*LASTRI 33*
Hari itu Timan tidak berjualan. Bayangan tentang Lastri semakin tampak
jelas. Tinggi semampai, kulit putih bersih, cantik, baik hati, tinggal didaerah
Sarangan. Itu Lastri yang aku cari, Lastrinya mas Bayu.
Timan mengambil mobilnya dan lari kerumah sakit. Berita ini harus
segera disampaikan kepada Bayu agar bisa lebih bersemangat hidup. Ini pasti
membahagiakan, karena akan bertemu dengan kakasih hatinya yang hampir tiba didepan mata.
Timan tersenyum disepanjang perjalanan. Hari masih pagi tapi jalanan
sudah sangat ramai. Anak-anak berangkat kesekolah, mendominasi jalanan yang
masih belum begitu siang. Timan menyibak keramaian itu dengan hati penuh suka.
Andai bisa tersampai, Timan ingin berteriak sekuat tenaga, agar Bayu
mendengarnya. Ia tak mungkin menelpon karena Bayu sedang dirawat dan ketika
ditinggalkan semalam dalam keadaan setengah sadar.
Timan sudah sampai dirumah sakit itu, ia melompat dan seperti ingin
terbang ke ruang UGD. Tapi ditengah jalan dia berpapasan dengan pak Marsudi.
Wajahnya pucat penuh rasa khawatir.
"Pak Marsudi, mau kemana ?" tanya Timan
"Keadaan Bayu kritis, suara pak Marsudi bergetar.
"Apa ?"
"Tekanan darahnya menurun. Hb nya juga ngedrop. Aku akan mencari
donor karena persediaan dirumah sakit tidak mencukupi."
"Ya Tuhan, apa golongan darahnya ?"
"O, nak.. aku sudah diambil, kemungkinan masih kurang, tapi
golongan darah ibunya tidak sama. Aku harus mencari segera."
"Pak, tunggu pak, golongan darah saya sama, mari kita
kesana."
"Oh, baiklah, terimakasih nak, tapi aku akan mencoba mengontak
orang-oraag kantor, untuk bersiap siap apabila diperlukan."
"Ya pak, silahkan.
Timan berlari kearah ruang ICU, dilihatnya bu Mrsudi duduk di sebuah
kursi, menyandarkan kepalanya, Timan mendekat.
"Bu..."
Bu Marsudi mengangkat kepalanya., tangisnya meledak ketika melihat
Timan. Timan merangkulnya .
"Sabar bu, mas Bayu pasti sembuh. Ini saya akan mendonorkan darah
saya, tadi ketemu pak Marsudi diluar, sedang menelpon teman-temannya."
"Sykurlah nak, ibu juga tak mengerti, mengapa tiba-tiba dia
begitu."
"Nggak apa-apa bu, saya membawa kabar baik tentang Lastri, semoga
bisa menjadi obat mujarab untuk mas Bayu."
Bu Marsudi memegang kedua bahu Timan. Matanya masih basah, tapi ada
harapan terlukis disana.
"Benarkah, nak Timan ketemu dia ?"
"Belum bu, baru mendapat kabar yang hampir meyakinkan saya bahwa
itu Lastri. "
"Dimana dia ?"
"Didesa asalnya, saya baru mau kesana, tapi maksud saya akan
mengabarkan berita ini dulu pada mas Bayu."
"Dia belum sadar nak, nanti akan ibu katakan."
"Sekarang saya mau bilang ke dokternya dulu bahwa darah saya siap
didonorkan, karena golongan darah kami sama."
"Baiklah nak, terimakasih banyak, semoga berita ini bisa menjadi
obat bagi Bayu."
*
Pagi itu Lastri kerumah bu lurah untuk mengembalikan sebagian uang bu
lurah yang telah dipergunakannya untuk membeli bahan-bahan bangunan.
Bu lurah tidak menolaknya, karena takut Lastri tersinggung. Bu lurah
masih teringat ketika Lastri marah-marah ketika dia melakukan itu.
"Terimakkasih bu, baru beberapa, masih kurang banyak bukan?"
"Tidak nak, ini cukup."
"Mana mungkin bu, saya mempunyai catatannya."
"Lastri, tolong jangan memikirkan itu. Ibu tau bahwa ibu bersalah,
ibu sudah minta ma'af, dan ibu sudah
menerima ini, sudah cukup nak. "
"Tapi bu.."
"Kalau kamu memaksa juga, berarti kamu tidak menganggap kami
sebagai keluarga."
Lastri tak berdaya. Bu lurah memeluk Lastri erat.
"Terimakasih banyak bu, kebaikan ini tak ternilai."
"Jangan menilainya sebagai kebaikan. Kita bukan orang lain."
"Baiklah bu, sekarang saya mau ke bu lurah Mardi dulu ya
bu.."
"Oh, dia baru ke puskesmas , kayaknya dia ngidam. Muntah-muntah
terus dari pagi."
"Aduuuh, benarkah ? Senengnya ya bu, segera punya cucu..."
"Iya, seneng sekali. Semoga Lastri segera menyusul ya?"
Lastri tersenyum, sendu. Bisakah itu terjadi?
Ketika Lastri mau beranjak pergi, bu lurah menghentikannya.
"Tunggu Lastri, aku mau nitip buat Marni.
Bu lurah mengambil bungkusan plastik dimeja. Ini manisan cerme, seger,
manis-manis asem, pasti orang ngidam suka. Sebentar, aku ambil koran buat
bungkus, masa kelihatan begitu. Bu lurah mengambil koran selembar dikamar lalu
dibungkusnya manisan itu.
"Ini Tri, dan suruh dia hati-hati. Sebenarnya ibu pengin mereka
tinggal disini, agar aku bisa menjaganya, tapi mereka ingin rumah sendiri, ya
sudah, nggak apa-apa, asal selalu saling mengabarkan saja."
"Benar bu, biar belajar mandiri, tidak selalu tergantung pada
ibunya."
"Semoga mereka baik-baik saja."
*
Karena penasaran Lastri menyusul ke puskesmas. Dilihatnya Marni masih
ada diruang tunggu, Mardi mendampinginya. Kepala Marni terkulai diundak Mardi.
"Yu Marni.. ," panggil Lastri.
Marni dan Mardi menoleh, Lastri
mengulurkan tangannya kearah Marni.
"Selamat ya yu,"
"Lastri, belum diperiksa," jawab Marni. Lastri melihat, wajah
Marni pucat.
"Kata bu lurah kamu ngidam. Aku tadi mampir kesana."
"Baru perkiraan. Ini lagi mau periksa."
"Semoga benar hamil yu, sudah kepengin punya keponakan nih, kata
Lastri sambil duduk didekat Marni.
"Rasanya badan ku nggak karuan Tri."
"Itu bawaan bayi yu, sabar."
"Kamu dari mana, kok tau kami ada disini?" kata Mardi.
"Lha tadi kan aku bilang mampir kerumah bu lurah, jadi bu lurah
yang kasih tau bahwa kalian ada disini. Oh ya, ini, bu lurah menitipkan sesuatu
untuk yu Marni," kata Lastri sambil mengulurkan bungkusan yang diberikan
bu lurah.
"Apa ini?"
"Makanlah, katanya manisan cerme, rasanya manis-manis asem.
Cobalah."
Marni tak sabar membuka bungkusan itu, ingin segera mencicipi manisan
itu, tampaknya menarik, manis-manis asem. Kertas koran itu dilepasnya dan jatuh
dilantai, lalu Marni segera membuka plastiknya dan mengambil sebutir.
"Hm, benar, enak, aku suka," katanya lalu mengambilnya lagi,
sementara Lastri memungut selembar koran bungkus yang tercecer.
Tiba-tiba ada sekilas tulisan yang menarik hatinya, ada nama Lastri
tertulis disana. Lastri membuka lembaran itu lebih lebar. SEGERA PULANG LASTRI,
KAMI BENAR BENAR MENUNGGU KAMU. AKU MINTA MA'AF, AKU BERSALAH PADAMU LASTRI.
AKU MENYESAL. MARSUDI.
Lastri terpana, ini adalah sobekan koran pembungkus sepatunya. Jadi
yang memasang iklan ini bukan Bayu, tapi pak Marsudi. Gemetar tangannya. Ini
sudah setahun..
Mardi yang memperhatikan Lastri membaca, lalu meminta koran itu.
Tiba-tiba Mardi sadar akan kesalahannya. Ia lupa tentang iklan itu, dan juga
lupa mengabarkannya pada Lastri. Ketika itu bu lurah melarangnya mengabarkannya
pada Lastri karena bu lurah mengharapkan Lastri tidak kembali kekota.
"Aduh.. aku kok bisa lupa.." keluh Mardi perlahan.
"Apa mas ?" tanya Marni dan Lastri hampir bersamaan.
"Lastri.." Mardi memegang tangan Lastri erat.
Lasri yang sedang memikirkan iklan itu menatap Mardi.
"Aku minta ma'af, sungguh ma'afkanlah aku."
"Kenapa?"
"Sesungguhnya ketika koran itu terbit, aku sudah membaca iklan
itu."
"Apa?" Lastri terkejut.
"Ma'af Lastri ketika itu ibu melarangnya, karena ibu ingin kamu
tetap tinggal disini. Setelah itu aku lupa tentang iklan itu, baru sekarang
teringat kembali."
"Ya Tuhan.." keluh Lastri.
"Kalau kamu ingin kesana, aku akan mengantarmu, kapan saja."
"Mas Mardi kok bisa lupa sih, kasihan Lastri, dia urung kembali
karena mengira mereka tak bisa menerima Lastri," tegur Marni.
"Iya, sungguh aku minta ma'af."
Ketika itu Marni sudah dipanggil, ia berdiri diikuti Mardi.
"Lastri, nanti kita bicara lagi ya, sebentar." kata Mardi
sambil membawa Marni masuk kedalam.
Tapi Lastri langsung meninggalkan puskesmas itu. Sobekan koran itu
dibawanya serta.
*
Lastri pulang dan menangis dikamarnya. Ada sedih yang mengharu biru
perasaannya. Pak Marsudi merasa bersalah dan meminta ma'af, sangat diluar
dugaannya. Tapi ia merasa lega. Lebih lega lagi ketika mereka mengharap dia
kembali. Tapi itu sudah setahunan lalu, apakah semuanya belum berubah?
Setahun adalah wktu yang cukup lama. Barangkali Bayu sudah melupakannya
dan menemukan kekasih baru, atau bahkan sudah menikah. Lagipula Lastri juga
belum tau, meminta dia kembali bukan berarti akan diterima sebagai menantu. Itu
hal yang mustahil meenurut Lastri. Dan kalau dia kembali, dia akan tetap
memendam cinta dihatinya, dan tersiksa sepanjang hari. Apalagi setiap bertemu
dan bertatap muka dengan Bayu.
Lastri mengusap air matanya, lalu mengambil koran yang kembali dipergunakan
untuk membungkus sepatunya. Ia memang tidak membuangnya. Lalu ia membukanya dan
menyatukannya dengan koran pembungkus manisan itu. Tuhan mengatur hidupnya
sedemikian rupa. Iklan yang terpisah bersatu kembali, jelas terbaca secara
lengkap.
Kembali air matanya berlinang. Apakah kalau sejak koran itu terbit,
lalu dia kembali kepada keluarga Marsudi, akan bahagia hidupnya?
Lalu ia teringat kata-kata Mardi bahwa kalau ia ingin kembali maka
Mardi akan mengantarkannya. Begitu mudahkah ia kembali? Bagaimana kalau
dilihatnya Bayu sudah berdua, lalu dia tetap menjadi pembantu di keluarga itu,
dan menangkap setiap kemesraan antara Bayu dan isterinya. Aduhai...
tidak.. Lastri tidak ingin kembali.
Ini adalah hidupku, aku akan tetap disini, mengenangmu setiap sa'at
adalah lebih indah daripada melihatmu sudah berdua dengan yang lain.
Lastri menghela nafas.
"Aku harus kuat. Ini pilihan hidupku," bisik Lastri pelan.
*
Timan iingin segera berangkat ke Sarangan, tapi ia harus melihat
keadaan perkembangan Bayu yang tampak menghawatirkan. Setelah mendonorkan
darahnya, ia mendekati Bayu dan berbisik ditelinganya.
"Mas Bayu, saya akan menjemput Lastri."
Tapi Bayu diam tak bergerak. Timan merasa takut. Mengapa tiba-tiba
seperti ini?
"Apakah kehilangan Lastri membuat mas Bayu jadi begini? Sadarlah
mas.. sekarang juga saya akan membawa Lastri untuk mas Bayu."
Timan menghela nafas. Sedih melihat sahabatnya tergolek tak berdaya.
Selang berisi cairan darah masuk melalui urat nadinya. Entah sudah berapa flacon masuk kedalam
tubuhnya.
Diluar ruang ICU bu Marsudi masih menunggu. Wajahnya sembab dan pucat.
"Bu, saya pergi dulu," katanya sambil mencium tangan bu
Marsudi.
"Jadi ke Sarangan?"
"Ya bu, do'akan agar bisa bertemu Lastri ya?"
"Iya nak, barangkali hanya itu obat untuk Bayu."
"Mana bapak, bu?"
"Sedang mengambil obat nak, nanti saya pamitkan."
"Ibu harus kuat ya, mas Bayu akan sembuh, percayalah bu,"
hibur Timan.
Bu Marsudi hanya bisa mengangguk, air matanya kembali mengambang, yang
kemudian diusapnya.
*
Timan memacu mobilnya kearah Sarangan. Bertumpuk harapan yang membakar
semangatnya. Ia ingin Bayu sembuh, dan Lastri berbahagia. Alangkah mulia hati
Timan, sang penjual buah.
Hari sudah menjelang sore ketika Timan
tiba disana. Keterangan dimana rumah Lastri tak lama segera didapatnya
karena nama Lastri tak asing lagi bagi masyarakan disana.
Timan menghentikan mobilnya didepan sebuah rumah bercat kuning muda.
Pintu rumah itu tertutup. Sedang tidurkah Lastri?
Timan turun dan langsung menuju rumah itu kemudian mengetuk pintunya.
Tak ada jawaban.
Timan mengitari rumah itu, barangkali karena ada dibelakang maka Lastri
tak mendengar ketukan pintunya.
Tapi pintu belakang juga terkunci.
Timan melihat jendela rumah juga tertutup rapat.
"Lastri, Lastri.." sekarang Timan memanggil-manggil.
Tak ada jawaban. Lalu Timan duduk diatas lincak yang ada didepan rumah
itu.
"Kemana perginya Lastri? Apakah sedang ke kebun? " gumam
Timan.
Timan melongok kesana kemari, pick up bertuliskan Lastri itu tak
tampak. Mungkin belum kembali dari
mengirim sayur. Apakah Lastri ikut bersama mereka? Atau bukan disini mobil itu
diletakkan? Apakah dia mendapatkan keterangan yang salah? Ini bukan Lastri yang
dicarinya?
"Aku akan menunggu disini, sampai pemilik rumah ini kembali,"
gumam Timan.
"Mencari siapa nak?" tiba-tiba terdengar suara serak dari
arah samping, dan seorang lelaki tua muncul.
"Permisi pak, saya ingin bertemu Lastri. Benarkah dia tinggal
disini ?"
"Yang tinggal disini memang namanya Lastri. Anak dari mana?"
"Saya dari Solo pak, saya sahabatnya Lastri waktu dia di Solo.
Benar bukan Lastri lama tingal di Solo? Dia dibawa oleh keluarga kaya waktu
masih berumur belasan tahun," kata Timan panjang lebar untuk meyakinkah
apakah benar Lastri pemilik rumah ini adalah Lastri yang dicarinya.
Pak Tua yang ternyata mbah Kliwon itu mengangguk angguk.
"Saya tidak salah kan pak?"
"Tidak nak, ini memang Lastri. Tapi Lastri pergi sejak pagi dan
belum kembali."
"Saya akan menunggu."
Tapi dalam hati mbah Kliwon juga bertanya-tanya, kemana Lastri pergi
sehingga sampai sekarang belum kembali?
*
&&&&
*LASTRI 34*
Mbah Kliwon membuatkan minuman untuk tamunya, dan menceritakan sepak
terjang Lastri sejak dia pulang ke desanya. Dan sepak terjang yang luar biasa
itu dibantu oleh pak lurah dan sahabatnya yang sekarang menjadi isteri lurah.
"Karena ulah mereka maka dusun ini maju. Anak-anak harus mengenyam
bangku sekolah, ada balai kesehatan, dan sekarang para petani hidup lebih
nyaman karena Lastri membeli semua hasil panen untu dijualkan dikota, tanpa
kami harus mengusung sendiri hasil panen kami. Dan sudah banyak yang memasang
listrik disini, termasuk rumah saya juga dikasih setrum oleh Lastri sehingga
tidak perlu menyalakan lampu pinyak etiap malam."
Timan berdecak kagum. Kepulangan Lastri memeberi berkah bagi dusunnya.
"Ini hebat dan luar biasa pak."
Timan menengok jam tangannya. Dan hari menjelang senja, mengapa Lastri
belum pulang juga?
"Kok belum pulang ya pak."
"Iya nak, tak biasanya Lastri pergi lama. Tadi juga para pengirim
sayur itu menitipkan uangnya sama saya karena mereka tak bisa menemui Lastri.
"Apakah mobil Lastri tidak ditaruh disini?"
"Tidak nak, dititipkan dirumah pak lurah, yang pekarangannya
luas."
"Kemana saya harus meencari Lastri ya pak?" kata Timan yang
mulai gelisah.
"Heran juga saya, biasanya dia tak pernh pergi sampai senja
begini. Tunggu nak, saya akan mencoba mencarinya di pak lurah."
"Sebentar pak, bapak tau nomor kontaknya Lastri?"
"Waduh, nggak tau nak, lha kalau sampeyan temannya masa nggak tau
nomornya?"
"Nomor yang saya tau tidak aktif lagi pak, rupanya dia sudah
menggantinya."
" Ya sudah, nak tunggu disini saja, saya akan coba mencarinya
dirumah pak lurah. Biasanya dia kesana, tapi biasanya juga.. nggak sampai
sesore ini."
"Jauhkah rumah pak lurah?"
"Nggak begitu jauh sih.."
"Mari saya antar saja pak, biar lebih cepat."
mBah Kliwon menurut, dia naik ke mobil Timan yang mengantarkannya ke
rumah pak lurah Mardi. Tapi ternyata kedatangan mereka justru membuat bingung
Mardi dan isterinya, karena mereka berpisah di puskesmas sejak ketika Marni
memeriksakannya kesana.
"Aduh, kemana dia?"
"Jangan-jangan kerumah ibu mas," sela Marni.
"Saya tilpun ibu saya dulu ya mbah, silahkan duduk mas,"
Mardi kemudian mempersilahkan keduanya duduk. Marni menduga duga, inikah
kekasih Lastri?"
"Hallo bu," sapa Mardi
"Ini Mardi?"
"Ya bu, Mardi, apakah Lastri ada disini bu?"
"Lho, tadi pagi Lastri kesini, cuma memberikan uang sama ibu, lalu
pergi, Katanya mau menyusul kamu waktu ke puskesmas."
"Lho, kemana lagi dia?"
"Dia pergi?"
"Ya bu, ada yang mencarinya dari Solo. Ya sudah bu,
terimakasih."
"Nggak ada ya pak?" tanya Timan yang sudah mendengar sedikit
percakapan itu.
"Nggak ada tuh, kemana dia?"
"Ada nomor kontak yang bisa dihubungi?"
"Ada, sebentar."
Mardi memutar nomor kontak Lastri, tapi rupanya ponselnya tidak aktif.
"Tidak aktif," kata Mardi putus asa.
Timan gelisah bukan alang kepalang. Kenapa dia pergi dan mengapa tak
seorangpun mengetahui?
"Ma'af, apakah ini mas
Bayu?" tanya Mardi yang jug menduga Timan adalah kekasihnya Lastri.
"Bukan pak lurah, saya
Timan, sahabatnya mas Bayu. Justru saya datang kemari karena mas Bayu sakit
keras. Saya harap bisa menemukan Lastri agar menjadi obat bagi sakitnya mas
Bayu."
"Oh, ya Tuhan, jadi yang namanya Bayu masih memikirkan
Lastri?"
"Sampai sakit-sakitan pak, kasihan saya. Dulu katanya pernah mencari
kemari dan katanya Lastri tidak pulang kemari," sesal Timan.
"Oh iya, saya waktu itu yang menemui orang-orang dari Solo,
mengendarai mobil, mencari Lastri. Tapi ketika itu Lastri belum pulang. Baru
keesokan harinya Lastri datang. Tapi rupanjya dia ingin tinggal didesanya
kembali."
"Mas, jangan-jangan Lastri pergi karena iklan itu.," sela
Marni.
"Iklan apa ya bu?" tanya Timan.
"Wah, saya merasa berdosa sama Lastri."
Lalu Mardi mencerterakan perihal iklan setahun lalu itu, yang baru saja
terbaca oleh Lastri, padahal sesungguhnya
dia tau sejak iklan itu diterbitkan, tapi karena sesuatu hal lupa
mengatakannya pada Lastri.
"Jadi kemungkinannya dia pergi ke Solo?" tanya Timan penuh
harap.
"Jangan-jangan iya," kata Mardi.
Lalu Mardi memutar nomor tilpun Bayu yang dipegang bu Marsudi.
"Hallo,ini nak Timan?" sapa bu Marsudi dari seberang.
"Ya bu, saya Timan."
"Nak Timan sudah ketemu Lastri?"
Pertanyaan itu membuyarkan harapan Timan bahwa Lastri telah kembali.
"Bagaimana nak ?"
"Saya sudah sampai didesanya Lastri, tapi belum bertemu
Lastri."
"Tapi Lastri ada didesanya kan? Itu benar kan?"
"Iya bu, ada, cuma dia pergi, tidak ada yang tau kemana perginya.
Perkiraan saya dia ke Solo, kaena baru saja membaca iklan yang dipasang pak
Marsudi setahun lalu."
"Oh baru saja tau ? Tapi kok belum kemari. Jangan-jangan kerumah,
karena kan tidak tau kalau kami dirumah sakit. Oh tunggu, tapi ini bapak sedang
dirumah untuk mengambil baju-baju Bayu. Tunggu sebentar saya menelpon bapaknya
Bayu ya."
"Baiklah bu. Tapi bagaimana keadaan mas Bayu? Ada
perkembangan?"
"Masih belum sadar nak, sedih ibu," isak bu Marsudi.
"Sabar ya bu, tetaplah berharap dan berdo'a untuk kesembuhan mas
Bayu."
"Iya nak, semoga kedatangan Lastri benar-benar menjadi obat untuk
Bayu."
"Aamiin, bu."
Bu Marsudi segera menelpone suaminya.
Tapi ternyata pak Marsudi juga mengatakan bahwa Lastri tidak pulang.
"Kalau begitu bapak dirumah saja dulu. Tampaknya Lastri pulang ke
Solo, mungkin belum sampai, kalau pulang pasti kerumah, karena tidak tau kalau
Bayu disumah sakit."
Kemudian bu Marsudi menghubungi Timan lagi, dan mengatakan bahwa
Lastri belum sampai.
"Nanti kalau Lastri sampai, nak Timan akan saya beri kabar."
"Terimakasih bu, saya belum akan pulang kalau Lastri belum jelas
keberadaannya."
Hari mulai gelap.
"Bagaimana kalau kita menunggu dirumahnya Lastri saja, siapa tahu
juga Lastri sudah pulang kerumah." kata mbah Kliwon.
"Iya mas Timan, segala kemungkinan pasti bisa terjadi. Kalau ada
apa-apa, tolong hubungi saya ya mas, ini nomor kontak saya, oh ya, sekaliyan
nomor kontaknya Lastri ya."
Timan bersama mbah Kliwon kembali kerumah Lastri setelah mencatat
nomor-nomor kontak itu. Namun disana belum ada tanda-tanda Lastri pulang. Gelap
gulita menyelimuti rumah Lastri karena
lampu belum dinyalakan.
mBah Kliwon meraba-raba tombol lampu teras sehingga teras itu terang
benderang. Namun pintu rumah tetap terkunci, dan dari kaca jendela yang
kordennya terkuak, terlihat kegelapan juga menyelimuti dalam rumah Lastri.
mBah Kliwon pulang kerumah, dan menyalakan juga lampu rumahnya. Dia
juga membawa kunci serep rumah Lastri yang dititipkannya padanya, untuk
berjaga-jaga kalau dia kehilangan kunci dijalan atau apa, kata Lastri waktu itu.
"Ini saya membawa kunci rumahnya nak," kata mbah Kliwon yang
kemudian membuka rumah Lastri dan menyalakan setiap ruang yang masih gelap.
Timan mengikuti masuk kedalam. Memandangi rumah sederhana tapi bersih.
Ada seperangkat kursi tamu yang terbuat dari bambu , disebelahnya ada ruangan
yang pintunya tembus keluar, untuk mengumpulkan sayur dan buah yang disetorkan
sa'at pagi buta. Ada kamar yang tertutup, kata mbah Kliwon itu kamarnya Lastri,
lalu dibelakang ada dapur dengan peralatan yang sederhana.
Sepasang kompor gas, rak piring yang hanya berisi satu dua piring dan
gelas serta sendok, lalu meja kecil dengan satu kursi, yang tampaknya seperti
meja makan, karena ada tudung saji kecil tengkurap disana. Ketika mbah Kliwon
membukanya, ada piring berisi tahu goreng dua potong. Mbah Kliwon menutupkannya
lagi. Lalu ada kamar mandi disudut
dapur.
Timan kembali kedepan. Hari sudah malam, mbah Kliwon manemani Timan
duduk, kali ini didalam rumah, di kursi bambu yang tertata rapi.
Beberapa sa'at kemudian ponsel Timan berdering, semoga dari bu Marsudi
yang menerima kedatangan Lastri. Tapi bukan, dari lurah Mardi yang menanyakan
apakah sudah ada berita dari Lastri.
"Belum ada pak, saya juga belum mau pulang sebelum berita tentang
Lastri itu jelas."
"Berita dari Solo juga belum ada?"
"Belum ada pak lurah, padahal seharusnya kalau dia berangkat
siang, sebelum sore pasti sudah sampai disana."
"Baiklah mas, kalau ada apa-apa jangan lupa menghubungi
saya," pesan pak lurah.
mBah Kliwon menjerang air, lalu membuat wedang jahe untuk Timan.
"Udara dinginn nak, minuman ini bisa menghangatkan."
"Terimakasih pak."
Tapi tiba-tiba ada orang suruhan pak lurah membawakan makan malam untuk
Timan. Pak Kliwon tergopoh gopoh menerimanya dan meletakkan nasi beserta
lauknya dimeja didepan Timan. Ia kemudian mengambil piring dan sendok
dibelakang. Sebetulnya Timan tidak lapar, padahal sejak pagi dia belum makan
apapun. Rasa gelisahnya karena memikirkan Lastri membuatnya melupakan rasa
lapaenya. Tapi kemudian melihat semangkuk nasi dan ikan goreng membuat perutnya
tiba-tiba mengingatkannya bahwa ia belum diisi sejak pagi.
"Silahkan nak, pak lurah memang baik, dia sangat perhatian akan
keadaan warganya."
Tak urung Timan menyendok nasi kedalam piring dan memakannya perlahan.
Ikan yang seharusnya nikmat dilidah, terasa hambar bagi Timan.Jadi ia sekedar
mengisi perut agar tak merasa lemas dalam penantiannya.
"Mari pak, bapak juga harus menemani saya."
mBah Kliwon menyendok sedikit nati, demi menemani Timan makan.
Setelah makan itu Timan menunggu
berita dari bu Marsudi yang belum mengabarkan tentang Lastri.
Timan yang kemudian menghubungi, mendapat keterangan kalau sampai sa'at
ini Lastri belum tampak datang.
Timan mulai panik.
"Pak, tadi jan berapa Lastri berangkat?" tanya Timan.
"Pagi tadi pamit kerumah bu lurah, tapi sampai sekarang belum
kembali."
Kalau dia ke Solo sejak pagi atau katakanlah siang, pasti sudah sampai
dirumah keluarga Marsudi. Tapi mengapa belum sampai juga?
mBah Kliwon yang ikutan panik, sebentar-sebentar melongok keluar rumah.
"Tak biasanya dia begini," gumam mbah Kliwon sambil berjalan
keluar masuk rumah.
Timan mencoba menghubungu nomor kontak Lastri yang tadi diberikan pak
lurah. Tapi nomor itu tidak aktif. Berkali-kali dicobanya tapi tidak berhasil.
"Kemana kita harus mencarinya mbah?" tanya Timan yang juga
ikutan keluar masuk rumah dan melongok kearah kiri kanan rumah.
"Nak, saya ambilkan bantal ya," kata mbah Kliwon yang merasa
yakin bahwa Timan sangat letih, dan tanpa menunggu jawaban Timan mbah Kliwon
pulang kerumah yang ada disamping Lastri, lalu datang kembali membawa bantal.
"Ini nak, silahkan sambil tiduran, ini biarpun kumal tapi bersih,
saya baru saja mengganti sarungnya," kata mbah Kliwon sambil mengulurkan
bantalnya.
"Terimakasih pak," kata Timan sambil menerima bantal itu tapi
kemudian memeluknya.
"Berbaringlah dikursi panjang itu nak, saya mau tiduran di lincak
saja sambil menunggu Lastri."
"Ya pak, gampang, bapak saja yang istirahat, tapi jangan diluar, udaranya
sangat dingin."
"Bapak sudah biasa udara dingin nak, nggak apa-apa."
"Jangan pak, disini saja, sambil menemani saya."
mBah Kliwon mengalah, ia mengambil tikar dan melipatnya menjadi dua
agar agak tebal, lalu dibentangkannya disamping kursi bambu.
"Nah, saya berbaring disini, nak Timan dikursi itu."
Timan mengalah, ia membuarkan mbah Kliwon berbaring di tikar. Pasti
bapak tua itu juga penat, pikirnya.
Timan mencoba membaringkan juga tubuhnya di kursi bambu panjang, tapi
sedikitpun matanya tak bisa terpejam. Pikiran tentang Lastri membuatnya
gelisah, dan panik.
*
"Mas, kok belum
tidur?" tanya Marni kepada suaminya.ketika melihat suaminya termenung
dikursi tamu.
"Ya sudah kamu itu tidurlah, nanti muntah-muntah lagi."
"Tapi mas Mardi tampak tidak tenang begitu, Marni jadi ikutan
bingung.."
"Ya sudah, tidur dikursi panjang itu saja, aku ini sedang
memikirkan Lastri."
"Iya mas, aku juga
khawatir, mengapa Lastri tiba-tiba pergi?"
"Benarkah itu karena iklan yang dibacanya?"
"Mungkin mas, aku juga tidak mengira kalau mas menyimpan rahasia
itu."
"Dulu itu ibu mlarang aku mengatakannya pada Lastri, karena kan
kamu tau sendiri ibu ingin mengambil Lastri sebagai menantu?"
"Iya, aku tau, tapi mengapa mas Mardi tidak mengatakannya juga
walau sudah tau bahwa Lastri tidak mau jadi menantunya?"
"Sungguh aku merasa bersalah. Karena kesibukan-kesibukan aku, yang
juga dalam kaitannya membantu Lastri, sehingga aku melupakan iklan itu."
"Tapi kalau Lastri pergi karena iklan itu, pastinya dia pulang ke
Solo, mengapa tidak?"
"Mungkinkah belum sampai?"
"Ini sudah malam. Lastri pastinya pergi dari siang."
"Mengapa dia juga tidak pamit sama mbah Kliwon?"
"Aku jadi khawatir, bagaimana kalau terjadi sesuatu pada
Lastri?"
"Aduh mas, perutku mendadak mules," keluh Marni.
"Obatnya sudah diminum?"
"Sudah mas, tapi kok tiba-tiba mules."
"Kamu jangan ikut memikirkan Lastri, pikirkan bayimu."
"Bagaimana tidak mikir mas, Lastri itu kan sahabat kita."
"Iya, biar aku saja yang mikir. Sekaang kamu tidur saja, aku mau
ke gardu menemui yang ronda malam."
"Masih sore, apakah sudah ada yang datang?"
"Entahlah, barangkali ada yang bisa aku lakukan disana."
"Jacketnya dipakai mas,dingin."
"Ya, kamu tidur saja, apa sekarang
masih mules ?" tanya Mardi sambil mengelus perut Marni.
"Nggak, sudah berkurang, aku mau tiduan dulu."
*
Lurah Mardi keluar, menuju gardu peronda. Ada seorang warga yang
kemudian datang sambil membawa baki berisi lima gelas kopi.
"Belum ada yang datang kang?"
"Mungkin sebentar lagi pak lurah, tadi sudah pada siap-siap didepan
rumah masing-masing."
"Ya sudah, aku monta kopinya satu, boleh?"
"Silahkan pak lurah."
Mardi menghirup kopi yang masih hanyat.
"Tadi ada yang melihat Lastri?"
"Kalau saya nggak liat tuh pak, sesiang ini tadi di kebun, sore
baru pulang."
"Kemana dia?"
"Memangnya Lastri pergi?"
"Iya, sampai sekarang belum pulang kerumahnya."
"Mbah Kliwon barangkali tau."
"Dia juga mencari-cari. malah ada temannya dari Solo kebetulan
datang sore tadi, ee.. Lastrinya malah hilang entah kemana."
"Kok aneh, biasanya kan mbah Kliwon yang tau Lastri pergi
kemana."
Mardi menghirup lagi kopinya. Ia hampir tersedak ketika tiba-tiba
terdengar teriakan dari jauh.
"Pak lurah ada disitu?"
Mardi berdiri. Dua orang laki-laki membawa obor datang mendekat.
"Ada orang mati didekat kuburan pak !!"
"Orang mati?"
"Nggak tau mati atau hidup, pokoknya tubuhnya dingin dan tidak
bergerak."
"Mana dia?"
"Dibawa ke kelurahan pak"
*
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar