambil mendekati bu lurah yang sibuk didapur.

"Ada, Tri, tanganku kotor, coba kamu cari dikamarku Tri."
"Dikamar bu?"

"Iya, didekat almari kan ada kardus berisi koran-koran bekas, ambil saja disana."
"Baik bu."

Lastri menuju ke kamar bu lurah, membuka pintunya, dan menemukan dus berisi koran-koran bekas. Ia mengambil tumpukan yang agak dibawah, karena yang diatas pasti masih termasuk baru, barangkali masih akan dicari.
*

Bersambung


&&&&&

*LASTRI 30*

Lastri segera membungkus sepatunya, Ah, terlalu lebar korannya nih, lalu Lastri merobeknya separo, kemudian setelah rapi  lalu dimasukkannya sekalian kedalam tas. Memang Lastri tak membawa apa-apa ketika pergi, kecuali baju-baju ganti.  Kemudin ia menuju dapur, meletakkan tasnya dan mendekati bu lurah.

"Biar saya bantu bu," kata Lastri sambil mengambil pengaduk sayur lalu mengaduknya perlahan.

"Hm, ini sayur lodeh terong ya bu?Sedap baunya."
"Kalau kamu mau, kamu boleh membawa nanti, aku ambilkan wadahnya, kata bu lurah sambil mengambil rantang di rak piring.

"Eh, jangan bu, nanti juga Lastri kan mau memasak untuk pekerja-pekerja itu. Lastri juga akan memasak sayur lodeh sama menggoreng ikan asin."

"Waah, itu enak Lastri. Ya sudah, aku sudah selesai masaknya. Ini untuk sarapan dan makan siang sekaligus."

"Bagus bu, jadi ibu nggak kecapean. kang Mardi masih mandi ya? Nanti tolong dipamitkan ya bu, Lastri mau pergi sekarang, karena harus menyiapkan makan dan minum mereka."

"Baik Lastri, tapi sering-seringlah datang kemari. Rumah ini selalu terbuka untuk kamu."
"Terimakasih bu."

Lastri kemudian keluar dari dapur, meninggalkan bu lurah yang kemudian merenung sendirian.
"Gadis cantik yang tak bersedia menjadi isteri lurah muda, sayang sekali Lastri," gumamnya sendirian.

Bu lurah mengentas sayur dan mematikan kompor, kemudian pergi kekamar Lastri. Seprei dan sarung bantal sudah rapi, tapi bu lurah harus mencucinya. Tiba-tiba dilihatnya koran separo yang tergeletak diatas kasur.

"Ya ampun, ini koran kapan, Sudah lama, aku lupa menyembunyikan koran beriklan itu. Bagaimana kalau Lastri membacanya? Pasti dia marah karena aku tak menyampaikan isi iklan itu. Bu lurah melipat koran itu dan meletakkannya kembali di kardus, sambil mereka-reka jawaban kalau Lastri menanyakan tentang iklan itu. Bilang apa ya, tak tau tentang iklan itu?

Aduh.. mengapa sebuah kebohongan harus disusul dengan kebohongan lain? Mengapa Mardi juga melupakan tentang iklan itu? Mungkin lebih baik diam daripada mengatakan lalu Lastri menuduhnya menyembunyikan hal penting bagi hidupnya.

Bu lurah melanjutkan melepaskan sarung-sarung bantal, sambil berfikir keras.

"Semoga Lastri tak membaca iklan itu," gumamnya perlahan.
"Bu, aku makan ya?"

Bu lurah terkejut. Ia meninggalkan kamar Lastri dan menyiapkan makan pagi untuk Mardi. Mulutnya ingin mengatakan tentang iklan itu, tapi diurungkannya.
*

Lastri menata baju-baju didalam almari. Baju yang hanya beberapa lembar. Lalu Lastri menyesal mengapa meninggalkan koran yang tadi disobeknya padahal bisa dipergunakan untuk alas baju-bajunya.

"Ya sudahlah, ditaruh begitu saja dulu, nanti dia akan membeli koran bekas dipasar."

Lalu ketika ia menyentuh baju yang pernah dibelikan Bayu, hatinya kembali teriris. Baju yang indah, yang belum pernah dipakainya. Ia mendekap baju itu, seperti melampiaskan rindunya. Lalu kembali air matanya berlinang.

"Lastri, airnya sudah mendidih !!" teriak mbah Kliwon dari luar rumah.
Lastri terkejut, ia sampai lupa kalau tadi merebus air.

"Oh, ma'af mbah, " katanya sambil berlari-lari kedapurnya mbah Kliwon. Ia harus membuatkan minum dan membuat camilan untuk para pekerja.

"Setelah ini saya mau kepasar sebentar mbah," kata Lastri kepada mbah Kliwon.
"Mau beli apa? Kan kemarin sudah belanja?"

"Ada piranti dapur yang belum ada."
"Tapi Marni kemarin mau membawakannya hari ini."
"Saya berangkat pagi-pagi, keburu yu Marni datang.

"Walaaah nduk, kamu itu, ya sudah, terserah kamu saja," kata mbah Kliwon sambil meneguk teh hangat buatan Lastri.
*

Ada sebuah toko kelontong dipasar itu, Lastri memilih ceret, dandang kecil, wajan yang nggak terlalu besar, panci kecil dan semua kebutuhan dapur, ah ya.. piring beberapa biji, sendok dan gelas. Lastri merasa cukup, oh ya, dua bendel koran bekas,  kemudian menyuruh pelayan membungkusnya. Tapi di kasir, seorang wanita setengah tua berkata mengejutkannya.

"Ini sudah dibayar semua nak," katanya sambil mengembalikan uang ratusan yang disodorkannya.
"Apa?" Lastri terkejut. Ia menoleh kekiri dan kekanan, tak ada siapapun.

"Belanjaan sudah dibawa ke depan nak," kata wanita yang juga kasir toko itu.

Lastri kebingungan. Tak boleh membayar dan belanjaan sudah dibawa kedepan. Lastri berjalan kedepan. Dan dilihatnya colt kuning telur dengan tulisan LASTRI didepannya.
Lastri cemberut kepada pengemudi mobil itu. Marni, tersenyum manis sambil duduk dibelakang kemudi.

"Yu Marni !! Jelek deh!!" umpatnya kesal.
"Ayo, sudah... nggak boleh cemberut gitu. Ayo naik !! Kenek harus patuh pada sopirnya kan?"

Lastri hampir menangis karena kesal. Ia naik ke mobil dengan linangan air mata.

"Mengapa aku tak berguna?" tangisnya.
"Kamu bilang apa Lastri? Heiiii... cantik, mengapa menangis?"
"Aku benci kamu yu, aku benci !!"

"Mengapa Lastri?"
"Mengapa aku tak boleh melakukan apapun? Mengapa aku selalu dibantu seperti orang lumpuh dan tak berguna?"

"Lastri... jangan bilang begitu...," kata Marni yang kebingungan melihat Lastri marah-marah seperti itu.

"Mengapa aku tak bisa melakukan sesuatu? Mengapa aku harus selalu dibantu, apa aku tak berdaya, apa aku nenek tua jompo? Aku tak berguna.." tangis Lastri semakin menjadi.

Marni menghentikan mobilnya dijalan yang agak lapang, didekatnya tampak kebun jagung sedang menyembulkan buahnya.

"Lastri, kamu jangan salah sangka.. Aku sama sekali tak ingin merendahkan kamu. Sungguh, kamu perempuan yang hebat, yang berani menempuh medan kehidupan yang berat dengan meninggalkan cinta yang begitu luar biasa. Aku kagum sama kamu Lastri, sungguh. Dan sekarang ini bukankah kamu sedang merintis sebuah usaha? Kamu butuh uang untuk membayar dagangan kamu, dan itu pasti tidak sedikit. Jadi maksudku adalah, simpan dulu uang kamu untuk usaha itu, jangan memikirkan hal lain. Lainnya biar aku yang pikul. Apa sih, hanya sekedar tempat tidur, alat dapur dan semua kebutuhan, yang nantinya aku juga akan menikmatinya. Sedangkan uangmu harus kamu pergunakan untuk usaha itu. "

Lastri masih terisak, Ia meresapi semua kata-kata Marni. Ditebarkannya pandangan kearah kiri dan kanan jalan. Kebun jagung yang sebegitu luas, cukupkah uangnya untuk memborong jagung-jagung itu?

Marni benar, ia butuh cukup uang untuk usaha besar ini, untuk mensejahterakan penduduk dusun ini. Uangnya tak seberapa, ia harus berhemat. Ia hanya akan membayar sayur dan buah yang disetorkan petani, karena kebutuhan lain sudah ditanggung Marni, dan tentunya juga lurah Mardi. Ia tak akan bisa apa-apa tanpa mereka.

"Lastri, kamu mengerti aku bukan? Mengerti maksudku? Aku bantu kamu karena aku tertarik pada ide kamu dan mas Mardi. Ini tantangan yang berat, tapi angan yang hebat. Semoga kamu sukses Marni."

Lastri memeluk Marni erat-erat. Tangisnya tumpah dipundak sahabatnya, teman kecil yang puluhan tahun tidak bertemu, kemudian belum dua bulan bertemu lagi lalu menjadi sahabat.
*

Marni membantu Lastri menata kamarnya. Sudah ada koran bekas yang tadi 'dibeli' oleh Lastri tapi dibayar oleh Marni.

"Aduh, ini baju bagus banget Tri, ini pasti mahal sekali. Hm.. warnanya indah," kata Marni sambil membuka baju itu, menempelkan ditubuhnya.

"Ah, aku tak pantas, kulitku kehitaman. Beda dengan kulitmu yang putih bersih Tri."

Lastri menerima baju itu daan melipatnya kembali, tapi sebelum memasukkannya ke almari dia mendekap erat didadanya. Marni yang menyaksikan adegan itu dan segera menangkap bahwa baju itu pasti menyimpan sesuatu yang istimewa.

"Dari pacar ya?" goda Marni.
"Bukan pacar. Dari seseorang yang mencintai aku dan yang aku cintai," katanya lirih sambil menata baju lainnya.

"Apa bedanya tuh?"

"Bedanya ialah karena kami tak pernah pacaran. Tak pernah memadu cinta. Hanya saling tatap, saling memimpikan.. tapi aku tau diri yu, aku harus pergi. Hanya saja rasa ini tak pernah pergi. Aku hanya mencintai dia. Selamanya," katanya sendu.

"Wouw, kedengarannya manis."

Lastri tersenyum. Semua pakaian sudah masuk kedalam almari. Sekarang dia membuka bungkusan sepatu itu, karena akan memasukkannya ke almari bagian bawah.

"Eh, nggak usah dibuka saja, biar terbungkus koran baru dimasukkan ke almari, biar awet bersih, " kata Marni.

Lastri urung membuka koran pembungkus sepatu itu, kemudian memasukkan bungkusan sepatu itu kedalam almari.

Rumah Lastri benar-benar sudah jadi. Tinggal mengecat sebagian kecil tembok, dan pintu juga. Mungkin ini hari terakhir dan pekerjaan itu selesai. Lurah Mardi memberikan sejumlah uang kepada para pekerja yang telah menyelesaikan pembuatan rumah itu. Sesungguhnya mereka menolak, tapi karena itu pemberian pak lurah, mereka menerimanya. Lastri heran karena ketika dia yang memberinya, maka mereka menolaknya.

"Mengapa ya mereka tidak mau dikasih imbalan? Bukankah mereka sudah bekerja keras selama sebulan lebih?Saya jadi nggak enak. Setiap hari hanya memberi makan 3 kali,  apakah itu cukup?" kata Lastri.

"Kehidupan didesa tidak sepeti kota, yang setetes keringat yang terkucur harus ada imbalannya, Sudahlah, besok kalau usaha kamu itu jadi, menguntungkan, kamu boleh memberi kepada mereka, apapun yang ingin kamu berikan," hibur Marni.

"Atau, barangkali ada yang mau bekerja bersama kita? Bukankah kita tak mungkin menaikkan barang-barang lalu menurunkannya sendiri?" kata Lastri.

"Itu bagus, nanti mbah Kliwon yang akan menawarkan pada mereka. Dengan imbalan pastinya, so'alnya ini kan bisnis.

Lastri mengangguk.
"Siap yu, nanti aku bilang sama mbah Kliwon."
*

Soreitu  lurah Mardi datang kerumahnya dan berbicara tentang usaha mereka. Lastri melarang Marni pulang agar bisa berbincang bersama.

"Yang pertama kali harus kita lakukan adalah memberitahu semua petani sayur dan buah, agar mau menjual hasil kebun mereka kekita. Mungkin kita membelinya dengan harga yang lebih muah, tapi mereka kan tidak harus rugi apabila ada sayur yang layu dan terbuang."

"Itu tugasku mas, aku akan berteriak teriak keseluruh dusun, bahwa mulau besok mereka bisa menjual hasil kebun mereka kepada kita."

"Bagus Marni, kan kamu yang suaranya paling kencang," canda Mardi.
"Tidak cukup hanya suaraku mas, harus ada mikrofon dong, biar suaranya bisa bergema."

"Bisa, di kantor kelurahan ada, nanti sore biar diantar kerumah kamu."
"Berarti aku harus mengambil uang dulu ke bank, kata Lastri.

"Besok aku antar kamu, semuanya akan beres. "
"Setelah ke bank, baru kamu teriak-teriak keseluruh dusun."
"Siap pak lurah."

"Aku titipkan uangku ke kamu Marni, karena ini usaha bersama. Kamu yang harus mengelolanya, kata Mardi kepada Marni. Mardi melakukannya, sehingga kalau ada kekurangan maka Marni yang akan mencukupinya.

Ketika remang sore membayang, barulah lurah Mardi dan Marni meningalkan rumah Lastri. Sebelum naik keatas mobilnya, Marni menepuk tubuh mobil itu.

"Besok kamu harus bekerja !!" katanya bersemangat.
Mardi tertawa. Lastri terharu. Ada bahagia dihatinya, dan ada do'a semoga usaha ini berhasil.
*

Hari bejalan, seminggu, sebulan, dua bulan, tiga bulan... usaha itu berhasil. Para petani, lebih-lebih petani kecil sangat terbantu dengan adanya usaha Lastri. Beberapa pekerja juga mendapatkan penghasilan. Lastri melihat semuanya berjalan lancar. Dengan manis Lastri dan Marni berhasil merayu para penjual sayur dan buah agar mengambilnya dari mereka.

Langganan sudah didapat, pasokan berjalan lancar. Hari ini panen apa, itulah yang dijual.
Lastri mulai menyisihkan uangnya untuk membayar hutang kepada bu lurah. Ini membahagiakan. Lastri semakin bersemangat.


Tengkulak bernama Lastri terkenal diseluruh pasar dikota itu. Orangnya cantik dan ramah, siapa yang tak suka?

Pagi hari itu Lastri dan Marni sudah membawa dagangan penuh semobil. Ada bermacam sayur, mentimun, bahkan buah semangka. Dimusim panas biasanya Semangka laku keras.

Marni sering menjalankan mobilnya seperti angin. Lastri selalu mengngatkannya dan mencubit lengannya setiap kali Marni menjalankannya terlalu kencang.

"Kamu kenapa sih, seperti lagi dikejar setan," omel Lastri.
"Mumpung jalanan masih sepi, kalau agak siang sedikit nggak akan bisa cepat, sudah macet."
"Iya, tapi jangan terlalu kencang."

Tiba-tiba dari jauh seorang nenek menyeberang jalan. Marni terkejut karena nenek itu menyeberang tiba-tiba. Rem berbunyi nyaring dan Lastri sudah hampir pingsan karena ngeri. Mobil itu berhenti persis didepan nenek tua yang sedang menggendong sayuran. Nyaris menyerempetnya. Tapi tanpa menoleh, nenek itu terus melanjutkan langkahnya.

"Haduuuh... jantungku sudah jatuh tuh," kata Lastri dengan terengah-engah.

Tapi ketika melihat nenek tua itu, Lastri terkejut. Ia minta Marni meminggirkan mobilnya. Nenek tua seakan tak tau bahwa kelakuannya hampir menghilangkan nyawanya. Ia terus melangkah, menyusuri jalanan sambil terbungkuk-bungkuk.

"Ada apa?"
"Berhenti dulu, aku mengenali nenek itu," kata Lastri sambil turun dari mobil. Ia berlari mengejar karena nenek itu sudah berjalan agak jauh.

"Nenek.. nenek !!" teriak Lastri.
Nenek itu mungkin sudah sedikit tuli. Teriakan Lastri baru terdengar ketika Lastri sudah dekat.

"Neng memanggil saya?" nenek itu menoleh.
"Nenek lupa siapa saya? Saya Lastri nek !!"
"Oh, Lastri... itu.. yang dulu tidur dirumah simbah?"

"Iya nek, aduh, mau kepasar menjual sayuran ya nek?"
"Iya, apa lagi yang bisa nenek lakukan?"

"Mana sayur itu, biar Lastri beli semua."
"Ini? Semua?" tanya si nenek heran.
"Iya, semua. Berapa harganya ?"

"Itu, limabelas ribu saja," kata nenek sambil menurunkan bakulnya. Lastri menyuruh salah seorang pembantunya untuk turun dan mengambil sayuran si nenek, dan menaikkannya ke mobil.

"Syukurlah, ada yang memborong, sebenarnyaa nenek lagi kurang enak badan, tapi nenek kan harus cari makan."

Lastri membuka dompetnya dan memberikan uang seratus ribu kepada si nenek.
"Kembaliannya nggak ada nak."

"Nggak usah dikembalikan. Untuk berobat nenek saja."
"Oh, terimakasih nak, kamu selalu memberi nenek uang lebih."

"Dengar nek, mulai besok, nenek tidak usah membawa dagangan nenek kepasar. Nenek cukup menunggu dipinggir jalan situ, dan Lastri akan membelinya."

"Oh, Gusti Allah... apa nak cantik ini malaikat?"

"Nenek, saya Lastri. Ayo, Lastri seberangkan nek, kalau nyebrang hati-hati, menoleh kekiri dan kekanan dulu baru menyerbrang ya. Dan mulai besok tidak usah menyeberang. Cukup tunggu saja dipinggir jalan itu, Lastri akan membelinya," kata Lastri wanti-wanti, sambil menyeberangkan sang nenek.

Nenek itu sangat berterimakasih. Ia tak sempat bertanya, mengapa gadis cantik yang ia sebenarnya lupa namanya itu akan selalu memborong dagangannya.

"Ayo jalan," kata Lastri setelah kembali ke mobil.
"Memangnya siapa dia?" tanya Marni sambil menjalankan mobilnya.

"Seorang nenek. Pertama kali aku kabur dari rumah, dalam keadaan bingung, nenek itulah yang menolong aku, memberi aku tumpangan tidur semalam dirumahnya."

"Oh, kamu memang benar-benar disayang oleh semua mahluk dibumi ini."

"Ngomong apa sih kamu. Udah jangan ngebut lagi! Nyaris mencabut nyawa seorang nenek kamu tadi !!" tegur Lastri sambil bersungut.
*

Hari itu hati Marni berbunga-bunga. Tadi pagi dia mengatakannya pada Lastri, bahwa siang harinya bu lurah akan kerumahnya untuk melamar. Lastri sangat gembira mendengarnya.
Siang itu sepulang dari mengantarkan dagangan, Lastri langsung mandi, Marni minta agar Lastri datang untuk menyaksikan acara lamaran itu.

Setelah mandi Lastri memilih-milih pakaian untuk dikenakan. Ketika terpegang olehnya baju yang diberikan Bayu, Lastri ragu-ragu. Baru lamaran, bagusnya dipakai  besok kalau mereka menikah saja, pikir Lastri. Karenanya maka dia memilih baju yang lain. Dia mematut dirinya didepan cermin.

"Ini cukup bagus. Baju yang diberikan bu Marsudi ketika lebaran," gumam Lastri.. Ah, kembali ingatannya melayang kearah bu Marsudi yang baik hati. Rasa rindu kembali menyeruak.

Sekarang memoles wajahnya. Lastri tak suka bersolek walau ia punya pinsil alis , gincu dan lipstik. Ia hanya berbedak dan memoleskan sedikit lipstik. Sangat tipis. Lastri memang cantik. Rambutnya tetap digelung seperti biasanya. Lalu apa lagi, ah ya... sepatu..Lastri kembali membuka almari untuk mengambil sepatu.

Dibukanya bungkus sepatu itu. Korannya masih bagus, nanti bisa digunakan lagi, pikirnya. Kemudiaan dilipatnya lagi koran itu. 

Tapi tiba-tiba dilihatnya sebuah tulisan yang membuatnya berdebar. DICARI, lalu dibawahnya, LASTRI, PULANGLAH, KAMI MENUNGGU KAMU,.. aduh.. sayang bawahnya lagi telah dirobeknya ketika mau membungkusnya.
*


Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar