Minggu, 26 April 2020

Lastri (07-08)


*LASTRI  07*

Bayu menoleh kebelakang, sebuah mobil berhenti, mobil pick up dengan jok terbuka.
"Itu kan mas Timan ?" kata Lastri sambil melongok keluar melalui kaca.
"Siapa ?"
"Mas Timan, yang jual buah."
"Ngapain dia kemari?"
"Entahlah," kata Lastri yang melongok lagi melalui kaca, dan sa'at itu Timan sedang turun dari mobilnya.
"Mas Timan !!" teriak Lastri.

Timan menoleh, heran melihat Lastri ternata ada didalam mobil didepannya. Ia melangkah mendekati.
"Lastri? Kok ada disini ?" Lalu Timan menoleh kearah laki-laki tampan yang duduk didepan kemudi. Timan mengangguk, dibalas dengan anggukan oleh Bayu.
"Ini mas Bayu, majikanku, kata Lastri memperkenalkan."
Timan mengitari mobil Bayu, mendekat kearah jendela disamping kemudi. Bayu membuka pintunya. Dengan santun Timan menyalami Bayu.

"Saya Timan mas, penjual buah dipasar dekat rumah keluarga mas."
"Saya Bayu, kakaknya Lastri."
Timan heran mendengarnya. Majikan Lastri mengatakan bahwa dia kakaknya. Lastri tersenyum dan menggoyang-goyangkan tangannya, maksudnya tak setuju dengan kata-kata Bayu. Tapi Timan maklum, ia tau bahwa keluarga Bayu menganggap Lastri seperti keluarga.
"Ini mau kemana, kok berhenti disini?"
"Hanya mencari tempat teduh," jawab Bayu seekenanya.

"Mas Timan kok sampai disini?" tanya Lastri.
"Lha itu rumahku," jawab Timan sambil menunjuk kearah rumah sederhana yang ada disebelah kiri dimana tadi Timan menghentikan mobilnya. Mobil Timan tak bisa belok masuk kehalaman rumahnya karena Bayu menghentikan mobilnya sedikit menutupi pintu pagar.
"Oh, ma'af, saya membuat mas Timan nggak bisa masuk ya?"
"Nggak apa-apa, mari singgah kegubug saya," katanya ramah.
"Trimakasih , saya mau kekantor juga. Ini tadi barusan mengantar Lastri melihat pengumuman ujian."

"Oh ya, gimana Tri, lulus kan?"
"Atas do'amu mas.."
"Syukurlah, aku ikut senang. Jadi nggak mau mampir nih mas?"
"Lain kali saja, terimakasih," kata Bayu sambil menstarter mobilnya.


"Kalau mau balik muter dari rumah saya saja mas, biar saya undurkan gerobag saya," kata Timan yang kemudian mengundurkan mobilnya sehingga mobil Bayu bisa berputar arah.
Ada pertanyaan dibatin Timan, mengapa tadi Bayu membawa Lastri kegang kecil yang dekat dengan rumahnya.
*

"Lastri, kamu kelihatan akrab sekali sama Timan," kata Bayu dalam perjalanan menuju pulang.
"Iya mas, sudah sejak Lastri baru saja menginjak pasar, sudah kenal sama dia. Waktu itu Lastri belum sekolah dan belum bisa membaca."
"Dia mengajari kamu membaca? Makanya kamu cepat bisa?"
"Bukan mas, ketika itu ibu memberi saya catatan belanjaan, padahal saya tidak bisa membaca. Ketika saya kebingungan, mas Timan membantu membacakan catatan belanjaan itu. "
"O, jadi itu sebabnya kalian sangat akrab."
"Begitulah mas."
"Kemarin juga dia bela-belain mengantar kamu dan mengirimi kamu pisang ambon yang segede aku."

Lastri menatap laki-laki ganteng disebelahnya. Ia menangkap nada kurang suka ketika ia bercerita tentang Timan.
Ketika hampir sampai dirumah, Lastri mengangsurkan ponsel yang tadi diberikan Bayu.
"Ini mas, Lastri nggak berani menerimanya. Ini kan mahal. Lebih mahal dari baju yang dulu juga mas berikan pada Lastri."

"Lastri, kalau kamu menolak, aku akan sangat marah, dan sedih. Itu pemberian aku sebagai hadiah kelulusan kamu. Pasti kamu membutuhkannya."
Lastri tercengang. Ponsel itu ditariknya kembali dan diletakkannya dalam pangkuannya.
"Disitu sudah ada nomor aku, dan aku sudah mencatat nomor kamu. Kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungi aku."

Lastri hanya terdiam. Bingung mau mengatakan apa. sementara mobilnya sudah sampai didepan gerbang rumahnya.
"Simpan ponsel itu di tas kamu, dan turunlah, aku mau ke kantor dulu."
Lastri mengangguk, kemudian segera turun dari mobil. Sebelum berlalu, Bayu melambaikan tangannya kearah Lastri, dan tersenyum manis. Tiba-tiba Lastri merasa, setiap senyuman Bayu selalu membuat hatinya bergetar. Perasaan apa ini? tanyanya dalam hati.

Diteras, dilihatnya bu Marsudi telah menunggu.
"Gimana Tri?"
"Atas do'a ibu, Lastri lulus bu," kata Lastri sambil mencium tangan bu Marsudi.
"Syukurlah Tri, aku ikut senang. Tidak sia-sia aku menyekolahkan kamu."
"Terimakasih banyak bu, mulai hari ini Lastri tidak akan memikirkan pelajaran sekolah lagi, sepenuhnya akan mengabdi pada keluarga ini," kata Lastri yang kemudian melangkah ke belakang, menuju kekamarnya untuk mengganti baju.

Bu Masudi sudah selesai masak, ia mau menata meja makan ketika Lastri sudah mengganti bajunya dengan baju rumahan.
"Biar saya saja bu," kata Lastri.
"Baiklah, saya akan menuang sayurnya kedalam basi."
"Tadi ibu kepasar sendiri?"
"Nggak kepasar, tadi masak sayur yang bahannya ada di kulkas saja. Kemarin kan kamu sudah belanja. Ini ca kangkung, ayam goreng sama sup."
"Baunya sedap sekali."
"Apa kamu sudah lapar? Makan dulu saja nggak apa-apa."
"Oh, nggak bu, tadi kan saya sudah sarapan, jadi masih kenyang."
"Ya sudah, kita menunggu bapak pulang makan saja."
*

Ketika masuk kekamarnya, didengarnya ponselnya berdering. Lastri menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Diangkatnya ponselnya. Beruntung disekolah dia sering melihat temannya cara mempergunakan ponsel, dan belajar dari mereka, sehingga ia tak perlu meminta tolong Bayu untuk mengajarinya.
"Hallo," suara Bayu dari seberang, karena Lastri tak segera menjawabnya.
"Ya, ada apa?"
"Nggak apa-apa, cuma mencoba menelpon kamu saja. Kamu lagi ngapain?"
"Baru saja selesai membantu ibu menata meja untuk makan siang. Mas Bayu pulang kan?"
"Ya, aku mau pulang."
"Kalau mau pulang mengapa harus menelpon dulu?"
"Ya nggak apa-apa ta Tri, aku ingin mendengar suara kamu."

Lastri berdebar. Mengapa Bayu selalu bersikap seolah mengobrak abrik perasaannya? Dari tidak punya perasaan apa-apa, sampai kemudian merasa berdebar setiap kali dipandang, diberinya senyum, apalagi disentuh, dan sekarang mendengar suaranya. Aduhai..
"Lastri ! Kamu masih disitu?"
"Ya, ada apa lagi?"
"Kok diam, aku kira kamu ketiduran."
Lastri tertawa.
"Ya sudah, ini aku siap-siap mau pulang."
Ketika Lastri menutup pembicaraan itu, tiba-tiba bu Marsudi mengetuk pintunya.
"Lastri.."

Lastri buru-buru membuka pintu kamarnya.
"Aku mendengar kamu bicara, benarkah?"
Lastri terkejut. Tadi dia tidak bilang bahwa Bayu memberinya hadiah ponsel.
"Ini bu.." kata Lastri sambil menunjukkan ponsel yang masih digenggamnya.
"Kamu punya ponsel?"
"Ma'af, saya belum memberitahu ibu, tadi mas Bayu memberi saya ini, saya sudah menolaknya tapi dipaksa juga, katanya hadiah kelulusan saya." kata Lastri sedikit khawatir, kalau-kalau bu Marsudi marah.
"Oh, baguslah, jaman sekarang memang ponsel itu sangat perlu, untuk memudahkan komunikasi. Jadi kalau kamu misalnya sedang dipasar, lalu aku lupa memesan sesuatu, bisa langsung memesan melalui ponsel kamu."


Lastri merasa lega, rupanya bu Marsudi tidak marah.
"Ibu memerlukan sesuatu ?"
"Nggak, aku lewat, lalu mendengar kamu seperti bicara. Masak sih bicara sendiri.. lalu aku ketuk pintu kamu. Ya sudah nggak apa-apa. Tadi ngomong sama siapa?"
"Mas Bayu mencoba menelpon saya, mungkin dikiranya saya belum bisa mengoperasikan ponsel ini."
"Nyatanya kamu sudah bisa. Bayu mengajari kamu?"
"Nggak bu, sudah lama Lastri belajar, dari teman-teman sekolah yang punya ponsel."
"Syukurlah. Ya sudah, istrahatlah dulu, nanti aku panggil kalau bapak sama Bayu sudah pulang untuk makan."
Lastri mengangguk. Ia kembali masuk kekamarnya, sementara bu Marsudi pergi keteras depan menunggu suaminya pulang.

Ada rasa aneh juga ketika tau bahwa Bayu memberi ponsel untuk Lastri. Rasanya agak berlebihan. Benarkah perkiraan pak Marsudi bahwa Bayu suka pada Lastri? Tapi bu Marsudi berjanji tak akan menceritakan perihal ponsel itu kepada suaminya. Ia khawatir suaminya akan marah-marah seperti ketika ia mengatakan perihal baju pemberian Bayu untuk Lastri, Ia lebih berfikir, kalau benar Bayu suka sama Lastri, bagaimana ia harus bersikap? Lastri memang cantik, ia tak kelihatan seperti anak desa ketika pertama kali ditemukannya. Bahkan banyak orang mengira Lastri adalah anaknya. Tapi menjadikannya menantu? Suaminya saja sudah mencak-mencak tidak karuan begitu mendengar kedekatan Bayu dan Lastri.
*
Tapi malam itu pak Marsudi kembali berbicara tentang Lastri.
"Ibu merasa lega, Lastri sudah lulus," kata bu Marsudi.
"Kamu kan tidak menjanjikannya untuk melanjutkan kuliah?"
"Enggak pak, Lastri sendiri tidak mau. Sudah banyak membebani kita, katanya. Dia memang gadis yang baik."
"Memang dia baik tapi tak seharusnya Bayu terlalu dekat dengan dia. Sekali-sekali ibu harus mengingatkan Bayu tentang hal itu."
"Mengingatkan bagaimana, ibu bingung caranya. Orang nggak ngapain-ngapain kok disurung mengingatkan."
"Ibu itu kalau dikasih tau kok ngeyel ya. Ya sudah kalau begitu suruh saja Lastri pergi dari sini."
Bu Marsudi terkejut.

"Kok disuruh pergi bagaimana ta pak? Orang nggak punya salah apa-apa kok disuruh pergi. Dia itu sudah seperti keluarga kita sendiri, puluhan tahun kita merawatnya, menyekolahkannya. Memang dia itu pintar, dan juga rajin. Kalau Bayu dekat ya biarkan saja, kan seperti saudara?"
"Bohong itu. Pasti bukan sekedar saudara. Itu yang membuat bapak khawatir. Dengar, apakah ibu kenal dengan si tukang buah itu?"
"Nggak kenal, memangnya kenapa?"
"Dekati dia, suruh dia menikah sama Lastri."
"Bapak ?"
"Atau temannya Bayu itu, kok lama nggak kesini ya?"

"Bapak ini kok seperti memelihara kambing atau sapi saja, dikawinkan sama sini.. sama sana. Lastri itu manusia, mana mau dia diatur tentang siapa yang harus menjadi suaminya."
"Bapak khawatir bu, sungguh."
"Nggak usah khawatir pak, jodoh itu Tuhan yang menentukan."
"Jadi ibu setuu?"
"Setuju apanya, itu kan baru perkiraan bapak saja, belum-belum sudah berfikir yang enggak-enggak."
"Ibu ini kalau diajak bicara kok nggak pernah kompak sama bapak."
"Bapak aneh sih. Sudah, ibu sudah mengantuk."
*

"Bapak, ini kopinya," kata Lastri sambil meletakkan secangkir kopi dimeja dimana pak Marsudi sedang duduk sambil membaca koran.
"Ya, taruh disitu saja," jawab pak Marudi tanpa melepaskan keasyikannya membaca.
Akhir-akhir ini Lastri merasa bahwa sikap pak Marsudi sedikit berbeda. Lebh dingin, dan tak pernah mengajaknya bicara kalau bukan Lastri yang memulainya. Mungkin menanyakan sesuatu, atau membutuhkan sesuatu. Lastri kemudian sibuk mencari-cari, apakah dia pernah melakukan kesalahan. Tidak, rasanya tidak.

Seperti kemarin siang, ketika keluarga itu sedang makan, lalu Bayu mengajaknya makan bersama dimeja itu, pak Marsudi menatap Bayu dengan pandangan tak suka.
"Sudahlah, biarkan saja Lastri makan didapur atau dimana dia suka, jangan dipaksa untuk makan bersama kita," tegur pak Marssudi.
Kadang-kadang Lastri memang ikut makan bersama mereka, itupun karena bu Marsudi ikut memaksanya. Tapi kali itu sebenarnya Lastri ingin menolak karena terngat sikap pak Marsudi yang berubah. Mendengar kata-kata pak Marsudi Lastri kemudian membalikkan tubuhnya dan masuk kedalam dapur. Ada rasa sedih yang mengiris hatinya. Dicarinya lagi apa kesalahannya, tapi tak juga ditemukannya.

"Lastri, nanti kamu ke pasar ya," kata bu Marsudi membuyarkan lamunannya.
"Oh, ya bu.. saya sudah siap, sekarang saja."
"Baiklah, beli ayam kampung ya, pilih yang muda, nanti kita akan memasak opor."
"Baik bu."
"Lihat perlengkapan atau bumbu didapur, mana yang habis dan harus dibeli."
"Baiklah."
Sekarang setiap kali belanja bu Marsudi tak harus mendekte apa yang harus dibeli. Bu Marsudi hanya mengatakan ingin memasak apa, lalu Lastri sudah tau apa yang harus dibelinya.
*

"Mas Timan, kok masih pagi sudah mau tutup?" sapa Lastri ketika melihat Timan membenahi dagangannya seperti mau pergi.
"Bukan tutup, mau nganter pesanan buah, dimintanya pagi-pagi, ya sudah dagangan pasar terpaksa ditinggal dulu."
"Wah, seneng ngedengarnya, laris ya mas."
"Lumayan Tri, bisa nabung untuk sangu kawin, eh.. nikah," kata Timan sambil tertawa.
"Lho, mas Timan mau menikah?"
"Ya mau lah, tapi bukan sekarang, belum ada yang mau."
"Masa sih mas."
"Ya sudah, aku pergi dulu, kamu butuh buah apa?"
"Besok saja mas, kemarin ibu sudah beli anggur sama apel."
"Ya sudah."

"Eh mas, aku boleh minta nomor kontakmu kan?"
"Haa.. ada, kamu sudah punya ponsel?"
"Punya, beberapa hari yang lalu mas Bayu memberi ini, hadiah ketika aku lulus," kata Lastri sambil menunjukkan ponselnya."
"Baguslah, sini, biar aku catatkan nomorku," kata Timan yang terpaksa berhenti untuk mencatatkan nomor kontaknya di ponsel Lastri.
"Sudah nih, sebenarnya aku mau menanyakan sesuatu, tapi karena lagi terburu-buru, besok saja kalau kamu ke pasar lagi," kata Timan sambil berlalu, meninggalkan Lastri yang memandangi punggungnya penuh tanda tanya.

Lastri sudah selesai belanja. Tak begitu banyak belanjaannya kali ini, karena bumbu-bumbu didapur masih cukup.
Namun ketika dia keluar dari pasar itu, dilihatnya pak Marsudi sedang berdiri didepan pasar, seperti menunggu sesuatu. Lastri membalikkan tubuhnya. Ia tak ingin berpapasan dengan pak Marsudi. Ia keluar dengan melewati pintu pasar yang lain.
Ada apa pak Marsudi berdiri didepan pasar?
*
Bersambung




*LASTRI  08*

Lastri bergegas pulang, ia heran mengapa pak Marsudi ada dipasar itu. Sesampai dirumah ia menanyakannya pada bu Marsudi.

"Bu, apakah bapak baru saja pulang kerumah?"
"Nggak tuh, dari pagi sudah berangkat ke kantor, memangnya kenapa?"

"Tadi saya melihat bapak didepan pasar, seperti mencari sesuatu."
"Didepan pasar? Kamu ketemu?"

"Nggak ketemu bu, hanya melihatnya. Saya keluar dari pintu yang lain."
"Mau ngapain bapak ke pasar. Apa mau beli sesuatu? Mengapa nggak bilang saja sama ibu ya."
"Mungkin tadi lupa bilang sama ibu, lalu beli senndiri,"kata Lastri sambil menata belanjaannya di meja.

Tapi bu Marsudi berfikir lain. Kemarin suaminya bilang mau mnjodohkan Lastri dengan penjual buah, mungkinkah tadi dia ingin menemui penjual buah itu? Bagaimana bisa menemukan seorang penjual buah dipasar sebegitu besar?
Ah, entahlah, keluh bu Marsudi dalam hati. Ia tak ingin membahasnya. Bagi dia yang terbaik adalah kebahagiaan anaknya, bukan menuruti kemauannya.

"Ibu, saya cuci ayamnya dulu, ibu buat bumbunya ya?"
"Ya, ayamnya di presto saja Tri, bapak itu maunya kan yang empuk-empuk. Kalau direbus biasa masih kurang empuk katanya."
"Baiklah bu."

"Kamu masih ingat nggak, bumbu opor itu apa?"
"Ingat bu, bawang merah bawang putih, jahe, kunyit, salam laos, sereh, daun jeruk, kemiri, tumbar sedikit merica.. lalu apa lagi bu?"

"Kamu memang pintar. Kali lain kamu yang harus bikin bumbunya ya."
"Baik bu."

Bu Marsudi selalu baik terhadap Lastri. Semua perilakunya tak ada yang mengecewakan. Kalau dianggap pembantu, dia pembantu yang sempurna. Kalau diangap anak dia anak yang sangat berbakti, kalau... menantu...? Bagus sih... tapi itu kan tidak mungkin, suaminya pasti akan menentangnya sembilanratus persen. Bu Marsudi menghela nafas, kemudian menyiapkan bumbu-bumbu yang akan ditumisnya.

*

Pak Marsudi memasuki pasar itu. Agak menarik perhatian para penjual karena seorang laki-laki berpakaian perlente memasuki sebuah pasar. Ia melihat kesana kemari. Lalu seorang penjual sayur bertanya karena tampak laki-laki asing itu sedang men cari-cari.

"Mau beli apa pak?"
"Oh.. mm.. dimana ya letak kios penjual buah?"
"Oh, itu pak, sudah dekat, yang jual alat-alat rumah tangga dari kayu itu, belok kekiri. Mau cari buah apa sih pak?"
"Saya cuma mencari penjual buah bernama Timan."
"Lhooh, Timan? Itu kiosnya paling ujung, bapak kenal ?"
"Ya, saya ingin bicara sama dia."
"Tadi saya lihat dia keluar, biasanya mengirim buah ke warung-warung atau rumah makan. Tapi agak siang sih. Coba bapak kesana, barangkali penjual yang berdekatan tau tentang dia."

"Terimakasih banyak ya," kata pak Marsudi sambil berlalu. Ia merogoh saputangan disaku celananya dan menutup mulut serta hidungnya dengan sapu tangan itu. Bau sayuran busuk, berbaur dengan aroma ikan asin, membuat perutnya mual. Tapi dia terus melangkah, kearah yang ditunjuk tukang sayur tadi. Didepannya berderet penjual buah, katanya kios Timan ada di ujung, berarti dia sudah sampai. Ada kios yang setengah tertutup. Pak Marsudi berdiri disitu. Seorang penjual buah bertanya karena pak Marsudi hanya berdiri sambil menoleh kekiri dan kekanan.

"Bapak mau beli apa?"
"Saya mencari tukang buah yang namanya Timan."
"Oh, Timan lagi keluar pak, ada pesanan buah yang harus diantar pagi."
"Oh, keluar ya?"
Pak Marsudi terdiam. Kalau menunggu entah akan berapa lama, kalau harus kembali nanti atau besok, dia harus siap dengan bau-bau tak sedap yang menyengat.

"Kalau menunggu mungkin lama, dia belum lama perginya," lanjut penjual buah yang seorang perempuan setengah baya.
"Mau tanya bu, Timan itu apa sudah punya isteri?"

"Belum pak, masih bujang. Nggak tau itu, susah amat disuruh cari isteri, padahal dia itu kan ganteng, tabungannya sudah lumayan. Dulu saya juga ingin mengambilnya sebagai menantu pak, tapi dia nggak mau, padahal anak saya cantik lho," kata penjual buah lagi.

"Oh, begitu ya?"
"Ma'af pak, apa Timan punya hutang sama bapak?" tanya ibu penjual buah itu curiga.
"Oh, nggak.. nggak.. saya cuma ingin ketemu saja."
"Apa ada masalah yang membuat bapak marah sama dia?"

Pak Marsudi menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Nggak... nggak ada masalah apapun."
"Oh, syukurlah."

"Begini saja bu, sebentar, saya akan mencatatkan nomor tilpun saya," kata pak Marsudi sambil mengambil secarik kertas entah dari catatan apa, yang kemudian ditulisnya disitu nomor kontaknya.

"Ini bu, saya mohon titip, nanti kalau Timan datang, suruh dia menghubungi nomor tilpun saya ini ya,"kata pak Marsudi sambil mengangsurkan secarik kertas berisi catatan nomor kontaknya.

"Oh, ya pak, nanti akan saya sampaikan." 
"Apa ibu punya nomor kontaknya dia?"

"Waduh, nggak punya tuh pak, nggak pernah kontak-kontakan."
"Ya sudah bu, berikan saja nomor saya itu, biar dia menghubungi saya."
"Baiklah pak."
"Terimakasih ya bu, kata pak Marsudi sambbil membalikkan badannya.
Pak Marsudi keluar dari pasar itu, sambil terus menutupi hidungnya dengan sapu tangan.

*

Timan heran ketika tetangga kiosnya memberikan secarik kertas berisi nomor kontak seseorang.
"Dari siapa ini yu?"
"Nggak tau namanya Man, aku nggak nanya. Kayaknya orang kaya. Pakaiannya bagus, pakai dasi, baunya wangi."

"Masih muda?" 
"Sudah setengah tua, tapi masih guanteng lho Man..." kata ibu penjual buah itu sambil tersenyum genit.

"Siapa ya?"
"Ya  sudah nomornya itu saja kamu hubungi, nanti kan kamu tau siapa dia."

"Iya yu, tapi nanti saja, aku mau beresin barang-barang yang mau aku kirim siang ini dulu."
"Nanti kalau penting bagaimana?"
"Gak apa-apa... cuma beberapa jam saja," jawab Timan sambil menata lagi barang-barang yang akan dikirim siang itu. 

Tapi karena penasaran, setelah mengepak barangnya, sebelum berangkat mengantar Timan mencoba memutar nomor yang tadi diterimanya.

"Hallo, jawaban dari seberang sana.
"Hallo selamat siang," sapa Timan.

"Ini siapa ya?"
"Ma'af, saya yang harus bertanya, bapak ini siapa? Tadi bapak memberikan nomor kontak melalui tetangga saya."

"Oo... ya, kamu penjual buah yang bernama Timan?"
"Benar sekali, bapak siapa ya?"

"Begini, saya ingin ketemu dengan kamu, disebuah rumah makan saja, supaya enak ngomongnya."
"Rumah makan?"
"Ya, didekat pasar itu agak keutara kan ada rumah makan. Yang jual  Timlo, tau kan? Nah, ketemuan disana sekarang ya, ada yang ingin aku bicarakan."

"Tidak bisa sekarang pak, saya mau mengirim pesanan terlebih dulu."
"Waduh, tadi kan sudah?"
"Ada beberapa tempat pak."
"Hm. jadi bisanya jam berapa ya?"
"Kira-kira jam dua atau tiga pak.."
"Waduh, salah satu saja, dua atau tiga, gitu."

"Tiga pak, supaya saya bisa menyelesaikan tugas saya tanpa terburu-buru."
"Biklah, di rumah makan Timlo itu, jam tiga. Oke."
"Nanti dulu pak, sudah bicara banyak tapi saya belum tau siapa bapak."

"Oh ya, aku pak Marsudi. Kita pernah ketemu ketika kamu mengantarkan Lastri pulang, dan membawakan selirang pisang ambon."
Timan tertegun. Itu majikannya Lastri? Ada apa ya?
"Oke, jam tiga ya."

Pak Marsudi langsung menutup ponselnya, membiarkan Timan termangu sambil memegangi ponselnya. Ada apa ya? Baiklah, jawabannya adalah nanti jam tiga. Tapi sepanjang mengantarkan barang pesanan itu hati Timan terasa tidak tenang.

*

"Bapak tadi ke pasar?"  tanya bu Marsudi setelah makan siang.
"Nggak, kata siapa?"

"Lastri tadi melihat bapak."
"Ah, masa sih, salah lihat barangkali."

"Katanya benar-benar melihat bapak kok. Mau beli apa kepasar?"
"Aku nggak ke pasar, ngapain aku ke pasar. Mungkin ada orang yang mirip aku, lalu dikira aku. Ada-ada saja."

Bu Mrsudi diam, tapi dia kurang percaya pada apa yang dikatakan suaminya. 
"Aku mau balik ke kantor, sudah jam dua."
"Lha bapak pulang makan juga sudah siang sih. Lagian tadi makannya juga cuma sedikit. Sudah makan di kantor ya?"

"Lagi nggak selera aku, perutku sedikit mual, tapi sudah minum obat," kata pak Marsudi berbohong.

"Bapak kecapean barangkali."
"Iya, lagi banyak kerjaan, tapi nggak apa-apa kok," kata pak Marsudi sambil berdiri dan langsung menghampiri mobilnya.

Bu Marsudi merasa aneh dengan sikap suaminya. Ia lebih percaya pada laporan Lastri pagi tadi, bahwa suaminya ke pasar. Mungkinkah mencari tukang buah itu? Begitu nekatnya dia, hanya untuk memisahkan Bayu dan Lastri? Semuanya belum jelas. Harusnya Bayu ditanya dulu, benarkah dia suka pada Lastri, atau hanya perkiraan pak Marsudi, atau bahkan juga perkiraan dirinya. Tapi kalau 'iya' bagaimana? Dia bingung harus bersikap apa, tapi kalau harus membenci Lastri, bu Marsudi benar-benar tak sanggup. Bocah baik dan polos, siapa mampu membencinya?

Siang itu hanya pak Marsudi saja yang pulang makan, walau hanya sedikit seperti tak berselera,sedangkan Bayu tidak . Lastri bilang, Bayu sudah mengatakan tak akan makan siang karena ada meeting dengan para stafnya siang itu. 

"Sekarang selalu pada Lastri Bayu mengabarkan pulang atau tidaknya sa'at makan siang," gumam bu Marsudi pelan. Banyak tanda-tanda mengarah kesana bukan? Bu Marsudi menghela nafas.Ia ingin beristirahat siang itu, kalau bisa tidur, supaya terlepas semua beban tentang keadaan keluarganya yang membuatnya pusing.

*

Jam belum menunjukkan pukul tiga, tapi Timan sudah duduk dirumah makan itu. Dia baru memesan minuman, segelas teh lemon, makanan baru akan dipesannya ketika pak Marsudi datang.

Tiba-tiba telephone berdering. Dari Lastri? Timan buru-buru mengangkatnya.
"Hallo, Lastri?"
"Ini mas Timan ya?"
"Iya, ada apa?"

"Nggak, cuma nyobain ponselku saja, kan mas Timan baru menuliskan nomor kontaknya dulu itu, dan aku belum mencobanya."
"Oh, iya, syukurlah kalau nggak ada apa-apa."

"Mas Timan masih di pasar atau sudah pulang?"
"Sudah mau pulang .. ini sedang....."

Timan menghentikan kata-katanya. Ia ingin mengatakan bahwa sedang janji ketemuan dengan pak Marsudi, tapi diurungkannya. Ia belum tau maksud pak Marsudi, jadi lebih baik ia tak usah mengatakan apa-apa.

"Ini sedang apa? Kok nggak dilanjutin ngomongnya?"
"Sedang siap-siap mau pulang, kan hampir jam tiga, biasanya sudah tadi-tadi aku pulang."
"Laris ya mas, syukurlah."

Tiba-tiba Timan melihat pak Marsudi baru memasuki rumah makan.
"Sudah dulu ya, pasar sudah sepi nih."
"Ya mas, aku juga mau istirahat."

Ponsel ditutup, persis ketika pak Marsudi sampai didepannya.

"Timan ya? Agak pangling aku."
"Ya pak, saya Timan, silahkan duduk, saya sudah memesan minum duluan," kata Timan.
"Nggak apa-apa, kita pesan makan saja sekalian." 

Pak Marsudi memesan makanan dan minum. Timan diam menunggu.
"Kamu heran ya, saya ingin menemui kamu?"
"Sangat heran pak, saya tidak mengerti apa maksud bapak."
"Ini tentang Lastri."

Timan terkejut. Ditatapnya pak Marsudi tanpa berkedip. Apakah pak Marsudi akan melarang dirinya mendekati Lastri? Pikirnya.

"Apa saya membuat kesalahan?" akhirnya Timan bertanya.
"Oh, tidak.. tidak. Begini, Lastri itu kan sudah puluhan tahun ikut saja. Sejak belum mengenal huruf, sampai sekarang lulus SMA."

Timan mengangguk. Lastri sudah pernah menceritakan semuanya, semua kebaikan majikannya, dan yang menganggapnya seperti keluarga sendiri.
"Sekarang Lastri sudah dewasa, sudah sa'atnya punya suami, ya kan?"

"Lhoh, kok ngomongnya sama saya? Bisik batin Timan yang semula ingin diucapkannya.
"Aku melihat kamu sudah lama mengenalnya,"
Timan diam terpaku, apa yang dikatakan pak Marsudi terasa aneh.
"Terus terang aku suka sama kamu."

Makan dan minuman yang dipesan pak Marsudi telah dihidangkan dimeja.
"Ayo sambil makan," kata pak Marsudi sambil menghirup teh panas yang dipesannya.

Masudi juga menghirup sisa lemon tea nya, lalu mendekatkan mangkok berisi nasi timlo yang masih panas mengebul. Ia belum menyuapnya ketika pak Marsudi melanjutkan kata-katanya.
"Bagaimana kalau saya minta kamu menikahi Lastri?"

Timan berhenti mengaduk-aduk makanannya. Seperti mimpi ia mendengar kata-kata pak Marsudi. Timan bukan anak kecil lagi, dia lebih berfikir bahwa sikap pak Marsudi ini sangat aneh. Susah-susah mencarinya hanya untuk menyuruhnya menikahi pembantunya? Begitu sayangkah pak Marsudi terhadap Lastri, atau sebaliknya? Timan yakin, pasti ada sesuatu dibalik semua ini. 

"Aku bersungguh-sungguh. Bukankah Lastri itu cantik? Aneh kalau kamu menolaknya."

Yang aneh adalah karena pak Marsudi seperti memaksanya. Tidak, Timan bukan orang bodoh. Ia memang hanya seorang penjual buah, tapi dia sudah lebih dari dewasa. Segala sesuatu yang akan dilakukannya, adalah yang sudah difikirkannya masak-masak. Memang benar Lastri cantik, memang benar dirinya tertarik, siapa yang nggak mau punya isteri cantik? Tapi kalau harus disuruh-suruh, sangat menggebu-gebu pula, Timan yakin ia tak harus menerimanya. 

"Bagaimana Timan?" tanya pak Marsudi yang sudah memasukkan beberapa kali suapan ke mulutnya. Timan belum menyentuhnya. Ia memainkan sendok didalam mangkok, seperti menunggu dingin, tapi pikirannya bukan ke arah semangkok timlo dihadapannya.

"Ayo sambil dimakan Man, keburu dingin."
"Sebetulnya saya tidak lapar, dan sedang terburu-buru."

"Tapi bagaimana dengan tawaranku tadi?"
"Ma'af pak, bukan saya menolak kebaikan bapak, tapi terus terang saja saya mengatakan bahwa saya tidak bersedia."

Pak Marsudi tersedak lalu terbatuk-batuk  dengan keras

*


Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar