*LASTRI
29*
Lastri
benar-benar terpana. Mobil itu tampak meriah dengan gambar bunga-bunga cantik,
tapi mengapa ada namanya disitu ? Besar lagi..
"Yu Marni,
apa-apaan ini???"
"Kamu
suka?"
"Yu,
mengapa ada namaku, jadi nggak enak." Lastri protes sambil mencubit lengan
Marni.
"Adduh,
ini kenapa sih, jadi orang sukanya nyubit," teriak Marni sambil mengelus
lengannya yang terasa sakit.
"Itu yu...
mengapa LASTRI ? Harusnya MARNI, ganti dong yu."
"Enak aja,
bikinnya mahal, tau?!"
"Tapi
mengapa Lastri? Bagusan MARNI dong.."
"Wuih,
MARNI.... jelek banget... kurang manis. Kalau namamu kan manis, indah, diantara
bunga-bunga karena kamu adalah
bunga."
"Aaah...
yu Marni.... gitu banget deh.."
mBah Kliwon
yang ikutan keluar melihat mobil itu dan berdecak kagum.
"Indah
sekali Marni.... "
"Tuh kan,
mbah Kliwon saja bilang indah... sudah.. nggak boleh protes."
Marni langsung
menarik Lastri kedalam rumah yang hampir jadi.
"Bagus
sekali Lastri, itu kamar buat kamu, nanti kita taruh dagangan kita disini. Itu
pintunya sudah dipasang, besok di cat dan selesai deh."
"Besok aku
sudah mau tidur disini, nggak enak numpang terus."
"Oh iya,
baguslah, ayo sekarang ikut aku."
"Kemanaaa?"
"Ayo..
ikut saja, kamu kan kenek, jadi harus nurut ama sopirnya," kata Marni
sambil menarik tangan Lastri, dibukakannya pintu sebelah kiri, dan dipaksanya
Lastri masuk, sementara dia sendiri kemudian duduk didepan kemudi.
"mBah,
pergi dulu sebentar yaaa," teriak Marni yang kemudian menstarter mobilnya.
"Hati-hati!!"
pesan mbah Kliwon yang juga berteriak.
Mobil Marni
terus berjalan keluar dusun, dijalanan banyak orang memandangi mobil itu dan
kagum karena memang tampak cantik.
"Ini
sopirnya tukang maksa deh."
"Kamu tuh
kalau nggak dipaksa nggak bakalan mau."
Mobil itu
berhenti disebuah toko yang menjual aneka perabot rumah tangga.
Marni mengajak
Lastri turun.
"Apa nih?
Kamu mau borong almari?"
"Satu
almari, satu kasur,"
"Kamu
nggak punya almari atau kasur?"
"Buat kamu
Lastri."
"Oh
tidaaak... aku nggak bawa uang, nggak bawa apa-apa.. tolong," teriak
Lastri yang melihat Marni nyelonong masuk kedalam dan memilih-milih.
"Yu Marni,
tolong, jangan begitu, aku bisa tidur diatas tikar. Atau, ijinkan aku kembali
dulu untuk mengambil uangku."
"Tidak
Lastri, kelamaan. Yang mana? Ini ya, oh ya, sama bantal satu, guling
satu,"katanya kepada pelayan toko.
"Yu,
aduuh... nekat sekali kamu yu," Lastri tak bisa berkutik. Marni memilih
dan memilih, tak perduli Lastri berteriak-teriak.
"Almari
nggak usah yang terlalu besar ya, ini saja cukup?"
Lastri hanya
garuk-garuk kepala.
"Nanti
semua ini aku ganti," kata Lastri pelan, takut keributan itu menarik
perhatian para pelayan toko.
"Nggak
bisa, Ini impentaris perusahaan yang harus kamu pakai."
"Inventaris...?"
kata Lastri membetulkan.
"Ya,
apalah itu namanya, ini milik usaha kita."
"Aduuuh..."
keluh Lastri tak berdaya.
Pelayan sudah
menaikkan sebuah almari, sebuah kasur busa, satu bantal dan satu guling ke jok
belakang mobil Marni, diikat dengan rapi agar jangan roboh.
"Astaga,
ada yang terlupa, ada tikar?"
Pelayan itu
mengangguk. Marni masuk lagi kedalam, memilih sebuah tikar dan membayarnya
sekaligus.
"Kalau ada
tamu datang, suruh duduk di tikar. Besok-besok kita beli kursi tamu," kata
Marni yang tampak sibuk.
"Nanti
pulangnya mampir kerumahku dulu, ambil kompor," kata Marni sambil naik
keatas mobil.
"Aduuuh..."Lastri
geleng-geleng kepala.
*
Memandangi
orang-orng menata rumahnya, ada rasa miris dihati Lastri. Lebih-lebih ketika
didalam kamar yang sudah dibersihkan, lalu dimasukkannya almari, dan lincak
mbah Kliwon diberikan untuk alas kasur yang tadi dibeli, Lastri merasa menjadi
beban banyak orang. Bukannya senang tapi sedih jadinya.
"Mengapa
hidupku selalu menjadi beban banyak orang?" keluhnya lirih ketika duduk
ditepi kasur yang empuk, dan yang sudah berseprei cantik karena Marni sudah
mempersiapkan semuanya.
Tak terasa
berlinang air mata Lastri. Tiba-tiba ia merasa tak berdaya. Ia merasa hidupnya
hanya karena orang lain. Karena belas kasihan orang lain, dan itu membuatnya
tak punya arti. Tiba-tiba juga Lastri ingin pergi. Menjauh dari orang-orang
yang telah menanam kebaikan.
Menjauh dari
orang-orang yang membuatnya tak berguna. Itu benar bukan? Bisik hati Lastri.
Tapi mau pergi kemana lagi ? Mengapa tiba-tiba rumah ini tidak membuatnya
bahagia?
Hari sudah
sore. Marni sudah pulang dan Lastri masih ada dirumahnya. Ia harus berpamit
pada bu lurah, karena akan tidur dirumahnya sendiri.
Ahaaa..
rumahnya sendiri? Bukan, ini rumah buatan bu lurah. Ia hanya punya tanah tak
seberapa, yang seharusnya akan didirikannya dengan atap rumbai, lantai tanah
dan dinding dari anyaman bambu.
Rumah ini
sangat mewah baginya. Dengan tembok bercat kuning muda, ada kamar yang bersih
dan hangat, ada dapur, ada kamar mandi yang bisa dengan mudah dibersihkan
karena semuanya berlapis keramik, seperti seluruh lantai dirumah itu.
mBah Kliwon
membuatkan bangku dari bambu yang diletakkannya didapur. Ada kompor gas yang
dibawakan Marni ketika mereka pulang dari membeli kasur.
"Ini masih
baru dan tak pernah terpakai karena sudah ada satu yang aku gunakan, dan itu
cukup," kata Marni siang tadi. Lalu apa lagi? Semua atas bantuan orang
lain. Yang tidak terbantu hanyalah ketika dia mandi dan menyuapkan makan dan
minum kemulutnya.
Lastri duduk di
bangku yang ada didapur. Besok ia akan membeli alat-alat yang diperlukan. Harus
berangkat pagi-pagi sebelum Marni datang dan membelikan semuanya.
Lastri masih
duduk termangu, sampai senja tampak temaram. Tiba-tiba terdengar
langkah-langkah, bukan hanya satu orang. Salah satunya adalah mbah Kliwon,
membawa lampu minyak yang sudah dinyalakan. Dari bayang-bayang diantara lampu yang
berkebit itu dilihatnya bu lurah. Bu lurah datang kemari? Lastri berdiri dan
mengambil lampu minyak yang dibawa mbah Kliwon. lalu diletakkannya disebuah
bangku kayu mulik para pekerja yang dipergunakan untuk memanjat-manjat.
"Hari
sudah semakin gelap, mengapa kamu tidak mengambil lampu minyak dari rumah
simbah?" tegur mbah Kliwon sambil melangkah keluar. Mungkin akan mengambil
satu atau dua lagi lampu minyak untuk rumahnya.
"Lastri..
, tadi aku menunggu kamu pulang, tapi karena tidak segera pulang lalu aku
menyusul kemari." kata bu lurah sambil duduk diatas bangku, dan Lastri
kemudian mengikutinya.
"Saya
masih membersihkan kamar," jawab Lastri sambil duduk disamping bu lurah.
"Itu kamar
kamu?" lanjutnya.
"Iya bu,
sedianya saya mau pamit sama ibu, bahwa malam ini saya tidak akan menumpang
lagi dirumah bu lurah." kata Lastri pelan.
"Aku tau,
ketika rumah ini jadi maka kamu pasti akan segera pergi dari rumahku."
"Saya
minta ma'af dan sangat berterimakasih karena bu lurah telah memberi kebaikan
yang tak terhingga untuk saya, dan tentu saja tak akan terbayar oleh apapun
juga."
"Tidak
usah berterimakasih, aku senang bisa membantu."
"Saya
sudah berjanji akan mengganti semua uang yang ibu keluarkan untuk saya,"
"Ya,
terserah kamu saja Lastri. tidak usah tergesa-gesa. Aku mendengar kamu akan
mendirikan sebuah usaha sama Mardi."
"Ya, baru
rencana bu."
"Semoga
berhasil, aku senang ide-ide kalian. Sudah sa'atnya lurah Mardi ikut membangun
desanya. Dan kamu membantunya."
Lastri hanya
mengangguk.
"Besok
pagi saya akan mengambil barang-barang saya ya bu."
"Kamu akan
tidur disini malam ini juga?"
"Maksud
saya begitu bu, karena yu Marni sudah menata rumah ini sehingga saya bisa
tinggal kapan saya mau."
"Marni ?
Dia mau membantu kamu, setelah peristiwa malam itu?"
"Oh, itu
bu, itu hanya karena salah paham. Kami bersahabat baik, hamir tiap hari dia
disini membantu saya memasak dan bersih-bersih rumah ini sejak kemarin.
"Lastri,
apa kamu tau bahwa sesungguhnya aku berharap lebih?"
"Apa
maksud ibu ?"
"Aku
melihat kamu gadis yang baik, cantik, dan aku belum pernah bertemu gadis
sepertimu. Aku berharap kamu bisa menjadi menantuku."
Lastri terdiam.
Ia sudah tau bahwa bu lurah punya maksud seperti itu. Dipandanginya lampu
minyak yang berkebat kebit ditiup angin dari arah pintu depan. Begitu juga
hatinya. Segala macam bantuan tak terhingga diguyurkan untuk hidupnya, untuk
semua kebutuhannya, tapi hatinya tidak bahagia menerima semua itu. Ada rasa
berkebat kebit kalau-kalau ia tiak bisa membalas semua itu.
"Ma'af
kalau ini mengganggu perasaan kamu Lastri."
"Ma'af
juga bu, apakah ibu melakukan semua karena ibu menginginkan saya menjadi
isterinya kang Mardi?"
Bu lurah
terdiam.
"Saya
sungguh menyesal kalau itu yang terjadi. Apakah saya harus memberikan rumah ini
kepada ibu agar saya tak berhutang?"
"Tidak
Lastri, jangan begitu," kata bu lurah yang tak bisa melanjutkan
kata-katanya.
"Dengan
berdirinya rumah ini, saya sama sekali tidak bahagia. Sungguh bu, menelan
kebaikan dari orang lain itu sungguh berat bagi saya. Sejak siang tadi saya
memikirkannya, mengapa hidup saya ini selalu menjadi beban bagi orang
lain?"
Tiba-tiba mbah
Kliwon datang lagi dengan membawa satu lampu minyak, yang kemudian
diletakkannya di lincak depan.
"Duduk
disini saja bu, ini.. ada lincak dan sudah saya taruh lampu didepannya.
Barangkali lebih enak bicara disini saja," kata mbah Kliwon.
"Sudah
mbah, aku sudah mau pulang kok," kata bu lurah sambil berdiri.
"Lastri,
aku mau pulang dulu, silahkan kalau kamu mau tidur disini malam ini, besok
barang-barang mu bisa kamu ambil."
"Terimakasih
bu."
"Kamu
jangan memikirkan semua yang aku berikan, pamrih itu sekarang tidak ada. Aku
kagum pada pendirianmu. Aku kira kamu suka pad Mardi," katanya sambil
berjalan.
"Ma'af bu,
kang Mardi cukup menjadi kakak saya saja, saya tidak lagi memiliki cinta yang
tersisa," kata Lastri pelan.
Bu lurah
melangkah keluar rumah.
"Bu, yu
Marni gadis yang sangat baik. Saya percaya dia akan menjadi pendampung kang
Mardi yang membanggakan. Bukankah kang Mardi juga mencintainya?"
Bu lurah hanya
mengangguk, lalu mempercepat langkahnya pergi dari rumah Lastri. Harapan akan
Lastri pupus sudah, benarkah Marni gadis yang terbaik untuk Mardi ? Bu lurah
akan mempertimbangkannya kembali.
*
Lastri masih
duduk dilincak depan rumah yang tadi diletakkan oleh mbah Kliwon. Lampu minyak
masih berkebat kebit, dan ini lebih kencang karena letaknya diluar ruang.
Ketika ditebarkannya pandangan mata keluar rumah, hanya kegelapan yang nampak.
Dusun terpencil
yang senyap ini, apakah bisa Lastri menghidupkannya sehingga menjadi dusun yang
penuh gairah? Angannya membubung tinggi kelangit sana. Gemerlap bintang yang
menemaninya, berkedip manja seperti kedipan seorang pecinta.
Dilangit yang
sama, ada sebuah bayangan bintang yang lain. Ia tak hanya mengerdipkan matanya,
tapi juga menyunggingkan senyumnya yang menawan. Lalu rindupun kembali menyesak
adanya.
"Wahai
cinta, mengapa sekejam ini kamu memperlakukan aku?"
Angin berhembus
sedikit keras, Lastri menggigil, dan lampu minyak bergoyang semakin kencang.
"Kudekap
rinduku, kubawa dalam mimpiku. Mas Bayu, mengapa aku tak bisa melupakanmu?
"
Lastri berdiri,
melambaikan tangannya kearah bintang.
"Kalau
kamu bintang yang sama, sampaikan rinduku untuknya," bisiknya lalu masuk
kedalam rumah, menutupkan pintunya.
Lastri masuk
kekamar, setelah meletakkan lampu minyak ditengah ruang. Dibiarkannya pintu
kamarnya terbuka, agar kamar itu tak terlalu gulita. Lalu dibaringkannya
tubuhnya di kasur. Ia tak perduli hawa dingin yang menyergap masuk kekamarnya.
Ia memeluk guling dan berusaha terlelap.
Matanya hampir
terpejam ketika tiba-tiba didengarnya ketukan pintu.
Lastri bangkit
dan mendengarkan lebih seksama. Betulkah itu ketukan dipintu rumahnya?
Tapi kemudian
ketukan itu diiringi panggilan dengan suara serak.
"Tri, sudah
tidur?"
Oh, itu suara
mbah Kliwon. Ada apa mbah Kliwon mengertuk pintu?
Lastri keluar
dari kamar.
"Lastri."
suara memanggil terdengar lagi.
"Ya, ini
aku."
Lastri membuka
pintu . Dilihatnya mbah Kliwon berdiri sambil membawa dua bugkusan.
"Ada apa
mbah?"
Lastri membuka
pintunya lebih lebar. mBah Kliwon masuk kedalam.
"Ini ada
kiriman dari bu lurah. Ini selimut, katanya udara sangat dingin jadi kamu pasti
membutuhkannya. Yang ini nasi dan lauk pauknya, untuk kamu makan malam,"
katanya sambil mengulurkan kedua bungkusan.
"Ya ampun,
Lastri tidak lapar mbah."
"Nggak
apa-apa, terima saja. Ayo sini, simbah temani,ini kan ada tikar, duduklah dan
nikmati," kata mbah Kliwon sambil duduk diatas tikar. Lastri mengambil
lampu minyak agar pemandangan diruang itu lebih terang.
"Ini
membuat saya merasa tak berdaya mbah," kata Lastri pelan sambil membuka
bungkusan, lalu disodorkannya kehadapan mbah Kliwon.
"Apa
maksudmu Lastri?"
"Sejak
siang tadi, ketika saya mengamati rumah ini, dan semua kebaikan Marni dan semua
kebaikan simbah, saya merasa bahwa hidup saya ternyata membebani banyak
orang."
"Ketika
saya ingin membuat rumah, ada orang yang memberikan bahan-bahan dan semua
kebutuhannya,
ketika saya
ingin memiliki usaha, Marni menyiapkan mobil yang bahkan bertuliskan nama saya,
ketika saya
kedinginan, ada yang memberikan saya selimut,
ketika saya
lapar, ada yang memberi saya makanan.
Bukankah saya
ini tak berdaya?
Saya sedih
mbah, berdirinya rumah ini dan semuanya, tidak membuat saya bahagia, justru
membuat saya merasa tak punya makna."
"Itu
pendapat yang keliru Lastri, tapi tunggu dulu, mengapa nasinya kamu berikan
untuk aku?"
"Simbah
saja yang makan, Lastri tidak lapar."
"Jangan
begitu, nasinya sangat banyak, kalau sampai besok pasti basi, jadi ayo kita
makan berdua."
Lastri membuka
bungkusan, dan merobek daun pembungkusnya menjadi dua. Dia mengambil sedikit
nasi, dan sedikit lauk. Rupanya bu lurah gemar menggoreng nila. Maklumlah,
tinggal mengambil dikolam belakang rumahnya.
Ternyata Lastri
memang lapar, dia menyuapkannya dengan nikmat.
"Betul kan
mbah, kata saya?" tanya Lastri sambil memasukkan suapan ke mulutnya.
"Tidak
Lastri, kamu salah."
"Saya
salah? Bukankah semua yang saya ketakan itu benar? Siang tadi saya memutuskan
untuk lari dari semua ini. Pergi jauh entah kemana."
"Tidak
benar.Kamu bukannya tak punya makna. Kamu, karena kebaikan kamu, ketulusan
kamu, maka dimanapun kamu berada pasti ada yang menolongnya. Apa yang kamu
terima itu adalah anugerah, adalah jalan yang diberikan Yang Maha Kuasa agar
kamu bisa mencapai apa yang kamu inginkan. Syukurilah itu, jangan kamu sesali
nduk."
Lastri terdiam.
Tapi bahwa dimanapun pasti ada pertolongan untuk dirinya, itu benar. Itu bukan
karena dia tak berdaya? Bukan karena dia tak punya makna? Dan itu adalah
anugerah?
Lastri mencoba
meresapinya. Ia menelusuri hari-hari setelah kepergiannya. Ketika ingin pulang,
tak tau harus kemana, ia bertemu dengan nenek penjual sayur yang memberinya
tumpangan.
Ketika ingin
melanjutkan perjalanan, ia bertemu bu lurah yang kemudian menawarkannya untuk
tinggal, ketika ingin ketemu mbah Kliwon dan menanyakan tentang tanah milik
simbahnya, tiba-tiba ia bertemu mbah Kliwon yang kemudian bersama-sama
membersihkan makan kedua orang tua dan neneknya, ketika ingin membangun rumah,
ketika..ketika.. dan ketika.... Lastri menghela nafas, itu adalah anugerah.
"Ayo ambil
lagi nasinya, tampaknya kamu lapar."
"Sudah
mbah, benar-benar kenyang."
"Sekali lagi
simbah ingatkan, jangan sampai kamu merasa tak berguna. Kamu itu justru manusia
terpilih yang dimanapun kamu berada pasti ada yang mengasihi kamu. Ketika kamu
kesulitan, ketika kamu menginginkan sesuatu, begitu mudah kamu mendapatkannya.
Ayo nduk, kejar cita-citamu, dan jangan lupa, kejar cintamu."
Lastri terdiam,
tapi kata-kata terakhir dari mbah Kliwon tadi sungguh menggetarkan hatinya.
Bisakah aku mengejarnya? Kata batin Lastri. Namun ketika terlelap, Lastri
merasa batinnya sudah lebih kuat.
*
Pagi hari itu
Lastri membenahi barang-barangnya, ia sudah memasukkan semuanya kedalam sebuah
tas besar. Tapi ia belum membungkus sepatunya. Lastri mencari koran, tapi tak
ada.
"Sedang
mencari apa Tri?"
"Bu, punya
koran yang sudah tidak dipakai?" kata Lastri sambil mendekati bu lurah
yang sibuk didapur.
"Ada, Tri,
tanganku kotor, coba kamu cari dikamarku Tri."
"Dikamar
bu?"
"Iya,
didekat almari kan ada kardus berisi koran-koran bekas, ambil saja
disana."
"Baik
bu."
Lastri menuju
ke kamar bu lurah, membuka pintunya, dan menemukan dus berisi koran-koran
bekas. Ia mengambil tumpukan yang agak dibawah, karena yang diatas pasti masih
termasuk baru, barangkali masih akan dicari.
*
Bersambung
&&&&&
*LASTRI 30*
Lastri segera
membungkus sepatunya, Ah, terlalu lebar korannya nih, lalu Lastri merobeknya
separo, kemudian setelah rapi lalu
dimasukkannya sekalian kedalam tas. Memang Lastri tak membawa apa-apa ketika
pergi, kecuali baju-baju ganti. Kemudin
ia menuju dapur, meletakkan tasnya dan mendekati bu lurah.
"Biar saya
bantu bu," kata Lastri sambil mengambil pengaduk sayur lalu mengaduknya
perlahan.
"Hm, ini
sayur lodeh terong ya bu?Sedap baunya."
"Kalau
kamu mau, kamu boleh membawa nanti, aku ambilkan wadahnya, kata bu lurah sambil
mengambil rantang di rak piring.
"Eh,
jangan bu, nanti juga Lastri kan mau memasak untuk pekerja-pekerja itu. Lastri
juga akan memasak sayur lodeh sama menggoreng ikan asin."
"Waah, itu
enak Lastri. Ya sudah, aku sudah selesai masaknya. Ini untuk sarapan dan makan
siang sekaligus."
"Bagus bu,
jadi ibu nggak kecapean. kang Mardi masih mandi ya? Nanti tolong dipamitkan ya
bu, Lastri mau pergi sekarang, karena harus menyiapkan makan dan minum
mereka."
"Baik
Lastri, tapi sering-seringlah datang kemari. Rumah ini selalu terbuka untuk
kamu."
"Terimakasih
bu."
Lastri kemudian
keluar dari dapur, meninggalkan bu lurah yang kemudian merenung sendirian.
"Gadis
cantik yang tak bersedia menjadi isteri lurah muda, sayang sekali Lastri,"
gumamnya sendirian.
Bu lurah
mengentas sayur dan mematikan kompor, kemudian pergi kekamar Lastri. Seprei dan
sarung bantal sudah rapi, tapi bu lurah harus mencucinya. Tiba-tiba dilihatnya
koran separo yang tergeletak diatas kasur.
"Ya ampun,
ini koran kapan, Sudah lama, aku lupa menyembunyikan koran beriklan itu.
Bagaimana kalau Lastri membacanya? Pasti dia marah karena aku tak menyampaikan
isi iklan itu. Bu lurah melipat koran itu dan meletakkannya kembali di kardus,
sambil mereka-reka jawaban kalau Lastri menanyakan tentang iklan itu. Bilang
apa ya, tak tau tentang iklan itu?
Aduh.. mengapa
sebuah kebohongan harus disusul dengan kebohongan lain? Mengapa Mardi juga
melupakan tentang iklan itu? Mungkin lebih baik diam daripada mengatakan lalu
Lastri menuduhnya menyembunyikan hal penting bagi hidupnya.
Bu lurah
melanjutkan melepaskan sarung-sarung bantal, sambil berfikir keras.
"Semoga
Lastri tak membaca iklan itu," gumamnya perlahan.
"Bu, aku
makan ya?"
Bu lurah
terkejut. Ia meninggalkan kamar Lastri dan menyiapkan makan pagi untuk Mardi.
Mulutnya ingin mengatakan tentang iklan itu, tapi diurungkannya.
*
Lastri menata
baju-baju didalam almari. Baju yang hanya beberapa lembar. Lalu Lastri menyesal
mengapa meninggalkan koran yang tadi disobeknya padahal bisa dipergunakan untuk
alas baju-bajunya.
"Ya
sudahlah, ditaruh begitu saja dulu, nanti dia akan membeli koran bekas
dipasar."
Lalu ketika ia
menyentuh baju yang pernah dibelikan Bayu, hatinya kembali teriris. Baju yang
indah, yang belum pernah dipakainya. Ia mendekap baju itu, seperti melampiaskan
rindunya. Lalu kembali air matanya berlinang.
"Lastri,
airnya sudah mendidih !!" teriak mbah Kliwon dari luar rumah.
Lastri
terkejut, ia sampai lupa kalau tadi merebus air.
"Oh, ma'af
mbah, " katanya sambil berlari-lari kedapurnya mbah Kliwon. Ia harus
membuatkan minum dan membuat camilan untuk para pekerja.
"Setelah
ini saya mau kepasar sebentar mbah," kata Lastri kepada mbah Kliwon.
"Mau beli
apa? Kan kemarin sudah belanja?"
"Ada
piranti dapur yang belum ada."
"Tapi
Marni kemarin mau membawakannya hari ini."
"Saya
berangkat pagi-pagi, keburu yu Marni datang.
"Walaaah
nduk, kamu itu, ya sudah, terserah kamu saja," kata mbah Kliwon sambil
meneguk teh hangat buatan Lastri.
*
Ada sebuah toko
kelontong dipasar itu, Lastri memilih ceret, dandang kecil, wajan yang nggak
terlalu besar, panci kecil dan semua kebutuhan dapur, ah ya.. piring beberapa
biji, sendok dan gelas. Lastri merasa cukup, oh ya, dua bendel koran
bekas, kemudian menyuruh pelayan membungkusnya.
Tapi di kasir, seorang wanita setengah tua berkata mengejutkannya.
"Ini sudah
dibayar semua nak," katanya sambil mengembalikan uang ratusan yang
disodorkannya.
"Apa?"
Lastri terkejut. Ia menoleh kekiri dan kekanan, tak ada siapapun.
"Belanjaan
sudah dibawa ke depan nak," kata wanita yang juga kasir toko itu.
Lastri
kebingungan. Tak boleh membayar dan belanjaan sudah dibawa kedepan. Lastri
berjalan kedepan. Dan dilihatnya colt kuning telur dengan tulisan LASTRI
didepannya.
Lastri cemberut
kepada pengemudi mobil itu. Marni, tersenyum manis sambil duduk dibelakang
kemudi.
"Yu Marni
!! Jelek deh!!" umpatnya kesal.
"Ayo,
sudah... nggak boleh cemberut gitu. Ayo naik !! Kenek harus patuh pada sopirnya
kan?"
Lastri hampir
menangis karena kesal. Ia naik ke mobil dengan linangan air mata.
"Mengapa
aku tak berguna?" tangisnya.
"Kamu
bilang apa Lastri? Heiiii... cantik, mengapa menangis?"
"Aku benci
kamu yu, aku benci !!"
"Mengapa
Lastri?"
"Mengapa
aku tak boleh melakukan apapun? Mengapa aku selalu dibantu seperti orang lumpuh
dan tak berguna?"
"Lastri...
jangan bilang begitu...," kata Marni yang kebingungan melihat Lastri
marah-marah seperti itu.
"Mengapa
aku tak bisa melakukan sesuatu? Mengapa aku harus selalu dibantu, apa aku tak
berdaya, apa aku nenek tua jompo? Aku tak berguna.." tangis Lastri semakin
menjadi.
Marni
menghentikan mobilnya dijalan yang agak lapang, didekatnya tampak kebun jagung
sedang menyembulkan buahnya.
"Lastri,
kamu jangan salah sangka.. Aku sama sekali tak ingin merendahkan kamu. Sungguh,
kamu perempuan yang hebat, yang berani menempuh medan kehidupan yang berat
dengan meninggalkan cinta yang begitu luar biasa. Aku kagum sama kamu Lastri,
sungguh. Dan sekarang ini bukankah kamu sedang merintis sebuah usaha? Kamu
butuh uang untuk membayar dagangan kamu, dan itu pasti tidak sedikit. Jadi
maksudku adalah, simpan dulu uang kamu untuk usaha itu, jangan memikirkan hal
lain. Lainnya biar aku yang pikul. Apa sih, hanya sekedar tempat tidur, alat
dapur dan semua kebutuhan, yang nantinya aku juga akan menikmatinya. Sedangkan
uangmu harus kamu pergunakan untuk usaha itu. "
Lastri masih
terisak, Ia meresapi semua kata-kata Marni. Ditebarkannya pandangan kearah kiri
dan kanan jalan. Kebun jagung yang sebegitu luas, cukupkah uangnya untuk
memborong jagung-jagung itu?
Marni benar, ia
butuh cukup uang untuk usaha besar ini, untuk mensejahterakan penduduk dusun
ini. Uangnya tak seberapa, ia harus berhemat. Ia hanya akan membayar sayur dan
buah yang disetorkan petani, karena kebutuhan lain sudah ditanggung Marni, dan
tentunya juga lurah Mardi. Ia tak akan bisa apa-apa tanpa mereka.
"Lastri,
kamu mengerti aku bukan? Mengerti maksudku? Aku bantu kamu karena aku tertarik
pada ide kamu dan mas Mardi. Ini tantangan yang berat, tapi angan yang hebat.
Semoga kamu sukses Marni."
Lastri memeluk
Marni erat-erat. Tangisnya tumpah dipundak sahabatnya, teman kecil yang puluhan
tahun tidak bertemu, kemudian belum dua bulan bertemu lagi lalu menjadi
sahabat.
*
Marni membantu
Lastri menata kamarnya. Sudah ada koran bekas yang tadi 'dibeli' oleh Lastri
tapi dibayar oleh Marni.
"Aduh, ini
baju bagus banget Tri, ini pasti mahal sekali. Hm.. warnanya indah," kata
Marni sambil membuka baju itu, menempelkan ditubuhnya.
"Ah, aku
tak pantas, kulitku kehitaman. Beda dengan kulitmu yang putih bersih Tri."
Lastri menerima
baju itu daan melipatnya kembali, tapi sebelum memasukkannya ke almari dia
mendekap erat didadanya. Marni yang menyaksikan adegan itu dan segera menangkap
bahwa baju itu pasti menyimpan sesuatu yang istimewa.
"Dari
pacar ya?" goda Marni.
"Bukan
pacar. Dari seseorang yang mencintai aku dan yang aku cintai," katanya
lirih sambil menata baju lainnya.
"Apa
bedanya tuh?"
"Bedanya
ialah karena kami tak pernah pacaran. Tak pernah memadu cinta. Hanya saling
tatap, saling memimpikan.. tapi aku tau diri yu, aku harus pergi. Hanya saja
rasa ini tak pernah pergi. Aku hanya mencintai dia. Selamanya," katanya
sendu.
"Wouw,
kedengarannya manis."
Lastri
tersenyum. Semua pakaian sudah masuk kedalam almari. Sekarang dia membuka
bungkusan sepatu itu, karena akan memasukkannya ke almari bagian bawah.
"Eh, nggak
usah dibuka saja, biar terbungkus koran baru dimasukkan ke almari, biar awet
bersih, " kata Marni.
Lastri urung
membuka koran pembungkus sepatu itu, kemudian memasukkan bungkusan sepatu itu
kedalam almari.
*
Rumah Lastri
benar-benar sudah jadi. Tinggal mengecat sebagian kecil tembok, dan pintu juga.
Mungkin ini hari terakhir dan pekerjaan itu selesai. Lurah Mardi memberikan
sejumlah uang kepada para pekerja yang telah menyelesaikan pembuatan rumah itu.
Sesungguhnya mereka menolak, tapi karena itu pemberian pak lurah, mereka
menerimanya. Lastri heran karena ketika dia yang memberinya, maka mereka
menolaknya.
"Mengapa
ya mereka tidak mau dikasih imbalan? Bukankah mereka sudah bekerja keras selama
sebulan lebih?Saya jadi nggak enak. Setiap hari hanya memberi makan 3
kali, apakah itu cukup?" kata
Lastri.
"Kehidupan
didesa tidak sepeti kota, yang setetes keringat yang terkucur harus ada
imbalannya, Sudahlah, besok kalau usaha kamu itu jadi, menguntungkan, kamu
boleh memberi kepada mereka, apapun yang ingin kamu berikan," hibur Marni.
"Atau,
barangkali ada yang mau bekerja bersama kita? Bukankah kita tak mungkin
menaikkan barang-barang lalu menurunkannya sendiri?" kata Lastri.
"Itu
bagus, nanti mbah Kliwon yang akan menawarkan pada mereka. Dengan imbalan
pastinya, so'alnya ini kan bisnis.
Lastri
mengangguk.
"Siap yu,
nanti aku bilang sama mbah Kliwon."
*
Soreitu lurah Mardi datang kerumahnya dan berbicara
tentang usaha mereka. Lastri melarang Marni pulang agar bisa berbincang
bersama.
"Yang
pertama kali harus kita lakukan adalah memberitahu semua petani sayur dan buah,
agar mau menjual hasil kebun mereka kekita. Mungkin kita membelinya dengan
harga yang lebih muah, tapi mereka kan tidak harus rugi apabila ada sayur yang
layu dan terbuang."
"Itu
tugasku mas, aku akan berteriak teriak keseluruh dusun, bahwa mulau besok
mereka bisa menjual hasil kebun mereka kepada kita."
"Bagus
Marni, kan kamu yang suaranya paling kencang," canda Mardi.
"Tidak
cukup hanya suaraku mas, harus ada mikrofon dong, biar suaranya bisa
bergema."
"Bisa, di
kantor kelurahan ada, nanti sore biar diantar kerumah kamu."
"Berarti
aku harus mengambil uang dulu ke bank, kata Lastri.
"Besok aku
antar kamu, semuanya akan beres. "
"Setelah
ke bank, baru kamu teriak-teriak keseluruh dusun."
"Siap pak
lurah."
"Aku
titipkan uangku ke kamu Marni, karena ini usaha bersama. Kamu yang harus
mengelolanya, kata Mardi kepada Marni. Mardi melakukannya, sehingga kalau ada
kekurangan maka Marni yang akan mencukupinya.
Ketika remang
sore membayang, barulah lurah Mardi dan Marni meningalkan rumah Lastri. Sebelum
naik keatas mobilnya, Marni menepuk tubuh mobil itu.
"Besok
kamu harus bekerja !!" katanya bersemangat.
Mardi tertawa.
Lastri terharu. Ada bahagia dihatinya, dan ada do'a semoga usaha ini berhasil.
*
Hari bejalan,
seminggu, sebulan, dua bulan, tiga bulan... usaha itu berhasil. Para petani,
lebih-lebih petani kecil sangat terbantu dengan adanya usaha Lastri. Beberapa
pekerja juga mendapatkan penghasilan. Lastri melihat semuanya berjalan lancar.
Dengan manis Lastri dan Marni berhasil merayu para penjual sayur dan buah agar
mengambilnya dari mereka.
Langganan sudah
didapat, pasokan berjalan lancar. Hari ini panen apa, itulah yang dijual.
Lastri mulai
menyisihkan uangnya untuk membayar hutang kepada bu lurah. Ini membahagiakan.
Lastri semakin bersemangat.
Tengkulak
bernama Lastri terkenal diseluruh pasar dikota itu. Orangnya cantik dan ramah,
siapa yang tak suka?
Pagi hari itu
Lastri dan Marni sudah membawa dagangan penuh semobil. Ada bermacam sayur,
mentimun, bahkan buah semangka. Dimusim panas biasanya Semangka laku keras.
Marni sering
menjalankan mobilnya seperti angin. Lastri selalu mengngatkannya dan mencubit
lengannya setiap kali Marni menjalankannya terlalu kencang.
"Kamu
kenapa sih, seperti lagi dikejar setan," omel Lastri.
"Mumpung
jalanan masih sepi, kalau agak siang sedikit nggak akan bisa cepat, sudah macet."
"Iya, tapi
jangan terlalu kencang."
Tiba-tiba dari
jauh seorang nenek menyeberang jalan. Marni terkejut karena nenek itu
menyeberang tiba-tiba. Rem berbunyi nyaring dan Lastri sudah hampir pingsan
karena ngeri. Mobil itu berhenti persis didepan nenek tua yang sedang
menggendong sayuran. Nyaris menyerempetnya. Tapi tanpa menoleh, nenek itu terus
melanjutkan langkahnya.
"Haduuuh...
jantungku sudah jatuh tuh," kata Lastri dengan terengah-engah.
Tapi ketika
melihat nenek tua itu, Lastri terkejut. Ia minta Marni meminggirkan mobilnya.
Nenek tua seakan tak tau bahwa kelakuannya hampir menghilangkan nyawanya. Ia
terus melangkah, menyusuri jalanan sambil terbungkuk-bungkuk.
"Ada
apa?"
"Berhenti
dulu, aku mengenali nenek itu," kata Lastri sambil turun dari mobil. Ia
berlari mengejar karena nenek itu sudah berjalan agak jauh.
"Nenek..
nenek !!" teriak Lastri.
Nenek itu
mungkin sudah sedikit tuli. Teriakan Lastri baru terdengar ketika Lastri sudah
dekat.
"Neng
memanggil saya?" nenek itu menoleh.
"Nenek lupa
siapa saya? Saya Lastri nek !!"
"Oh,
Lastri... itu.. yang dulu tidur dirumah simbah?"
"Iya nek,
aduh, mau kepasar menjual sayuran ya nek?"
"Iya, apa
lagi yang bisa nenek lakukan?"
"Mana
sayur itu, biar Lastri beli semua."
"Ini?
Semua?" tanya si nenek heran.
"Iya,
semua. Berapa harganya ?"
"Itu,
limabelas ribu saja," kata nenek sambil menurunkan bakulnya. Lastri
menyuruh salah seorang pembantunya untuk turun dan mengambil sayuran si nenek,
dan menaikkannya ke mobil.
"Syukurlah,
ada yang memborong, sebenarnyaa nenek lagi kurang enak badan, tapi nenek kan
harus cari makan."
Lastri membuka
dompetnya dan memberikan uang seratus ribu kepada si nenek.
"Kembaliannya
nggak ada nak."
"Nggak
usah dikembalikan. Untuk berobat nenek saja."
"Oh,
terimakasih nak, kamu selalu memberi nenek uang lebih."
"Dengar
nek, mulai besok, nenek tidak usah membawa dagangan nenek kepasar. Nenek cukup
menunggu dipinggir jalan situ, dan Lastri akan membelinya."
"Oh, Gusti
Allah... apa nak cantik ini malaikat?"
"Nenek,
saya Lastri. Ayo, Lastri seberangkan nek, kalau nyebrang hati-hati, menoleh
kekiri dan kekanan dulu baru menyerbrang ya. Dan mulai besok tidak usah
menyeberang. Cukup tunggu saja dipinggir jalan itu, Lastri akan
membelinya," kata Lastri wanti-wanti, sambil menyeberangkan sang nenek.
Nenek itu
sangat berterimakasih. Ia tak sempat bertanya, mengapa gadis cantik yang ia
sebenarnya lupa namanya itu akan selalu memborong dagangannya.
"Ayo
jalan," kata Lastri setelah kembali ke mobil.
"Memangnya
siapa dia?" tanya Marni sambil menjalankan mobilnya.
"Seorang
nenek. Pertama kali aku kabur dari rumah, dalam keadaan bingung, nenek itulah
yang menolong aku, memberi aku tumpangan tidur semalam dirumahnya."
"Oh, kamu
memang benar-benar disayang oleh semua mahluk dibumi ini."
"Ngomong
apa sih kamu. Udah jangan ngebut lagi! Nyaris mencabut nyawa seorang nenek kamu
tadi !!" tegur Lastri sambil bersungut.
*
Hari itu hati
Marni berbunga-bunga. Tadi pagi dia mengatakannya pada Lastri, bahwa siang
harinya bu lurah akan kerumahnya untuk melamar. Lastri sangat gembira
mendengarnya.
Siang itu
sepulang dari mengantarkan dagangan, Lastri langsung mandi, Marni minta agar
Lastri datang untuk menyaksikan acara lamaran itu.
Setelah mandi
Lastri memilih-milih pakaian untuk dikenakan. Ketika terpegang olehnya baju
yang diberikan Bayu, Lastri ragu-ragu. Baru lamaran, bagusnya dipakai besok kalau mereka menikah saja, pikir
Lastri. Karenanya maka dia memilih baju yang lain. Dia mematut dirinya didepan
cermin.
"Ini cukup
bagus. Baju yang diberikan bu Marsudi ketika lebaran," gumam Lastri.. Ah,
kembali ingatannya melayang kearah bu Marsudi yang baik hati. Rasa rindu
kembali menyeruak.
Sekarang
memoles wajahnya. Lastri tak suka bersolek walau ia punya pinsil alis , gincu
dan lipstik. Ia hanya berbedak dan memoleskan sedikit lipstik. Sangat tipis.
Lastri memang cantik. Rambutnya tetap digelung seperti biasanya. Lalu apa lagi,
ah ya... sepatu..Lastri kembali membuka almari untuk mengambil sepatu.
Dibukanya
bungkus sepatu itu. Korannya masih bagus, nanti bisa digunakan lagi, pikirnya.
Kemudiaan dilipatnya lagi koran itu.
Tapi tiba-tiba
dilihatnya sebuah tulisan yang membuatnya berdebar. DICARI, lalu dibawahnya,
LASTRI, PULANGLAH, KAMI MENUNGGU KAMU,.. aduh.. sayang bawahnya lagi telah
dirobeknya ketika mau membungkusnya.
*
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar