*LASTRI 07*
Bayu menoleh kebelakang,
sebuah mobil berhenti, mobil pick up dengan jok terbuka.
"Itu kan mas Timan
?" kata Lastri sambil melongok keluar melalui kaca.
"Siapa ?"
"Mas Timan, yang
jual buah."
"Ngapain dia
kemari?"
"Entahlah," kata
Lastri yang melongok lagi melalui kaca, dan sa'at itu Timan sedang turun dari
mobilnya.
"Mas Timan !!"
teriak Lastri.
Timan menoleh, heran
melihat Lastri ternata ada didalam mobil didepannya. Ia melangkah mendekati.
"Lastri? Kok ada
disini ?" Lalu Timan menoleh kearah laki-laki tampan yang duduk didepan
kemudi. Timan mengangguk, dibalas dengan anggukan oleh Bayu.
"Ini mas Bayu,
majikanku, kata Lastri memperkenalkan."
Timan mengitari mobil
Bayu, mendekat kearah jendela disamping kemudi. Bayu membuka pintunya. Dengan
santun Timan menyalami Bayu.
"Saya Timan mas,
penjual buah dipasar dekat rumah keluarga mas."
"Saya Bayu,
kakaknya Lastri."
Timan heran
mendengarnya. Majikan Lastri mengatakan bahwa dia kakaknya. Lastri tersenyum
dan menggoyang-goyangkan tangannya, maksudnya tak setuju dengan kata-kata Bayu.
Tapi Timan maklum, ia tau bahwa keluarga Bayu menganggap Lastri seperti
keluarga.
"Ini mau kemana,
kok berhenti disini?"
"Hanya mencari
tempat teduh," jawab Bayu seekenanya.
"Mas Timan kok
sampai disini?" tanya Lastri.
"Lha itu
rumahku," jawab Timan sambil menunjuk kearah rumah sederhana yang ada
disebelah kiri dimana tadi Timan menghentikan mobilnya. Mobil Timan tak bisa
belok masuk kehalaman rumahnya karena Bayu menghentikan mobilnya sedikit
menutupi pintu pagar.
"Oh, ma'af, saya
membuat mas Timan nggak bisa masuk ya?"
"Nggak apa-apa,
mari singgah kegubug saya," katanya ramah.
"Trimakasih , saya
mau kekantor juga. Ini tadi barusan mengantar Lastri melihat pengumuman
ujian."
"Oh ya, gimana Tri,
lulus kan?"
"Atas do'amu
mas.."
"Syukurlah, aku
ikut senang. Jadi nggak mau mampir nih mas?"
"Lain kali saja,
terimakasih," kata Bayu sambil menstarter mobilnya.
"Kalau mau balik
muter dari rumah saya saja mas, biar saya undurkan gerobag saya," kata
Timan yang kemudian mengundurkan mobilnya sehingga mobil Bayu bisa berputar
arah.
Ada pertanyaan dibatin
Timan, mengapa tadi Bayu membawa Lastri kegang kecil yang dekat dengan
rumahnya.
*
"Lastri, kamu
kelihatan akrab sekali sama Timan," kata Bayu dalam perjalanan menuju
pulang.
"Iya mas, sudah
sejak Lastri baru saja menginjak pasar, sudah kenal sama dia. Waktu itu Lastri
belum sekolah dan belum bisa membaca."
"Dia mengajari kamu
membaca? Makanya kamu cepat bisa?"
"Bukan mas, ketika
itu ibu memberi saya catatan belanjaan, padahal saya tidak bisa membaca. Ketika
saya kebingungan, mas Timan membantu membacakan catatan belanjaan itu. "
"O, jadi itu
sebabnya kalian sangat akrab."
"Begitulah
mas."
"Kemarin juga dia
bela-belain mengantar kamu dan mengirimi kamu pisang ambon yang segede
aku."
Lastri menatap laki-laki
ganteng disebelahnya. Ia menangkap nada kurang suka ketika ia bercerita tentang
Timan.
Ketika hampir sampai
dirumah, Lastri mengangsurkan ponsel yang tadi diberikan Bayu.
"Ini mas, Lastri
nggak berani menerimanya. Ini kan mahal. Lebih mahal dari baju yang dulu juga
mas berikan pada Lastri."
"Lastri, kalau kamu
menolak, aku akan sangat marah, dan sedih. Itu pemberian aku sebagai hadiah
kelulusan kamu. Pasti kamu membutuhkannya."
Lastri tercengang.
Ponsel itu ditariknya kembali dan diletakkannya dalam pangkuannya.
"Disitu sudah ada
nomor aku, dan aku sudah mencatat nomor kamu. Kalau ada apa-apa kamu bisa
menghubungi aku."
Lastri hanya terdiam.
Bingung mau mengatakan apa. sementara mobilnya sudah sampai didepan gerbang
rumahnya.
"Simpan ponsel itu
di tas kamu, dan turunlah, aku mau ke kantor dulu."
Lastri mengangguk,
kemudian segera turun dari mobil. Sebelum berlalu, Bayu melambaikan tangannya
kearah Lastri, dan tersenyum manis. Tiba-tiba Lastri merasa, setiap senyuman
Bayu selalu membuat hatinya bergetar. Perasaan apa ini? tanyanya dalam hati.
Diteras, dilihatnya bu
Marsudi telah menunggu.
"Gimana Tri?"
"Atas do'a ibu,
Lastri lulus bu," kata Lastri sambil mencium tangan bu Marsudi.
"Syukurlah Tri, aku
ikut senang. Tidak sia-sia aku menyekolahkan kamu."
"Terimakasih banyak
bu, mulai hari ini Lastri tidak akan memikirkan pelajaran sekolah lagi,
sepenuhnya akan mengabdi pada keluarga ini," kata Lastri yang kemudian
melangkah ke belakang, menuju kekamarnya untuk mengganti baju.
Bu Masudi sudah selesai
masak, ia mau menata meja makan ketika Lastri sudah mengganti bajunya dengan
baju rumahan.
"Biar saya saja
bu," kata Lastri.
"Baiklah, saya akan
menuang sayurnya kedalam basi."
"Tadi ibu kepasar
sendiri?"
"Nggak kepasar, tadi
masak sayur yang bahannya ada di kulkas saja. Kemarin kan kamu sudah belanja.
Ini ca kangkung, ayam goreng sama sup."
"Baunya sedap
sekali."
"Apa kamu sudah
lapar? Makan dulu saja nggak apa-apa."
"Oh, nggak bu, tadi
kan saya sudah sarapan, jadi masih kenyang."
"Ya sudah, kita
menunggu bapak pulang makan saja."
*
Ketika masuk kekamarnya,
didengarnya ponselnya berdering. Lastri menutup pintu kamarnya rapat-rapat.
Diangkatnya ponselnya. Beruntung disekolah dia sering melihat temannya cara
mempergunakan ponsel, dan belajar dari mereka, sehingga ia tak perlu meminta
tolong Bayu untuk mengajarinya.
"Hallo," suara
Bayu dari seberang, karena Lastri tak segera menjawabnya.
"Ya, ada apa?"
"Nggak apa-apa,
cuma mencoba menelpon kamu saja. Kamu lagi ngapain?"
"Baru saja selesai
membantu ibu menata meja untuk makan siang. Mas Bayu pulang kan?"
"Ya, aku mau
pulang."
"Kalau mau pulang
mengapa harus menelpon dulu?"
"Ya nggak apa-apa
ta Tri, aku ingin mendengar suara kamu."
Lastri berdebar. Mengapa
Bayu selalu bersikap seolah mengobrak abrik perasaannya? Dari tidak punya
perasaan apa-apa, sampai kemudian merasa berdebar setiap kali dipandang,
diberinya senyum, apalagi disentuh, dan sekarang mendengar suaranya. Aduhai..
"Lastri ! Kamu
masih disitu?"
"Ya, ada apa
lagi?"
"Kok diam, aku kira
kamu ketiduran."
Lastri tertawa.
"Ya sudah, ini aku
siap-siap mau pulang."
Ketika Lastri menutup
pembicaraan itu, tiba-tiba bu Marsudi mengetuk pintunya.
"Lastri.."
Lastri buru-buru membuka
pintu kamarnya.
"Aku mendengar kamu
bicara, benarkah?"
Lastri terkejut. Tadi
dia tidak bilang bahwa Bayu memberinya hadiah ponsel.
"Ini bu.."
kata Lastri sambil menunjukkan ponsel yang masih digenggamnya.
"Kamu punya
ponsel?"
"Ma'af, saya belum
memberitahu ibu, tadi mas Bayu memberi saya ini, saya sudah menolaknya tapi
dipaksa juga, katanya hadiah kelulusan saya." kata Lastri sedikit
khawatir, kalau-kalau bu Marsudi marah.
"Oh, baguslah,
jaman sekarang memang ponsel itu sangat perlu, untuk memudahkan komunikasi.
Jadi kalau kamu misalnya sedang dipasar, lalu aku lupa memesan sesuatu, bisa
langsung memesan melalui ponsel kamu."
Lastri merasa lega,
rupanya bu Marsudi tidak marah.
"Ibu memerlukan
sesuatu ?"
"Nggak, aku lewat,
lalu mendengar kamu seperti bicara. Masak sih bicara sendiri.. lalu aku ketuk
pintu kamu. Ya sudah nggak apa-apa. Tadi ngomong sama siapa?"
"Mas Bayu mencoba
menelpon saya, mungkin dikiranya saya belum bisa mengoperasikan ponsel
ini."
"Nyatanya kamu
sudah bisa. Bayu mengajari kamu?"
"Nggak bu, sudah
lama Lastri belajar, dari teman-teman sekolah yang punya ponsel."
"Syukurlah. Ya
sudah, istrahatlah dulu, nanti aku panggil kalau bapak sama Bayu sudah pulang
untuk makan."
Lastri mengangguk. Ia
kembali masuk kekamarnya, sementara bu Marsudi pergi keteras depan menunggu
suaminya pulang.
Ada rasa aneh juga
ketika tau bahwa Bayu memberi ponsel untuk Lastri. Rasanya agak berlebihan.
Benarkah perkiraan pak Marsudi bahwa Bayu suka pada Lastri? Tapi bu Marsudi
berjanji tak akan menceritakan perihal ponsel itu kepada suaminya. Ia khawatir
suaminya akan marah-marah seperti ketika ia mengatakan perihal baju pemberian
Bayu untuk Lastri, Ia lebih berfikir, kalau benar Bayu suka sama Lastri,
bagaimana ia harus bersikap? Lastri memang cantik, ia tak kelihatan seperti
anak desa ketika pertama kali ditemukannya. Bahkan banyak orang mengira Lastri
adalah anaknya. Tapi menjadikannya menantu? Suaminya saja sudah mencak-mencak
tidak karuan begitu mendengar kedekatan Bayu dan Lastri.
*
Tapi malam itu pak
Marsudi kembali berbicara tentang Lastri.
"Ibu merasa lega, Lastri
sudah lulus," kata bu Marsudi.
"Kamu kan tidak
menjanjikannya untuk melanjutkan kuliah?"
"Enggak pak, Lastri
sendiri tidak mau. Sudah banyak membebani kita, katanya. Dia memang gadis yang
baik."
"Memang dia baik
tapi tak seharusnya Bayu terlalu dekat dengan dia. Sekali-sekali ibu harus
mengingatkan Bayu tentang hal itu."
"Mengingatkan
bagaimana, ibu bingung caranya. Orang nggak ngapain-ngapain kok disurung
mengingatkan."
"Ibu itu kalau
dikasih tau kok ngeyel ya. Ya sudah kalau begitu suruh saja Lastri pergi dari
sini."
Bu Marsudi terkejut.
"Kok disuruh pergi
bagaimana ta pak? Orang nggak punya salah apa-apa kok disuruh pergi. Dia itu
sudah seperti keluarga kita sendiri, puluhan tahun kita merawatnya,
menyekolahkannya. Memang dia itu pintar, dan juga rajin. Kalau Bayu dekat ya
biarkan saja, kan seperti saudara?"
"Bohong itu. Pasti
bukan sekedar saudara. Itu yang membuat bapak khawatir. Dengar, apakah ibu
kenal dengan si tukang buah itu?"
"Nggak kenal,
memangnya kenapa?"
"Dekati dia, suruh
dia menikah sama Lastri."
"Bapak ?"
"Atau temannya Bayu
itu, kok lama nggak kesini ya?"
"Bapak ini kok
seperti memelihara kambing atau sapi saja, dikawinkan sama sini.. sama sana.
Lastri itu manusia, mana mau dia diatur tentang siapa yang harus menjadi
suaminya."
"Bapak khawatir bu,
sungguh."
"Nggak usah
khawatir pak, jodoh itu Tuhan yang menentukan."
"Jadi ibu
setuu?"
"Setuju apanya, itu
kan baru perkiraan bapak saja, belum-belum sudah berfikir yang
enggak-enggak."
"Ibu ini kalau
diajak bicara kok nggak pernah kompak sama bapak."
"Bapak aneh sih.
Sudah, ibu sudah mengantuk."
*
"Bapak, ini
kopinya," kata Lastri sambil meletakkan secangkir kopi dimeja dimana pak
Marsudi sedang duduk sambil membaca koran.
"Ya, taruh disitu
saja," jawab pak Marudi tanpa melepaskan keasyikannya membaca.
Akhir-akhir ini Lastri
merasa bahwa sikap pak Marsudi sedikit berbeda. Lebh dingin, dan tak pernah
mengajaknya bicara kalau bukan Lastri yang memulainya. Mungkin menanyakan
sesuatu, atau membutuhkan sesuatu. Lastri kemudian sibuk mencari-cari, apakah
dia pernah melakukan kesalahan. Tidak, rasanya tidak.
Seperti kemarin siang,
ketika keluarga itu sedang makan, lalu Bayu mengajaknya makan bersama dimeja
itu, pak Marsudi menatap Bayu dengan pandangan tak suka.
"Sudahlah, biarkan
saja Lastri makan didapur atau dimana dia suka, jangan dipaksa untuk makan
bersama kita," tegur pak Marssudi.
Kadang-kadang Lastri
memang ikut makan bersama mereka, itupun karena bu Marsudi ikut memaksanya.
Tapi kali itu sebenarnya Lastri ingin menolak karena terngat sikap pak Marsudi
yang berubah. Mendengar kata-kata pak Marsudi Lastri kemudian membalikkan
tubuhnya dan masuk kedalam dapur. Ada rasa sedih yang mengiris hatinya.
Dicarinya lagi apa kesalahannya, tapi tak juga ditemukannya.
"Lastri, nanti kamu
ke pasar ya," kata bu Marsudi membuyarkan lamunannya.
"Oh, ya bu.. saya
sudah siap, sekarang saja."
"Baiklah, beli ayam
kampung ya, pilih yang muda, nanti kita akan memasak opor."
"Baik bu."
"Lihat perlengkapan
atau bumbu didapur, mana yang habis dan harus dibeli."
"Baiklah."
Sekarang setiap kali
belanja bu Marsudi tak harus mendekte apa yang harus dibeli. Bu Marsudi hanya
mengatakan ingin memasak apa, lalu Lastri sudah tau apa yang harus dibelinya.
*
"Mas Timan, kok
masih pagi sudah mau tutup?" sapa Lastri ketika melihat Timan membenahi
dagangannya seperti mau pergi.
"Bukan tutup, mau
nganter pesanan buah, dimintanya pagi-pagi, ya sudah dagangan pasar terpaksa
ditinggal dulu."
"Wah, seneng
ngedengarnya, laris ya mas."
"Lumayan Tri, bisa
nabung untuk sangu kawin, eh.. nikah," kata Timan sambil tertawa.
"Lho, mas Timan mau
menikah?"
"Ya mau lah, tapi
bukan sekarang, belum ada yang mau."
"Masa sih
mas."
"Ya sudah, aku
pergi dulu, kamu butuh buah apa?"
"Besok saja mas,
kemarin ibu sudah beli anggur sama apel."
"Ya sudah."
"Eh mas, aku boleh
minta nomor kontakmu kan?"
"Haa.. ada, kamu
sudah punya ponsel?"
"Punya, beberapa
hari yang lalu mas Bayu memberi ini, hadiah ketika aku lulus," kata Lastri
sambil menunjukkan ponselnya."
"Baguslah, sini,
biar aku catatkan nomorku," kata Timan yang terpaksa berhenti untuk
mencatatkan nomor kontaknya di ponsel Lastri.
"Sudah nih,
sebenarnya aku mau menanyakan sesuatu, tapi karena lagi terburu-buru, besok
saja kalau kamu ke pasar lagi," kata Timan sambil berlalu, meninggalkan
Lastri yang memandangi punggungnya penuh tanda tanya.
Lastri sudah selesai
belanja. Tak begitu banyak belanjaannya kali ini, karena bumbu-bumbu didapur
masih cukup.
Namun ketika dia keluar
dari pasar itu, dilihatnya pak Marsudi sedang berdiri didepan pasar, seperti
menunggu sesuatu. Lastri membalikkan tubuhnya. Ia tak ingin berpapasan dengan
pak Marsudi. Ia keluar dengan melewati pintu pasar yang lain.
Ada apa pak Marsudi
berdiri didepan pasar?
*
Bersambung
*LASTRI 08*
Lastri bergegas pulang, ia
heran mengapa pak Marsudi ada dipasar itu. Sesampai dirumah ia menanyakannya
pada bu Marsudi.
"Bu, apakah bapak
baru saja pulang kerumah?"
"Nggak tuh, dari
pagi sudah berangkat ke kantor, memangnya kenapa?"
"Tadi saya melihat
bapak didepan pasar, seperti mencari sesuatu."
"Didepan pasar?
Kamu ketemu?"
"Nggak ketemu bu,
hanya melihatnya. Saya keluar dari pintu yang lain."
"Mau ngapain bapak
ke pasar. Apa mau beli sesuatu? Mengapa nggak bilang saja sama ibu ya."
"Mungkin tadi lupa
bilang sama ibu, lalu beli senndiri,"kata Lastri sambil menata
belanjaannya di meja.
Tapi bu Marsudi berfikir
lain. Kemarin suaminya bilang mau mnjodohkan Lastri dengan penjual buah,
mungkinkah tadi dia ingin menemui penjual buah itu? Bagaimana bisa menemukan
seorang penjual buah dipasar sebegitu besar?
Ah, entahlah, keluh bu
Marsudi dalam hati. Ia tak ingin membahasnya. Bagi dia yang terbaik adalah
kebahagiaan anaknya, bukan menuruti kemauannya.
"Ibu, saya cuci
ayamnya dulu, ibu buat bumbunya ya?"
"Ya, ayamnya di
presto saja Tri, bapak itu maunya kan yang empuk-empuk. Kalau direbus biasa
masih kurang empuk katanya."
"Baiklah bu."
"Kamu masih ingat
nggak, bumbu opor itu apa?"
"Ingat bu, bawang
merah bawang putih, jahe, kunyit, salam laos, sereh, daun jeruk, kemiri, tumbar
sedikit merica.. lalu apa lagi bu?"
"Kamu memang
pintar. Kali lain kamu yang harus bikin bumbunya ya."
"Baik bu."
Bu Marsudi selalu baik
terhadap Lastri. Semua perilakunya tak ada yang mengecewakan. Kalau dianggap
pembantu, dia pembantu yang sempurna. Kalau diangap anak dia anak yang sangat
berbakti, kalau... menantu...? Bagus sih... tapi itu kan tidak mungkin,
suaminya pasti akan menentangnya sembilanratus persen. Bu Marsudi menghela
nafas, kemudian menyiapkan bumbu-bumbu yang akan ditumisnya.
*
Pak Marsudi memasuki
pasar itu. Agak menarik perhatian para penjual karena seorang laki-laki
berpakaian perlente memasuki sebuah pasar. Ia melihat kesana kemari. Lalu
seorang penjual sayur bertanya karena tampak laki-laki asing itu sedang men
cari-cari.
"Mau beli apa
pak?"
"Oh.. mm.. dimana
ya letak kios penjual buah?"
"Oh, itu pak, sudah
dekat, yang jual alat-alat rumah tangga dari kayu itu, belok kekiri. Mau cari
buah apa sih pak?"
"Saya cuma mencari
penjual buah bernama Timan."
"Lhooh, Timan? Itu
kiosnya paling ujung, bapak kenal ?"
"Ya, saya ingin
bicara sama dia."
"Tadi saya lihat
dia keluar, biasanya mengirim buah ke warung-warung atau rumah makan. Tapi agak
siang sih. Coba bapak kesana, barangkali penjual yang berdekatan tau tentang
dia."
"Terimakasih banyak
ya," kata pak Marsudi sambil berlalu. Ia merogoh saputangan disaku
celananya dan menutup mulut serta hidungnya dengan sapu tangan itu. Bau sayuran
busuk, berbaur dengan aroma ikan asin, membuat perutnya mual. Tapi dia terus
melangkah, kearah yang ditunjuk tukang sayur tadi. Didepannya berderet penjual
buah, katanya kios Timan ada di ujung, berarti dia sudah sampai. Ada kios yang
setengah tertutup. Pak Marsudi berdiri disitu. Seorang penjual buah bertanya
karena pak Marsudi hanya berdiri sambil menoleh kekiri dan kekanan.
"Bapak mau beli
apa?"
"Saya mencari
tukang buah yang namanya Timan."
"Oh, Timan lagi
keluar pak, ada pesanan buah yang harus diantar pagi."
"Oh, keluar
ya?"
Pak Marsudi terdiam.
Kalau menunggu entah akan berapa lama, kalau harus kembali nanti atau besok,
dia harus siap dengan bau-bau tak sedap yang menyengat.
"Kalau menunggu
mungkin lama, dia belum lama perginya," lanjut penjual buah yang seorang
perempuan setengah baya.
"Mau tanya bu,
Timan itu apa sudah punya isteri?"
"Belum pak, masih
bujang. Nggak tau itu, susah amat disuruh cari isteri, padahal dia itu kan
ganteng, tabungannya sudah lumayan. Dulu saya juga ingin mengambilnya sebagai
menantu pak, tapi dia nggak mau, padahal anak saya cantik lho," kata penjual
buah lagi.
"Oh, begitu
ya?"
"Ma'af pak, apa
Timan punya hutang sama bapak?" tanya ibu penjual buah itu curiga.
"Oh, nggak..
nggak.. saya cuma ingin ketemu saja."
"Apa ada masalah
yang membuat bapak marah sama dia?"
Pak Marsudi
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Nggak... nggak ada
masalah apapun."
"Oh,
syukurlah."
"Begini saja bu,
sebentar, saya akan mencatatkan nomor tilpun saya," kata pak Marsudi
sambil mengambil secarik kertas entah dari catatan apa, yang kemudian
ditulisnya disitu nomor kontaknya.
"Ini bu, saya mohon
titip, nanti kalau Timan datang, suruh dia menghubungi nomor tilpun saya ini
ya,"kata pak Marsudi sambil mengangsurkan secarik kertas berisi catatan
nomor kontaknya.
"Oh, ya pak, nanti
akan saya sampaikan."
"Apa ibu punya
nomor kontaknya dia?"
"Waduh, nggak punya
tuh pak, nggak pernah kontak-kontakan."
"Ya sudah bu,
berikan saja nomor saya itu, biar dia menghubungi saya."
"Baiklah pak."
"Terimakasih ya bu,
kata pak Marsudi sambbil membalikkan badannya.
Pak Marsudi keluar dari
pasar itu, sambil terus menutupi hidungnya dengan sapu tangan.
*
Timan heran ketika
tetangga kiosnya memberikan secarik kertas berisi nomor kontak seseorang.
"Dari siapa ini
yu?"
"Nggak tau namanya
Man, aku nggak nanya. Kayaknya orang kaya. Pakaiannya bagus, pakai dasi, baunya
wangi."
"Masih
muda?"
"Sudah setengah
tua, tapi masih guanteng lho Man..." kata ibu penjual buah itu sambil
tersenyum genit.
"Siapa ya?"
"Ya sudah
nomornya itu saja kamu hubungi, nanti kan kamu tau siapa dia."
"Iya yu, tapi nanti
saja, aku mau beresin barang-barang yang mau aku kirim siang ini dulu."
"Nanti kalau
penting bagaimana?"
"Gak apa-apa...
cuma beberapa jam saja," jawab Timan sambil menata lagi barang-barang yang
akan dikirim siang itu.
Tapi karena penasaran,
setelah mengepak barangnya, sebelum berangkat mengantar Timan mencoba memutar
nomor yang tadi diterimanya.
"Hallo, jawaban
dari seberang sana.
"Hallo selamat
siang," sapa Timan.
"Ini siapa
ya?"
"Ma'af, saya yang
harus bertanya, bapak ini siapa? Tadi bapak memberikan nomor kontak melalui
tetangga saya."
"Oo... ya, kamu
penjual buah yang bernama Timan?"
"Benar sekali,
bapak siapa ya?"
"Begini, saya ingin
ketemu dengan kamu, disebuah rumah makan saja, supaya enak ngomongnya."
"Rumah makan?"
"Ya, didekat pasar
itu agak keutara kan ada rumah makan. Yang jual Timlo, tau kan? Nah,
ketemuan disana sekarang ya, ada yang ingin aku bicarakan."
"Tidak bisa
sekarang pak, saya mau mengirim pesanan terlebih dulu."
"Waduh, tadi kan
sudah?"
"Ada beberapa
tempat pak."
"Hm. jadi bisanya
jam berapa ya?"
"Kira-kira jam dua
atau tiga pak.."
"Waduh, salah satu
saja, dua atau tiga, gitu."
"Tiga pak, supaya
saya bisa menyelesaikan tugas saya tanpa terburu-buru."
"Biklah, di rumah
makan Timlo itu, jam tiga. Oke."
"Nanti dulu pak,
sudah bicara banyak tapi saya belum tau siapa bapak."
"Oh ya, aku pak
Marsudi. Kita pernah ketemu ketika kamu mengantarkan Lastri pulang, dan
membawakan selirang pisang ambon."
Timan tertegun. Itu
majikannya Lastri? Ada apa ya?
"Oke, jam tiga ya."
Pak Marsudi langsung
menutup ponselnya, membiarkan Timan termangu sambil memegangi ponselnya. Ada
apa ya? Baiklah, jawabannya adalah nanti jam tiga. Tapi sepanjang mengantarkan
barang pesanan itu hati Timan terasa tidak tenang.
*
"Bapak tadi ke pasar?"
tanya bu Marsudi setelah makan siang.
"Nggak, kata
siapa?"
"Lastri tadi
melihat bapak."
"Ah, masa sih,
salah lihat barangkali."
"Katanya
benar-benar melihat bapak kok. Mau beli apa kepasar?"
"Aku nggak ke
pasar, ngapain aku ke pasar. Mungkin ada orang yang mirip aku, lalu dikira aku.
Ada-ada saja."
Bu Mrsudi diam, tapi dia
kurang percaya pada apa yang dikatakan suaminya.
"Aku mau balik ke
kantor, sudah jam dua."
"Lha bapak pulang
makan juga sudah siang sih. Lagian tadi makannya juga cuma sedikit. Sudah makan
di kantor ya?"
"Lagi nggak selera
aku, perutku sedikit mual, tapi sudah minum obat," kata pak Marsudi
berbohong.
"Bapak kecapean
barangkali."
"Iya, lagi banyak
kerjaan, tapi nggak apa-apa kok," kata pak Marsudi sambil berdiri dan
langsung menghampiri mobilnya.
Bu Marsudi merasa aneh
dengan sikap suaminya. Ia lebih percaya pada laporan Lastri pagi tadi, bahwa
suaminya ke pasar. Mungkinkah mencari tukang buah itu? Begitu nekatnya dia,
hanya untuk memisahkan Bayu dan Lastri? Semuanya belum jelas. Harusnya Bayu
ditanya dulu, benarkah dia suka pada Lastri, atau hanya perkiraan pak Marsudi,
atau bahkan juga perkiraan dirinya. Tapi kalau 'iya' bagaimana? Dia bingung
harus bersikap apa, tapi kalau harus membenci Lastri, bu Marsudi benar-benar tak
sanggup. Bocah baik dan polos, siapa mampu membencinya?
Siang itu hanya pak
Marsudi saja yang pulang makan, walau hanya sedikit seperti tak
berselera,sedangkan Bayu tidak . Lastri bilang, Bayu sudah mengatakan tak akan
makan siang karena ada meeting dengan para stafnya siang itu.
"Sekarang selalu
pada Lastri Bayu mengabarkan pulang atau tidaknya sa'at makan siang,"
gumam bu Marsudi pelan. Banyak tanda-tanda mengarah kesana bukan? Bu Marsudi
menghela nafas.Ia ingin beristirahat siang itu, kalau bisa tidur, supaya
terlepas semua beban tentang keadaan keluarganya yang membuatnya pusing.
*
Jam belum menunjukkan
pukul tiga, tapi Timan sudah duduk dirumah makan itu. Dia baru memesan minuman,
segelas teh lemon, makanan baru akan dipesannya ketika pak Marsudi datang.
Tiba-tiba telephone
berdering. Dari Lastri? Timan buru-buru mengangkatnya.
"Hallo,
Lastri?"
"Ini mas Timan
ya?"
"Iya, ada
apa?"
"Nggak, cuma
nyobain ponselku saja, kan mas Timan baru menuliskan nomor kontaknya dulu itu,
dan aku belum mencobanya."
"Oh, iya, syukurlah
kalau nggak ada apa-apa."
"Mas Timan masih di
pasar atau sudah pulang?"
"Sudah mau pulang
.. ini sedang....."
Timan menghentikan
kata-katanya. Ia ingin mengatakan bahwa sedang janji ketemuan dengan pak
Marsudi, tapi diurungkannya. Ia belum tau maksud pak Marsudi, jadi lebih baik
ia tak usah mengatakan apa-apa.
"Ini sedang apa?
Kok nggak dilanjutin ngomongnya?"
"Sedang siap-siap
mau pulang, kan hampir jam tiga, biasanya sudah tadi-tadi aku pulang."
"Laris ya mas,
syukurlah."
Tiba-tiba Timan melihat
pak Marsudi baru memasuki rumah makan.
"Sudah dulu ya,
pasar sudah sepi nih."
"Ya mas, aku juga
mau istirahat."
Ponsel ditutup, persis
ketika pak Marsudi sampai didepannya.
"Timan ya? Agak
pangling aku."
"Ya pak, saya Timan,
silahkan duduk, saya sudah memesan minum duluan," kata Timan.
"Nggak apa-apa,
kita pesan makan saja sekalian."
Pak Marsudi memesan
makanan dan minum. Timan diam menunggu.
"Kamu heran ya,
saya ingin menemui kamu?"
"Sangat heran pak,
saya tidak mengerti apa maksud bapak."
"Ini tentang
Lastri."
Timan terkejut.
Ditatapnya pak Marsudi tanpa berkedip. Apakah pak Marsudi akan melarang dirinya
mendekati Lastri? Pikirnya.
"Apa saya membuat
kesalahan?" akhirnya Timan bertanya.
"Oh, tidak.. tidak.
Begini, Lastri itu kan sudah puluhan tahun ikut saja. Sejak belum mengenal
huruf, sampai sekarang lulus SMA."
Timan mengangguk. Lastri
sudah pernah menceritakan semuanya, semua kebaikan majikannya, dan yang
menganggapnya seperti keluarga sendiri.
"Sekarang Lastri
sudah dewasa, sudah sa'atnya punya suami, ya kan?"
"Lhoh, kok
ngomongnya sama saya? Bisik batin Timan yang semula ingin diucapkannya.
"Aku melihat kamu
sudah lama mengenalnya,"
Timan diam terpaku, apa
yang dikatakan pak Marsudi terasa aneh.
"Terus terang aku
suka sama kamu."
Makan dan minuman yang
dipesan pak Marsudi telah dihidangkan dimeja.
"Ayo sambil
makan," kata pak Marsudi sambil menghirup teh panas yang dipesannya.
Masudi juga menghirup
sisa lemon tea nya, lalu mendekatkan mangkok berisi nasi timlo yang masih panas
mengebul. Ia belum menyuapnya ketika pak Marsudi melanjutkan kata-katanya.
"Bagaimana kalau
saya minta kamu menikahi Lastri?"
Timan berhenti
mengaduk-aduk makanannya. Seperti mimpi ia mendengar kata-kata pak Marsudi. Timan
bukan anak kecil lagi, dia lebih berfikir bahwa sikap pak Marsudi ini sangat
aneh. Susah-susah mencarinya hanya untuk menyuruhnya menikahi pembantunya?
Begitu sayangkah pak Marsudi terhadap Lastri, atau sebaliknya? Timan yakin,
pasti ada sesuatu dibalik semua ini.
"Aku
bersungguh-sungguh. Bukankah Lastri itu cantik? Aneh kalau kamu
menolaknya."
Yang aneh adalah karena
pak Marsudi seperti memaksanya. Tidak, Timan bukan orang bodoh. Ia memang hanya
seorang penjual buah, tapi dia sudah lebih dari dewasa. Segala sesuatu yang
akan dilakukannya, adalah yang sudah difikirkannya masak-masak. Memang benar
Lastri cantik, memang benar dirinya tertarik, siapa yang nggak mau punya isteri
cantik? Tapi kalau harus disuruh-suruh, sangat menggebu-gebu pula, Timan yakin
ia tak harus menerimanya.
"Bagaimana
Timan?" tanya pak Marsudi yang sudah memasukkan beberapa kali suapan ke
mulutnya. Timan belum menyentuhnya. Ia memainkan sendok didalam mangkok,
seperti menunggu dingin, tapi pikirannya bukan ke arah semangkok timlo dihadapannya.
"Ayo sambil dimakan
Man, keburu dingin."
"Sebetulnya saya
tidak lapar, dan sedang terburu-buru."
"Tapi bagaimana
dengan tawaranku tadi?"
"Ma'af pak, bukan
saya menolak kebaikan bapak, tapi terus terang saja saya mengatakan bahwa saya
tidak bersedia."
Pak Marsudi tersedak
lalu terbatuk-batuk dengan keras
*
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar