*LASTRI
35*
Pak lurah lari kearah kelurahan,
diikuti oleh peronda yang kebetulan sudah pada datang. Diteras kantor
kelurahan, sesosok tubuh terbaring disebuah bangku panjang, diam. Beberapa
orang mengelilinginya, dan seorang ibu sedang menggosokkan minyak hangat ke
tubuhnya.
"Lastri ?" pekik pak lurah
Mardi.
"Iya pak lurah, ini Lastri."
kata ibu-ibu yang menggosokkan minyak ketubuh Lastri.
“Segera bawa dia kerumah sakit. Aku
ambil mobilku dulu.”
Paklurah Mardi bergegas pulang, Sambil
berjalan dia menelpon Timan, mengatakan keadaan Lastri.
"Pak... pak, Lastri sudah
ketemu," katanya kepada mbah Kliwon yang sudah setengah tidur.
Mbah Kliwon bangun dan segera duduk.
"Mana dia?"
"Ayo cepat, kita ke kelurahan.
Pak lurah akan membawanya kerumah sakit."
"Memangnya dia kenapa?"
tanya mbah Kliwon sambil mengikuti Timan naik ke mobilnya.
"Ditemukan pingsan
dikuburan," kata Timan yang memacu mobilnya.
"Berarti tadi itu dia kemakan
neneknya dan ayah ibunya. Tapi mengapa sampai pingsan?"
"Kita lihat saja nanti."
Ketika sampai di kelurahan, seseorang
sedang mengusung Lastri ke mobil pak lurah. Timan melompat turun dan mendekat.
"Lastri," bisiknya trenyuh.
Tubuh itu masih diam tak bergerak.
"Ayo naik mas, pakai mobil saya
saja," kata pak lurah Mardi sambil duduk dibelakang kemudi.
Lastri dibaringkan di jok belakang.
Timan menemaninya, duduk agak miring karena jok panjang itu hampir penuh oleh
tubuh Lastri. Dipandanginya wajah pucat itu dengan perasaan haru yang meng
aduk-aduk hatinya. Perempuan luar biasa ini sedang terbaring tak berdaya. Apa
yang membuatnya jadi begini?
Timan mengelus kepala Lastri.
"Lastri, Lastri.. sadarlah
Lastri," bisiknya berkali-kali, sambil menggosok gosok kedua telapak
tangan Lastri.
Tubuh itu sudah tak sedingin tadi,
"Lastri... sadarlah, mas Bayu
menunggu kamu.. Lastri..,"
Tiba-tiba Lastri membuka matanya.
"Lastri. Alhamdulillah, kamu
sudah sadar Lastri."
"Aku... kenapa?"
"Lastri, kami sedang membawa kamu
ke rumah sakit, kamu tadi ditemukan warga dalam keadaan tak sadar ditepi
kuburan."
"Mas Bayu ?"
Timan tersenyum.
"Ada yang menyebut nama mas
Bayu," bisiknya lirih.
"Mas Bayu sedang sakit dirumah sakit.
Kamu harus kuat dan segera menemui mas Bayu."
Lastri memejamkan matanya. Keadaan
didalam mobil agak gelap, dia tak bisa melihat siapa yang ada didekatnya.
Kepala Lastri terasa pusing. Mungkin dia juga tak mendengar kata-kata Timan
tentang Bayu.
Tapi Mardi dan Timan merasa lega
karena Lastri telah sadar. Sesampai dirumah sakit Lastri langsung dibawa
ke UGD. Harap-harap cemas Timan dan
Mardi menunggu hasil pemeriksaan dokter. Timan ingin mengabarkan keadaan Lastri
ke bu Marsudi, tapi hari sudah jam 10 malam.
Semula ia ragu-ragu, tapi mengingat
pentingnya berita ini, maka Timan nekat menelponnya.
Tapi panggilan itu tidak tersambung,
tampaknya ponselnya mati. Mungkinkan bu Marsudi tertidur? Atau jangan-jangan
ada sesuatu dengan Bayu? Timan merasa tidak tenang.
Mardi yang mendampingi Timan menepuk
bahunya untuk menenangkannya.
"Sabar mas.." kata Mardi
pelan.
Ketika pemeriksaan selesai, diagnose
dokter mengatakan bahwa Lastri dehidrasi. Ia mendapat infus, dan diharapkan
menginap untuk pemeriksaan lebih cermat. Tak lama setelah itu Lastri
dipindahkan kekamar. Hari menjelang pagi waktu itu.
Mardi dan Timan mendekat keranjang
Lastri. Mereka lega karena Lastri sudah
tersadar. Tapi masih tampak bingung. Ia memandangi Mardi dan Timan
berganti-ganti.
"Lastri," sapa Timan sambil
tersenyum.
Seperti mimpi Lastri melihat Timan
didekatnya.
"Kamu ingat ini siapa Tri?"
tanya Mardi.
"Apakah aku bermimpi?"
"Kamu tidak bermimpi, ayo katakan
dia ini siapa.."
"Mas Timan?"
Timan tersenyum.
"Iya, aku Timan."
"Bagaimana ini, aku
bingung.."
"Kamu ditemukan warga pingsan
ditepi kuburan. Apa yang kamu lakukan Lastri?"
Lastri termenung, dia pingsan ditepi
kuburan. Ya benar, Lastri tadi
menziarahi makam nenek dan kedua orang tuanya. Ia merasa risau. Antara bunyi
iklan itu dan keadaan Bayu yang tidak diketahuinya.
Ia ingin bertemu Bayu, tapi apakah
yang akan dilakukannya itu benar? Bagaimana kalau ketika dia kembali lalu
ternyata Bayu sudah ada pendampingnya? Sebenarnya tidak apa-apa, Lastri ingin
Bayu bahagia, namun Lastri tak ingin melihatnya. Ia akan terluka.
Siang itu dari puskesmas tempat Marni
memeriksakan keadaannya, Lastri langsung pergi ke makam nenek dan kedua orang
tuanya. Ia menangis sepuasnya disana.
"Simbah, apa yang harus Lastri
lakukan? Lastri tergoda oleh bunyi iklan setahun lalu, tapi Lastri takut kalau
nanti ternyata keadaan akan lebih menyakiti Lastri.," keluhnya sambil
terisak.
"Tapi Lastri merindukan dia mbah,
tak bisa ingkar, Lastri selalu mencintai dia."
Lastri merangkul batu besar bertuliskan
nama neneknya. Ketika ia memunyai sedikit uang, ia membuat makam nenek dan
kedua orang tuanya menjadi lebih rapi. Sekeliling makan itu dipagari semen yang
berbentuk kotak-kotak. Ia meninggikan tanahnya, dan meletakkan batu-batu besar
bertuliskan nama mereka, sehingga Lastri tak usah susah mencari letaknya.
"Nenek, katakan apa yang harus
Lastri lakukan."
Lastri duduk disana sambil menumpahkan
semua isi hatinya. Walau nisan yang bisu tak memberi jawaban, tapi hati Lastri
merasa lebih tenang. Ia merasa tak ada tempat mengadu kecuali ditempat itu.
Hari sudah sore, dan remang senja
mulai menyelimuti alam sekitar Lastri berdiri dan ingin beranjak pulang. Tapi tubuhnya terasa lemas. Ia lupa makan
sejak pagi, apalagi minum, sementara panas terik menyengat tubuhnya tanpa
dirasa sejak siang.
Namun ia terus melangkah. Tertatih
langkahnya, Tak seorangpun ada diarea pemakaman itu, ia terus melangkah,
sementara tubuhnya semakin lemah. Pada suatu ketika, hampir keluar dari area
itu, Lastri roboh, dan tak ingat sesuatupun.
Lastri sadar ketika ada didalam mobil,
dan seseorang ada didekatnya. Tapi kepalanya terasa pusing dan tubuhnya lemah
tak bertenaga.
"Lastri, kamu sudah mengingat
semuanya?" tanya Timan sambil menyentuh lengan Lastri.
"Mas Timan? Bagaimana mas Timan
bisa ada disini?"
"Aku mencarimu Lastri."
"Kok bisa ?"
"Sebisa yang aku lakukan, aku
harus menemukan kamu, nanti kalau kamu sembuh, aku akan mengajakmu
pulang."
"Tidak mas, biar Lastri disini
saja," jawabnya sendu.
"Tapi Lastri, mas Bayu sedang
sakit keras dirumah sakit."
Lastri terkejut. Didalam mobil tadi
sayup ada kata-kata seperti itu, yang dianggapnya mimpi. Ternyata benar.
"Sakit apa? Bagaimana dengan
isterinya?" tanya Lastri pilu.
Timan tertawa.
"Isteri apa. Mas Bayu sakit
karena kamu."
Lastri menatap Timan tak percaya.
"Itu benar, dia sakit-sakitan
semenjak kamu pergi. Mana mau dia berpaling kepada gadis lain? Dia hanya
mencintai kamu Lastri."
Lastri terdiam. Ia merasa seperti
melayang disebuah ketinggian yang membuat kepalanya berdesing. Dengan sebelah
tangannya ia memegangi kepalanya. Kata-kata Timan sangat diluar dugaannya.
"Pusing?" tanya Mardi.
"Kepalaku seperti
berputar-putar."
"Ya sudah mas Timan, sepertinya
Lastri harus beristirahat. Apa kita tinggalkan dulu Lastri dan besok pagi kita
kembali?"
Timan mengangguk.
"Lastri, kamu harus beristirahat.
Kami pulang dulu, kamu membawa ponsel?"
Lastri menggeleng lemah. Tadi dia
tidak membawa apapun.
"Ya sudah, besok aku
kembali."
*
Padahal hari sudah menjelang pagi.
Tapi Mardi menganjurkan Timan agar tidur barang sejenak, supaya ketika
terbangun merasa lebih segar. Timan kembali kerumah Lastri, ia menolak ketika
lurah Mardi menawarkan agar menginap dirumahnya.
Ketika sampai dirumah, dilihatnya mbah
Kliwon masih menunggu, berbaring di tikar yang sejak sore digelarnya, tapi
matanya tak bisa terpejam.
"Pak, kok masih terjaga?"
tanya Timan karena ketika membuka pintu dilihatnya mbah Kliwon masih terjaga.
"Nggak bisa tidur nak, bagaimana
keadaan Lastri?"
"Harus opname pak, tapi tadi
sudah sadar dan bisa bicara agak banyak."
"Oh, syukurlah. Rupanya tadi dia
kemakam nenek dan orang tuanya."
"Sekarang tidurlah mbah, saya
juga mau berbaring sebentar," kata Timan yang segera membaringkan tubuhnya
dikursi bambu. Ia merasa sangat lelah, lahir batin. Tapi merasa sedikit lega
karena sudah bisa bertemu Lastri. Dipejamkannya matanya, agar segera terlelap.
Tapi mbah Kliwon pergi kearah dapur,
menjerang air untuk membuat minuman hangat. Ada ketela rambat yang belum sempat dimasak Lastri, ia juga
segera merebusnya.
Kemudian sambil menunggu iapun ikut
berbaring di tikar. Perasaan lega membuat kantuknya tiba-tiba menyerang.
Sementara suara-suara para menyetor sayur dan buah sepertinya sudah
berdatangan. mBah Kliwon urung mengikuti rasa kantuknya. Ia melipat tikar dan
menunggu air yang dimasaknya mendidih, membuat wedang buat Timan, baru keluar
menemui para penyetor sayur.
*
Bayu masih dirawat di ICU. Bu Marsudi
tak ingin pulang, ia harus selalu menunggui anaknya dan mendengar tentang
perkembangan kesehatannya. Pak Marsudi membawakan tikar, agar bu Marsudi dan
dirinya bisa beristirahat.
Pagi masih buta ketika bu Marsudi membuka
matanya. Ponsel milik Bayu mati karena seharian tidak di cas.
"Jangan-jangan nak Timan menelpon
dan mengabari tentang Lastri," gumam bu Marsudi.
Pak Marsudi yang berbaring
disampingnya mengambil ponsel itu, lalu bangkit mencari colokan agar bisa menghidupkan
ponselnya.
Bu Marsudi memasuki ruang ICU. pasokan
darah rupanya sudah dihentikan. Kata perawat yang menjaga, hb nya sudah normal.
Tapi tekanan darahnya masih ngedrop. Tapi mereka sedikit lega karena dokter
mengatakan bahwa masa kritisnya sudah lewat.
Bu Marsudi mendekati ranjang anaknya.
Mata Bayu masih terpejam, wajahnya juga masih tampak pucat. Bu Marsudi mengelus
kepala Bayu lembut.
"Bayu, bangunlah nak, jangan
membuat ibu sedih.." katanya disertai isak.
Ia terus mengelus kepala Bayu.
"Nak Timan sedang menjemput
Lastri, cepat sembuh ya nak."
Tiba-tiba pak Marsudi menguakkan pintu
ICU. Bu Marsudi menoleh ketika pak Marsudi memanggilnya pelan. Dilihatnya
suaminya melambaikan tangan. Bu Marsudi keluar dari ruang ICU itu.
"Ada apa?"
"Tampaknya semalam nak Timan
menghubungi kita."
"Oh ya, bapak menelpon dia?"
"Belum, ibu saja."
Bu Marsudi memutar nomor Timan. Agak
lama baru terdengar jawaban.
"Hallo," terdengar suara
berat dari seberang, rupanya Timan masih mengantuk.
"Nak Timan?"
Timan baru sadar kalau bu Marsudi
menelponnya. Ia duduk dan mengucek kedua matanya.
"Maaf bu, baru bangun."
"Nak Timan ada dimana?"
"Masih didusunnya Lastri bu,
semalam Timan menelpon ibu tapi tidak tersambung."
"Ponselnya mati, baru pagi ini
bisa membukanya. Ada berita apa?"
"Saya sudah bertemu Lastri
bu."
"Ya Tuhan, segera ajak dia kemari
nak, kasihan Bayu."
"Pasti bu, tapi sa'at ini dia
juga sedang dirawat."
"Maksud nak Timan di rumah
sakit?"
"Iya bu, semalam tiba-tiba
pingsan."
"Bagaimana keadaannya?"
"Sudah mendapat perawatan dan
sudah sadar."
"Syukurlah nak."
"Bagaimana mas Bayu ?"
"Tranfusi darah sudah dihentikan.
HB nya sudah normal. Tapi tekanan darahnya masih rendah."
"Sudah sadar?"
"Belum nak, sedih ibu ini."
"Tenanglah bu, sabar, nanti
Lastri akan segera saya bawa kemari, begitu dokter mengijinkan dia pulang. Tadi
malam itu dia hanya dehidrasi. Seharian dikuburan neneknya, belum makan dan
minum apapun sejak pagi, sementara udara lumayan panas."
"Oh, saya lega mendengarnya nak,
segera bawa dia kemari."
Bu Marsudi menutup ponsel itu karena
pak Marsudi harus kembali mengecasnya.
"Bagaimana Lastri?"
"Nak Timan sudah ketemu Lastri,
tapi Lastri sedang dirawat di rumah sakit juga."
"Sakit apa dia?"
"Kemarin tiba-tiba pingsan, tapi
tadi malam sudah sadar. Nak Timan berjanji akan segera membawa Lastri
kemari."
"Syukurlah, semoga kedatangan
Lastri akan membawa kesembuhan bagi Bayu."
*
Timan sedang menikmati wedang jahe
buatan mbah Kliwon, dan mengupas sepotong ketela rambat yang masih hangat,
ketika tiba-tiba terdengar mobil mendekat.
Diluar terdengar ramai para petani
sayur membawa keranjang dagangannya, yang diterima mbah Kliwon dan pembantunya.
Beberapa yang sudah selesai dicatat kemudian diangkatnya keatas pick up kuning
telur yang sudah menunggu. Jam enam pagi semuanya sudah berangkat. Sepi
sekelilingnya, tinggal mbah Kliwon membersihkan ruangan samping yang kotor
karena ceceran sayur.
Timan sangat takjub. Ini semua sepak
terjang Lastri.
Ketika jam menunjukkan pukul delapan
pagi, pak lurah Mardi menelponnya.
"Mas Timan mau kerumah sakit jam
berapa?"
"Kalau bisa secepatnya, pak
lurah."
"Kalau begitu bisakah mas Timan
datang kemari terlebih dulu? Nanti kita kerumah sakit bersama-sama."
"Baik pak lurah."
Mardi memasukkan sepotong ketela yang
terssisa, kemudian menghabiskan minuman yang sudah mulai dingin.
"Pak, saya mau kerumah sakit dulu
ya."
"Sama pak lurah?"
"Iya, bapak mau ikut?"
"Nggak usah nak, saya harus
bersih-bersih dulu. Semoga Lastri segera bisa dibawa pulang ya nak."
"Aamin pak, saya berangkat
dulu."
Ternyata dirumah pak lurah Timan
diminta untuk makan pagi dulu. Marni sudah menyiapkannya sejak tadi, karena dia
ingin ikut kerumah sakit.
"Kamu benar nggak apa-apa? Nanti
dijalan kamu muntah-muntah lagi," tegur pak lurah menghawatirkan isterinya.
"Aku sudah minum obatnya, sudah
baikan kok, nggak mual. Lagian aku harus ketemu Lastri. Kalau tidak nanti aku
akan terus menerus merasa khawatir. Lagian aku harus membawa beberapa bajuku
untuk ganti, bukankah semalam belum ada yang mengirimkan ganti?""
*
Lastri terjaga, ketika perawat
membangunkannya untuk membersihkan
tubuhnya.Selang infus masih mengucurkan cairan melalui tangannya.
"Tidak membawa ganti mbak?"
Lastri menggeleng. Ia bingung, tak ada
yang memikirkan ganti baju untuk
dirinya.
"Padahal baju mbak sangat kotor,
kami lupa berpesan kepada yang mengantar mbak kemarin."
"Saya ingin pulang."
"Nanti dulu mbak, bukankah
semalam masih pusing?"
"Sekarang tidak lagi.
"Nanti dokter akan memeriksa
keadaan mbak, kalau memang oke ya pastinya boleh pulang."
Tiba-tiba seseorang nyelonong masuk.
"Lastri, kamu kenapa?"
Yang datang adalah Marni. Dengan
terharu dia memeluk Lastri.
"Ma'afkan mas Mardi ya Tri?"
"Mengapa yu? Mas Mardi tidak
apa-apa."
"Pasti karena iklan itu kamu
terluka."
"Tidak yu. Aku tidak menganggap
kang Mardi bersalah, ini sudah takdir, aku menerimanya dengan ikhlas."
Marni mencium pipi Lastri, dan
mengelus kepalanya.
"Apa ibu membawa ganti untuk mbak
Lastri?"
"Oh iya, saya membawanya sus.
"
"Saya sudah menyeka tubuhnya
tinggal bajunya, biar saya menggantinya?"
"Jangan sus, biar saya
saja."
Suster itu mengangguk dan keluar.
"Yu, ini bajumu kan?"
"Iya, tak ada yang memikirkan
baju pengganti, aku lalu membawakannya," kata Marni yang kemudian
menggantikan baju Lastri. Lastri menoleh kearah pintu, khawatir ada yang
melihat tubuhnya yang terbuka.
"Tak ada siapa-siapa, aku
melarang mas Mardi dan mas Timan masuk, karena aku harus mengganti dulu baju
kamu."
"Terimakasih yu."
"Sebenarnya kamu itu
kenapa?"
"Aku nggak apa-apa, hanya pergi
ke makan simbah. Mungkin aku belum kemasukan air ataupun makanan, sementara
udara agak panas, sehingga aku pingsan."
"Aku mengira kamu kecewa karena
iklan itu. Memang mas Mardi yang salah."
"Sudah yu, jangan diulang-ulang lagi.
Tentang iklan itu bukan apa-apa. Justru karena itu aku bisa membantu kang Mardi
memajukan dusun kita. Memang jalannya harus begitu kan yu?"
Marni segera memberi isyarat pada
Mardi dan Timan agar masuk setelah Lasti berganti pakaian bersih milik Marni.
Tapi Timan mengurungkan niatnya
melangkah ke pintu, ketika ponselnya berdering. Ternyata dari bu Marsudi.
"Hallo bu, ini saya sedang mau
menemui Lastri."
"Nak Timan, cepat kemari, Bayu
kritis lagi," kata bu Marsudi sambil menangis.
*
Bersambung
&&&&&
*LASTRI
36*
Timan tertegun, langkahnya terhenti
dan kakinya terpaku dalam getar-getar ketakutan.
"Bag..gaimana bu?" tanyanya
gugup.
"Tekanan darahnya ngedrop terus,
dokter sedang menanganinya."
"Sabar bu, sabar, saya akan
segera kembali kemari. Semoga bisa membawa Lastri."
"Mana dia, bisakah aku
bicara?"
"Ya bu, tunggu..."
Timan masuk kedalam ruangan,
dilihatnya Lastri sedang bercanda dengan pak lurah dan bu lurah Marni.
"Lastri, ini telephone buat
kamu," kata Timan seraya mengulurkan ponselnya.
"Hallo," sapa Lastri.
"Lastriiii... ini kamu?" bu
Marsudi langsung menangis keras, meledak-ledak.
"Ibu, iya.. ini Lastri, bagaimana
kabar ibu?"
"Bayu kritis, segera datang
nduk... "
Gemetar tangan Lastri, ponsel itu
diulurkannya kepada Timan, dan sebelah tangannya berusaha mencabut jarum infus
yang masih menancap ditangannya. Mardi terkejut, dan menangkap tangan Lastri.
"Jangan Lastri, tunggu sebentar.
Nanti darahmu akan mengucur keluar."
"Aku mau pulang, aku harus ke
Solo, aku mau ketemu mas Bayu," katanya dengan berlinangan air mata.
Marni memanggil perawat karena Lastri
meronta-ronta ingin melepas jarum infusnya. Mardi memegangi tangan itu dengan
kencang.
Timan menjauh, karena bu Marsudi masih
belum menutup ponselnya.
"Bu, ibu sabar ya, tampaknya Lastri
ingin segera datang kemari. Bisikkan ditelinga mas Bayu bahwa Lastri dalam
perjalanan kemari."
"Baiklah nak, aku membuat Lastri
panik bukan? Aku mendengar dia menangis dan berteriak-teriak."
"Benar bu, dia langsung minta
pulang. Bu lurah sedang memanggil dokternya."
"Ya nak, segera datang dan
membawa Lastri ya," kata bu Marsudi masih dengan isaknya.
"Baik bu, bersabar dan terus
berdo'a ya bu."
Timan mundur karena dia sedang berdiri
didepan pintu, sementara dokter dan perawat masuk melalui pintu itu.
"Bagaimana, mbak Lastri?"
tanya dokter muda itu ramah.
"Dokter, lepas infusnya, saya mau
pulang," tangis Lastri. Mardi masih memegangi sebelah tangannya.
"Sudah mas, nggak apa-apa, biar
perawat melepasnya,"kata dokter yang kemudin memeriksa Lastri.
"Masih pusing?"
Lastri menggeleng.
"Masih merasakan apa? Sakit?
Mual?"
Lastri menggeleng lagi. Ia melihat
laporan tekanan darah Lastri, baik dan normal. Tak ada yang perlu
dikhawatirkan.
"Baiklah, mbak Lastri boleh
pulang sekarang."
Lastri hampir bersorak kegirangan. Ia
langsung duduk.
"Pelan-pelan ya, jangan langsung
berdiri dan berjalan, nanti pusing lagi," kata pak dokter.
Lastri turun dari ranjang, berdiri dan
diam sebentar.
"Pusing?"
Lastri menggeleng.
"Mas Timan, ayo antarkan
aku," rengek Lastri tanpa malu-malu."
"Tapi mobilku dirumah pak
lurah."
"Mas Timan bawa mobil saya saja,
biar cepat. Nanti kalau keadaan sudah tenang baru mas Timan bisa mengambil
mobilnya kembali.
"Termakasih banyak pak lurah,
Tapi pak lurah pulang naik apa?"
kata Timan sambil memegang lengan Lastri.
"Itu gampang, saya bisa menyuruh
orang menjemput kemari. Sekarang saya mau menyelesaikan administrasinya dulu.
"
"Ini kunci mobil saya pak lurah,
terimakasih banyak, saya mau pergi sekarang."
"Lastri, kamu harus mengganti
bajumu lebih dulu. Itu daster rumahan. Dan kamu nggak pake sepatu atau sendal.
Aku bawakan baju yang lebih pantas, dan sendal juga." kata Marni sambil
memberikan bungkusan baju ganti dan sendal yang dibawanya dari rumah.
"Iya, berganti pakaian dulu
sebentar, supaya lebih pantas. Masa mau ketemu pacar penampilan jelek seperti
itu." sambung Timan menggoda.
Lastri menurut, berganti pakaian milik
Marni yang dibawakannya, dan mengenakan sendal yang kebetulan pas dikakinya.
"Terimakasih yu, Lastri memeluk
Marni setelah berganti pakaian, dan menarik tangan Timan agar segera berangkat.
*
Timan membawa Lastri pulang ke rumah
keluarga pak Marsudi. Sepanjang jalan Lastri tersedu, dia tak mengira Bayu
memikirkannya sampai sekarang. Lastri merasa berdosa mengira Bayu sudah mendapatkan
gadis lain.
"Masih pusing?" tanya Timan
yang masih merasa khawatir.
"Nggak mas, aku sangat sehat. Aku
hanya ingin segera sampai."
"Sabar ya..."
"Bagaimana kalau terjadi apa-apa
atas mas Bayu? "
"Jangan berfikiran buruk Lastri,
berdo'a demi kesembuhannya ya?"
"Apa yang terjadi dengan mas Bayu
setelah aku pergi ?"
"Dia seperti orang bingung.
Setiap kali sedang sedih dia pasti datang kerumah. Suatu ketika pak Marsudi
ingin mengenalkannya dengan salah seorang anak temannya, gadis itu cantik, tapi mas Bayu menolak mentah-mentah. Sekarang
gadis itu menjadi pacarnya mas Sapto."
"Kasihan mas Bayu, aku merasa
bersalah."
"Kamu tidak bersalah Lastri. Kamu
pergi karena menghindari kemarahan pak Marsudi."
Banyak cerita Timan tentang Bayu, yang
semuanya membuat hatinya teriris pedih.Serasa ingin terbang agar segera bisa
menemui kekasih hatinya.
*
"Sudah bu, jangan menangis lagi, sabar,
dokter sudah menanganinya, Bayu pasti akan tertolong." kata pak Marsudi
yang berusaha menenangkan hati isterinya.
"Mengapa Lastri belum datang
juga?"
"Mestinya sedang dalam
perjalanan, sabarlah bu."
"Bapak harus berjanji, nanti
kalau Lastri datang bapak harus bersikap manis pada Lastri."
"Iya, aku janji."
"Bukankah bapak akan mengambil
Lastri sebagai menantu?"
"Iya, aku janji."
Bu Marsudi berdiri dan masuk kedalam
ruang ICU. Dilihatnya Bayu masih terbaring lunglai. Beberapa alat terpasang
ditubuhnya. Seorang perawat menunggui dan terus melihat perkembangannya.
"Bagaimana anak saya,
suster?"
"Sudah lebih tenang bu," jawab
perawat sambil menepuk-nepuk tangan bu Marsudi.
Bu Marsudi mendekat. Digenggamnya
tangan Bayu erat-erat, kemudian dibisikkannya sesuatu ditelinga Bayu.
"Bayu, anakku, kamu harus sembuh.
Lastri akan segera datang," itu kata-kata yang selalu dibisikkannya
ketelinga Bayu setiap sa'at.
"Ma'af bu, mohon ibu keluar dulu,
saya akan mengganti infusnya dan menyuntikkan obat kedalamnya. Diharapkan ini
adalah obat terakhir yang bisa menolongnya."
Bu Marsudi keluar sambil mengusap air
matanya. Hatinya bergetar mendengar kata-kata suster itu. Obat terakhir? Jadi
kalau itu tak menolong maka anaknya akan mati?
"Sudah bu, sabar dan tenangkan
hati ibu. Duduklah saja disini," kata pak Marsudi.
Sepasang orang tua yang penuh duka itu
duduk dikursi tunggu, bersandar seakan
tanpa daya. Mulutnya berkomat-kamit melantunkan do'a.
Tiba-tiba terdengar langkah-langkah
kaki, setengah berlari, mengejutkan keduanya. Seorang gadis dengan rambut
digelung , dan wajah pucat menghampiri mereka.
"Lastri!!" teriak bu
Marsudi.
Lastri bersimpuh dihadapan kedua orang
tua Bayu, menciumi tangan mereka satu persatu sambil air matanya bercucuran.
"Kemana saja kamu nduk?"
tanya bu Marsudi sambil memeluk Lastri.
"Aku bersalah sama kamu Lastri,
ma'afkan aku ya," kata pak Marsudi penuh penyesalan.
"Nggak apa-apa pak, Lastri sudah
melupakannya. Mana mas Bayu? Mana mas Bayu?" isaknya sambil melepaskan
pelukan bu Marsudi.
"Dia ada didalam, masuklah dan
katakan bahwa kamu telah datang."
Lastri berdiri dan berjalan memasuki
ruang ICU.
Bu Marsudi tampak sedikit lega. Ada
sejuta harapan dengan datangnya Lastri. Semoga ada keajaiban, karena bukankah
derita yang disandang Bayu adalah karena kehilangan Lastri."
"Selamat siang bu, pak,"
Timan muncul tak lama kemudian.
"Oh, jadi Lastri sama nak Timan?
Aku sampai lupa menanyakannya tadi."
"Iya bu, bukankah saya telah
berjanji? Mana Lastri?"
"Sudah masuk keruang ICU."
Tapi tiba-tiba Lastri keluar sambil
menangis. Hampir copot jantung bu Marsudi melihatnya.
"Ada apa Tri? Bayu kenapa?"
"Mana mas Bayu, saya tidak
menemukan mas Bayu." tangisnya.
"Dia ada diruang 3. Bukankah ada
suster yang menjaganya? "
"Tidak ada bu, mana dia?"
Bu Marsudi berdiri lalu menggandeng
Lastri masuk kembali. Disebuah ruang bu Marsudi berhenti.
"Itu Bayu.."
Lastri tercengang. Laki-laki brewok
berambut gondrong itu Bayu?
Lastri mendekat, mengawasi dengan
seksama.
"Ya Tuhan, benar dia, bibir itu,
hidung itu, mata itu, milik mas Bayu," kata batinnya yang kemudian
menubruknya dan menangis sesenggukan.
"Mas Bayu.. mas Bayu.. bangun
mas, aku Lastri.. aku Lastri sudah datang untuk mas Bayu.. bangun mas.. jangan
begini. Kalau kamu mati aku juga akan mati bersama kamu mas.."
Bu Marsudi tak bisa menahan air
matanya. Ia meninggalkan Lastri dan membiarkannya melampiaskan kerinduan
diantara keduanya. Apakah Bayu bisa merasakannya?
"Dengar mas, aku juga menderita
tanpa mas Bayu, aku menangis setiap hari mas. Mengapa kamu begini? Bukankah
banyak gadis cantik ada disekelilingmu? Aku hanya gadis desa, tak punya pangkat
dan derajat, mengapa bisa membuatmu begini?” Lastri meratap.
“Bangun mas, jangan begini.. jangan
biarkan aku terus menangisimu mas... banguun.."
Lastri terus menciumi tangan Bayu,
keningnya, lalu terus menerus membisikkan kata-kata penuh rindu yang keluar
dari bibirnya.
"Lihat aku mas, aku kemari tanpa
membawa apapun demi kamu. Selembar pakaian yang aku bawa adalah pakaian yu
Marni, isteri lurah desa, yang juga sahabatku. Sendal yang aku pakai juga milik
yu Marni. Aku ingin segera melihat kamu mas, ketemu kamu dan memeluk kamu.
Bangun maaas.. kasihanilah aku.. Aku
akan terus mengabdi dan melayani kamu, aku akan selalu ada disamping kamu mas.
Aku Lastri, tidakkah mas Bayu mengenali suaraku.
Maaas, buka matamu dan pandang aku,
berikan senyum kamu yang selalu membuat hatiku bergetar, yang kemudian
menumbuhkan cinta yang terpendam. Bangun mas.. jangan pergi.. kalau kamu pergi
aku harus ikut bersamamu. Biarlah kita mati bersama mas."
Lastri masih meremas telapak tangan
Bayu, air matanya terus mengucur. Sesekali ditempelkannya tangan itu dipipinya.
Tiba-tiba Lastri seperti merasakan sesuatu.
Jari yang digenggamnya seperti bergerak pelan. Lastri melepaskan genggamannya
dan mengamati jari-jarinya.
Itu benar, jari tangan itu
bergerak-gerak.
"Dokteeeer," Lastri
berteriak.
Seorang perawat datang. Lastri tak
bisa mengucap apapun, ia menunjuk kearah jari tangan Bayu yang terkadang
bergerak-gerak.
Perawat lari memanggil dokter. Lastri
mundur ketika dokter itu datang. Bajunya basah oleh air mata yang membasahinya.
Dokter yang datang segera memeriksa
keadaan Bayu. Lalu entah apa lagi yang dilakukannya, Lastri tak henti-hentinya
berdo'a.
Tiba-tiba dokter menoleh kearahnya
sambil tersenyum.
"Dia akan sadar, dan sembuh.
Tekanan darahnya mendekati normal."
Entah karena obat pamungkas yang
disuntikkan beberapa sa'at lalu, atau karena kedatangan Lastrilah maka keadaan
Bayu jadi membaik. Wallahualam.
Kenyataannya hal membahagiakan itulah yang kemudian didengar oleh
telinga Lastri.
Lastri ingin bersorak, tapi justru air
matanya yang mengucur lagi. Tak sadar dipeluknya dokter muda itu. Lalu kemudian
dia tersipu ketika menyadari sikapnya.
"Ma'af.. aku.. saya.. minta
ma'af." kata Lastri tersipu.
"Ibu isterinya?"
Lastri bingung menjawabnya, tapi dia
menggeleng malu.
"Calon, barangkali." kata
dokter sambil tersenyum, kemudian beranjak pergi, sambil memberi instruksi
kepada perawat yang menjaganya.
Lastri kembali mendekati Bayu. Mata
itu masih terpejam, tapi wajahnya tak sepucat tadi. Lastri terus menggenggam
tangannya, terkadang meremasnya.
Timan yang kemudian ikut masuk,
melihat Lastri tidak lagi menangis. Melihat Timan, Lastri melambaikan
tangannya.
"Mas Bayu membaik mas, tadi
tangannya sudah bergerak-gerak," kata Lastri sambil tersenyum.
"Alhamdulillah. Itu berkat kamu
Tri. Dia sungguh-sungguh membutuhkan kamu."
Lastri tersenyum. Ia duduk disebuah
kursi yang ada disitu, sambil tangannya tetap menggenggam tangan Bayu.
"Ya sudah, aku akan mengabarkan
keadaan ini kepada bapak dan ibu Marsudi." katanya setelah melihat keadaan
Bayu.
*
Lastri meletakkan kepalanya pada
pinggiran kasur, sambil tangannya terus memegangi tangan Bayu. Ia merasa sangat
letih. Semalam dia juga tak bisa tidur, dan hari ini situasi sangat membuat
jiwanya lelah. Tak terasa kantuk menyerangnya dan dia tertidur.
Bu Marsudi dan pak Marsudi yang
menjenguk kedalam, kemudian tersenyum lalu meninggalkannya. Tentu saja mereka
sudah bisa tersenyum, karena Timan sudah mengatakan kalau keadaan Bayu membaik.
Mereka tetap menunggu diluar.
Lastri terlelap, dan bermimpi sedang
berlarian disebuah taman bunga bersama Bayu. Lastri bersembunyi dibalik
serumpun bunga, dan Bayu tak berhasil menemukannya.
"Lastri.... Lastri..."
panggil Bayu. Tapi Lastri tak menjawab, ia sedang menggoda Bayu agar bingung
mencarinya.
"Lastri... " tapi kemudian
Lastri terkejut. Seseorang memegang kepalanya. Lastri membuka matanya. Mimpi
itu telah berakhir.
*
Bersambung …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar