Rabu, 29 April 2020

LASTRI (35-36)


*LASTRI 35*

Pak lurah lari kearah kelurahan, diikuti oleh peronda yang kebetulan sudah pada datang. Diteras kantor kelurahan, sesosok tubuh terbaring disebuah bangku panjang, diam. Beberapa orang mengelilinginya, dan seorang ibu sedang menggosokkan minyak hangat ke tubuhnya.

"Lastri ?" pekik pak lurah Mardi.
"Iya pak lurah, ini Lastri." kata ibu-ibu yang menggosokkan minyak ketubuh Lastri.
“Segera bawa dia kerumah sakit. Aku ambil mobilku dulu.”

Paklurah Mardi bergegas pulang, Sambil berjalan dia menelpon Timan, mengatakan keadaan Lastri.

"Pak... pak, Lastri sudah ketemu," katanya kepada mbah Kliwon yang sudah setengah tidur.
Mbah Kliwon bangun dan segera duduk.

"Mana dia?"
"Ayo cepat, kita ke kelurahan. Pak lurah akan membawanya kerumah sakit."
"Memangnya dia kenapa?" tanya mbah Kliwon sambil mengikuti Timan naik ke mobilnya.

"Ditemukan pingsan dikuburan," kata Timan yang memacu mobilnya.
"Berarti tadi itu dia kemakan neneknya dan ayah ibunya. Tapi mengapa sampai pingsan?"
"Kita lihat saja nanti."

Ketika sampai di kelurahan, seseorang sedang mengusung Lastri ke mobil pak lurah. Timan melompat turun dan mendekat.

"Lastri," bisiknya trenyuh. Tubuh itu masih diam tak bergerak.
"Ayo naik mas, pakai mobil saya saja," kata pak lurah Mardi sambil duduk dibelakang kemudi.

Lastri dibaringkan di jok belakang. Timan menemaninya, duduk agak miring karena jok panjang itu hampir penuh oleh tubuh Lastri. Dipandanginya wajah pucat itu dengan perasaan haru yang meng aduk-aduk hatinya. Perempuan luar biasa ini sedang terbaring tak berdaya. Apa yang membuatnya jadi begini?

Timan mengelus kepala Lastri.
"Lastri, Lastri.. sadarlah Lastri," bisiknya berkali-kali, sambil menggosok gosok kedua telapak tangan Lastri.

Tubuh itu sudah tak sedingin tadi,
"Lastri... sadarlah, mas Bayu menunggu kamu.. Lastri..,"

Tiba-tiba Lastri membuka matanya.
"Lastri. Alhamdulillah, kamu sudah sadar Lastri."

"Aku... kenapa?"
"Lastri, kami sedang membawa kamu ke rumah sakit, kamu tadi ditemukan warga dalam keadaan tak sadar ditepi kuburan."

"Mas Bayu ?"
Timan tersenyum.
"Ada yang menyebut nama mas Bayu," bisiknya lirih.

"Mas Bayu sedang sakit dirumah sakit. Kamu harus kuat dan segera menemui mas Bayu."

Lastri memejamkan matanya. Keadaan didalam mobil agak gelap, dia tak bisa melihat siapa yang ada didekatnya. Kepala Lastri terasa pusing. Mungkin dia juga tak mendengar kata-kata Timan tentang Bayu.

Tapi Mardi dan Timan merasa lega karena Lastri telah sadar.   Sesampai dirumah sakit Lastri langsung dibawa ke UGD.  Harap-harap cemas Timan dan Mardi menunggu hasil pemeriksaan dokter. Timan ingin mengabarkan keadaan Lastri ke bu Marsudi, tapi hari sudah jam 10 malam.

Semula ia ragu-ragu, tapi mengingat pentingnya berita ini, maka Timan nekat menelponnya.
Tapi panggilan itu tidak tersambung, tampaknya ponselnya mati. Mungkinkan bu Marsudi tertidur? Atau jangan-jangan ada sesuatu dengan Bayu? Timan merasa tidak tenang.

Mardi yang mendampingi Timan menepuk bahunya untuk menenangkannya.
"Sabar mas.." kata Mardi pelan.

Ketika pemeriksaan selesai, diagnose dokter mengatakan bahwa Lastri dehidrasi. Ia mendapat infus, dan diharapkan menginap untuk pemeriksaan lebih cermat. Tak lama setelah itu Lastri dipindahkan kekamar. Hari menjelang pagi waktu itu.

Mardi dan Timan mendekat keranjang Lastri.  Mereka lega karena Lastri sudah tersadar. Tapi masih tampak bingung. Ia memandangi Mardi dan Timan berganti-ganti.
"Lastri," sapa Timan sambil tersenyum.

Seperti mimpi Lastri melihat Timan didekatnya.
"Kamu ingat ini siapa Tri?" tanya Mardi.

"Apakah aku bermimpi?"
"Kamu tidak bermimpi, ayo katakan dia ini siapa.."
"Mas Timan?"

Timan tersenyum.
"Iya, aku Timan."

"Bagaimana ini, aku bingung.."
"Kamu ditemukan warga pingsan ditepi kuburan. Apa yang kamu lakukan Lastri?"

Lastri termenung, dia pingsan ditepi kuburan.  Ya benar, Lastri tadi menziarahi makam nenek dan kedua orang tuanya. Ia merasa risau. Antara bunyi iklan itu dan keadaan Bayu yang tidak diketahuinya.

Ia ingin bertemu Bayu, tapi apakah yang akan dilakukannya itu benar? Bagaimana kalau ketika dia kembali lalu ternyata Bayu sudah ada pendampingnya? Sebenarnya tidak apa-apa, Lastri ingin Bayu bahagia, namun Lastri tak ingin melihatnya. Ia akan terluka.

Siang itu dari puskesmas tempat Marni memeriksakan keadaannya, Lastri langsung pergi ke makam nenek dan kedua orang tuanya. Ia menangis sepuasnya disana.

"Simbah, apa yang harus Lastri lakukan? Lastri tergoda oleh bunyi iklan setahun lalu, tapi Lastri takut kalau nanti ternyata keadaan akan lebih menyakiti Lastri.," keluhnya sambil terisak.
"Tapi Lastri merindukan dia mbah, tak bisa ingkar, Lastri selalu mencintai dia."

Lastri merangkul batu besar bertuliskan nama neneknya. Ketika ia memunyai sedikit uang, ia membuat makam nenek dan kedua orang tuanya menjadi lebih rapi. Sekeliling makan itu dipagari semen yang berbentuk kotak-kotak. Ia meninggikan tanahnya, dan meletakkan batu-batu besar bertuliskan nama mereka, sehingga Lastri tak usah susah mencari letaknya.

"Nenek, katakan apa yang harus Lastri lakukan."

Lastri duduk disana sambil menumpahkan semua isi hatinya. Walau nisan yang bisu tak memberi jawaban, tapi hati Lastri merasa lebih tenang. Ia merasa tak ada tempat mengadu kecuali ditempat itu.

Hari sudah sore, dan remang senja mulai menyelimuti alam sekitar Lastri berdiri dan ingin beranjak pulang.  Tapi tubuhnya terasa lemas. Ia lupa makan sejak pagi, apalagi minum, sementara panas terik menyengat tubuhnya tanpa dirasa sejak siang. 

Namun ia terus melangkah. Tertatih langkahnya, Tak seorangpun ada diarea pemakaman itu, ia terus melangkah, sementara tubuhnya semakin lemah. Pada suatu ketika, hampir keluar dari area itu, Lastri roboh, dan tak ingat sesuatupun.

Lastri sadar ketika ada didalam mobil, dan seseorang ada didekatnya. Tapi kepalanya terasa pusing dan tubuhnya lemah tak bertenaga.

"Lastri, kamu sudah mengingat semuanya?" tanya Timan sambil menyentuh lengan Lastri.
"Mas Timan? Bagaimana mas Timan bisa ada disini?"

"Aku mencarimu Lastri."
"Kok bisa ?"

"Sebisa yang aku lakukan, aku harus menemukan kamu, nanti kalau kamu sembuh, aku akan mengajakmu pulang."
"Tidak mas, biar Lastri disini saja," jawabnya sendu.

"Tapi Lastri, mas Bayu sedang sakit keras dirumah sakit."

Lastri terkejut. Didalam mobil tadi sayup ada kata-kata seperti itu, yang dianggapnya mimpi. Ternyata benar.

"Sakit apa? Bagaimana dengan isterinya?" tanya Lastri pilu.
Timan tertawa.

"Isteri apa. Mas Bayu sakit karena kamu."
Lastri menatap Timan tak percaya.

"Itu benar, dia sakit-sakitan semenjak kamu pergi. Mana mau dia berpaling kepada gadis lain? Dia hanya mencintai kamu Lastri."

Lastri terdiam. Ia merasa seperti melayang disebuah ketinggian yang membuat kepalanya berdesing. Dengan sebelah tangannya ia memegangi kepalanya. Kata-kata Timan sangat diluar dugaannya.

"Pusing?" tanya Mardi.
"Kepalaku seperti berputar-putar."
"Ya sudah mas Timan, sepertinya Lastri harus beristirahat. Apa kita tinggalkan dulu Lastri dan besok pagi kita kembali?"
Timan mengangguk.

"Lastri, kamu harus beristirahat. Kami pulang dulu, kamu membawa ponsel?"
Lastri menggeleng lemah. Tadi dia tidak membawa apapun.

"Ya sudah, besok aku kembali."
*

Padahal hari sudah menjelang pagi. Tapi Mardi menganjurkan Timan agar tidur barang sejenak, supaya ketika terbangun merasa lebih segar. Timan kembali kerumah Lastri, ia menolak ketika lurah Mardi menawarkan agar menginap dirumahnya.

Ketika sampai dirumah, dilihatnya mbah Kliwon masih menunggu, berbaring di tikar yang sejak sore digelarnya, tapi matanya tak bisa terpejam.

"Pak, kok masih terjaga?" tanya Timan karena ketika membuka pintu dilihatnya mbah Kliwon masih terjaga.

"Nggak bisa tidur nak, bagaimana keadaan Lastri?"
"Harus opname pak, tapi tadi sudah sadar dan bisa bicara agak banyak."
"Oh, syukurlah. Rupanya tadi dia kemakam nenek dan orang tuanya."

"Sekarang tidurlah mbah, saya juga mau berbaring sebentar," kata Timan yang segera membaringkan tubuhnya dikursi bambu. Ia merasa sangat lelah, lahir batin. Tapi merasa sedikit lega karena sudah bisa bertemu Lastri. Dipejamkannya matanya, agar segera terlelap.

Tapi mbah Kliwon pergi kearah dapur, menjerang air untuk membuat minuman hangat. Ada ketela rambat  yang belum sempat dimasak Lastri, ia juga segera merebusnya.

Kemudian sambil menunggu iapun ikut berbaring di tikar. Perasaan lega membuat kantuknya tiba-tiba menyerang. Sementara suara-suara para menyetor sayur dan buah sepertinya sudah berdatangan. mBah Kliwon urung mengikuti rasa kantuknya. Ia melipat tikar dan menunggu air yang dimasaknya mendidih, membuat wedang buat Timan, baru keluar menemui para penyetor sayur.
*

Bayu masih dirawat di ICU. Bu Marsudi tak ingin pulang, ia harus selalu menunggui anaknya dan mendengar tentang perkembangan kesehatannya. Pak Marsudi membawakan tikar, agar bu Marsudi dan dirinya  bisa beristirahat.

Pagi masih buta ketika bu Marsudi membuka matanya. Ponsel milik Bayu mati karena seharian tidak di cas.

"Jangan-jangan nak Timan menelpon dan mengabari tentang Lastri," gumam bu Marsudi.
Pak Marsudi yang berbaring disampingnya mengambil ponsel itu, lalu bangkit mencari colokan agar bisa menghidupkan ponselnya.

Bu Marsudi memasuki ruang ICU. pasokan darah rupanya sudah dihentikan. Kata perawat yang menjaga, hb nya sudah normal. Tapi tekanan darahnya masih ngedrop. Tapi mereka sedikit lega karena dokter mengatakan bahwa masa kritisnya sudah lewat.

Bu Marsudi mendekati ranjang anaknya. Mata Bayu masih terpejam, wajahnya juga masih tampak pucat. Bu Marsudi mengelus kepala Bayu lembut.

"Bayu, bangunlah nak, jangan membuat ibu sedih.." katanya disertai isak.
Ia terus mengelus kepala Bayu.
"Nak Timan sedang menjemput Lastri,  cepat sembuh ya nak."

Tiba-tiba pak Marsudi menguakkan pintu ICU. Bu Marsudi menoleh ketika pak Marsudi memanggilnya pelan. Dilihatnya suaminya melambaikan tangan. Bu Marsudi keluar dari ruang ICU itu.

"Ada apa?"
"Tampaknya semalam nak Timan menghubungi kita."

"Oh ya, bapak menelpon dia?"
"Belum, ibu saja."

Bu Marsudi memutar nomor Timan. Agak lama baru terdengar jawaban.
"Hallo," terdengar suara berat dari seberang, rupanya Timan masih mengantuk.
"Nak Timan?"


Timan baru sadar kalau bu Marsudi menelponnya. Ia duduk dan mengucek kedua matanya.
"Maaf bu, baru bangun."
"Nak Timan ada dimana?"

"Masih didusunnya Lastri bu, semalam Timan menelpon ibu tapi tidak tersambung."
"Ponselnya mati, baru pagi ini bisa membukanya. Ada berita apa?"
"Saya sudah bertemu Lastri bu."

"Ya Tuhan, segera ajak dia kemari nak, kasihan Bayu."
"Pasti bu, tapi sa'at ini dia juga sedang dirawat."
"Maksud nak Timan di rumah sakit?"
"Iya bu, semalam tiba-tiba pingsan."

"Bagaimana keadaannya?"
"Sudah mendapat perawatan dan sudah sadar."
"Syukurlah nak."

"Bagaimana mas Bayu ?"
"Tranfusi darah sudah dihentikan. HB nya sudah normal. Tapi tekanan darahnya masih rendah."

"Sudah sadar?"
"Belum nak, sedih ibu ini."
"Tenanglah bu, sabar, nanti Lastri akan segera saya bawa kemari, begitu dokter mengijinkan dia pulang. Tadi malam itu dia hanya dehidrasi. Seharian dikuburan neneknya, belum makan dan minum apapun sejak pagi, sementara udara lumayan panas."

"Oh, saya lega mendengarnya nak, segera bawa dia kemari."
Bu Marsudi menutup ponsel itu karena pak Marsudi harus kembali mengecasnya.

"Bagaimana Lastri?"
"Nak Timan sudah ketemu Lastri, tapi Lastri sedang dirawat di rumah sakit juga."

"Sakit apa dia?"
"Kemarin tiba-tiba pingsan, tapi tadi malam sudah sadar. Nak Timan berjanji akan segera membawa Lastri kemari."
"Syukurlah, semoga kedatangan Lastri akan membawa kesembuhan bagi Bayu."
*

Timan sedang menikmati wedang jahe buatan mbah Kliwon, dan mengupas sepotong ketela rambat yang masih hangat, ketika tiba-tiba terdengar mobil mendekat.

Diluar terdengar ramai para petani sayur membawa keranjang dagangannya, yang diterima mbah Kliwon dan pembantunya. Beberapa yang sudah selesai dicatat kemudian diangkatnya keatas pick up kuning telur yang sudah menunggu. Jam enam pagi semuanya sudah berangkat. Sepi sekelilingnya, tinggal mbah Kliwon membersihkan ruangan samping yang kotor karena ceceran sayur.
Timan sangat takjub. Ini semua sepak terjang Lastri.

Ketika jam menunjukkan pukul delapan pagi, pak lurah Mardi menelponnya.
"Mas Timan mau kerumah sakit jam berapa?"
"Kalau bisa secepatnya, pak lurah."
"Kalau begitu bisakah mas Timan datang kemari terlebih dulu? Nanti kita kerumah sakit bersama-sama."
"Baik pak lurah."

Mardi memasukkan sepotong ketela yang terssisa, kemudian menghabiskan minuman yang sudah mulai dingin.
"Pak, saya mau kerumah sakit dulu ya."
"Sama pak lurah?"
"Iya, bapak mau ikut?"
"Nggak usah nak, saya harus bersih-bersih dulu. Semoga Lastri segera bisa dibawa pulang ya nak."
"Aamin pak, saya berangkat dulu."

Ternyata dirumah pak lurah Timan diminta untuk makan pagi dulu. Marni sudah menyiapkannya sejak tadi, karena dia ingin ikut kerumah sakit.
"Kamu benar nggak apa-apa? Nanti dijalan kamu muntah-muntah lagi," tegur pak lurah menghawatirkan isterinya.

"Aku sudah minum obatnya, sudah baikan kok, nggak mual. Lagian aku harus ketemu Lastri. Kalau tidak nanti aku akan terus menerus merasa khawatir. Lagian aku harus membawa beberapa bajuku untuk ganti, bukankah semalam belum ada yang mengirimkan ganti?""
*

Lastri terjaga, ketika perawat membangunkannya  untuk membersihkan tubuhnya.Selang infus masih mengucurkan cairan melalui tangannya.

"Tidak membawa ganti mbak?"
Lastri menggeleng. Ia bingung, tak ada yang memikirkan ganti  baju untuk dirinya.
"Padahal baju mbak sangat kotor, kami lupa berpesan kepada yang mengantar mbak kemarin."

"Saya ingin pulang."
"Nanti dulu mbak, bukankah semalam masih pusing?"
"Sekarang tidak lagi.
"Nanti dokter akan memeriksa keadaan mbak, kalau memang oke ya pastinya boleh pulang."

Tiba-tiba seseorang nyelonong masuk.
"Lastri, kamu kenapa?"
Yang datang adalah Marni. Dengan terharu dia memeluk Lastri.

"Ma'afkan mas Mardi ya Tri?"
"Mengapa yu? Mas Mardi tidak apa-apa."
"Pasti karena iklan itu kamu terluka."
"Tidak yu. Aku tidak menganggap kang Mardi bersalah, ini sudah takdir, aku menerimanya dengan ikhlas."
Marni mencium pipi Lastri, dan mengelus kepalanya.

"Apa ibu membawa ganti untuk mbak Lastri?"
"Oh iya, saya membawanya sus. "
"Saya sudah menyeka tubuhnya tinggal bajunya, biar saya menggantinya?"
"Jangan sus, biar saya saja."
Suster itu mengangguk dan keluar.

"Yu, ini bajumu kan?"
"Iya, tak ada yang memikirkan baju pengganti, aku lalu membawakannya," kata Marni yang kemudian menggantikan baju Lastri. Lastri menoleh kearah pintu, khawatir ada yang melihat tubuhnya yang terbuka.

"Tak ada siapa-siapa, aku melarang mas Mardi dan mas Timan masuk, karena aku harus mengganti dulu baju kamu."
"Terimakasih yu."

"Sebenarnya kamu itu kenapa?"
"Aku nggak apa-apa, hanya pergi ke makan simbah. Mungkin aku belum kemasukan air ataupun makanan, sementara udara agak panas, sehingga aku pingsan."

"Aku mengira kamu kecewa karena iklan itu. Memang mas Mardi yang salah."
"Sudah yu, jangan diulang-ulang lagi. Tentang iklan itu bukan apa-apa. Justru karena itu aku bisa membantu kang Mardi memajukan dusun kita. Memang jalannya harus begitu kan yu?"
Marni segera memberi isyarat pada Mardi dan Timan agar masuk setelah Lasti berganti pakaian bersih milik Marni.

Tapi Timan mengurungkan niatnya melangkah ke pintu, ketika ponselnya berdering. Ternyata dari bu Marsudi.
"Hallo bu, ini saya sedang mau menemui Lastri."
"Nak Timan, cepat kemari, Bayu kritis lagi," kata bu Marsudi sambil menangis.
*

Bersambung

&&&&&

*LASTRI 36*

Timan tertegun, langkahnya terhenti dan kakinya terpaku dalam getar-getar ketakutan.

"Bag..gaimana bu?" tanyanya gugup.
"Tekanan darahnya ngedrop terus, dokter sedang menanganinya."

"Sabar bu, sabar, saya akan segera kembali kemari. Semoga bisa membawa Lastri."
"Mana dia, bisakah aku bicara?"
"Ya bu, tunggu..."

Timan masuk kedalam ruangan, dilihatnya Lastri sedang bercanda dengan pak lurah dan bu lurah Marni.
"Lastri, ini telephone buat kamu," kata Timan seraya mengulurkan ponselnya.
"Hallo," sapa Lastri.
"Lastriiii... ini kamu?" bu Marsudi langsung menangis keras, meledak-ledak.

"Ibu, iya.. ini Lastri, bagaimana kabar ibu?"
"Bayu kritis, segera datang nduk... "

Gemetar tangan Lastri, ponsel itu diulurkannya kepada Timan, dan sebelah tangannya berusaha mencabut jarum infus yang masih menancap ditangannya. Mardi terkejut, dan menangkap tangan Lastri.
"Jangan Lastri, tunggu sebentar. Nanti darahmu akan mengucur keluar."

"Aku mau pulang, aku harus ke Solo, aku mau ketemu mas Bayu," katanya dengan berlinangan air mata.

Marni memanggil perawat karena Lastri meronta-ronta ingin melepas jarum infusnya. Mardi memegangi tangan itu dengan kencang.
Timan menjauh, karena bu Marsudi masih belum menutup ponselnya.

"Bu, ibu sabar ya, tampaknya Lastri ingin segera datang kemari. Bisikkan ditelinga mas Bayu bahwa Lastri dalam perjalanan kemari."
"Baiklah nak, aku membuat Lastri panik bukan? Aku mendengar dia menangis dan berteriak-teriak."

"Benar bu, dia langsung minta pulang. Bu lurah sedang memanggil dokternya."
"Ya nak, segera datang dan membawa Lastri ya," kata bu Marsudi masih dengan isaknya.
"Baik bu, bersabar dan terus berdo'a ya bu."

Timan mundur karena dia sedang berdiri didepan pintu, sementara dokter dan perawat masuk melalui pintu itu.

"Bagaimana, mbak Lastri?" tanya dokter muda itu ramah.
"Dokter, lepas infusnya, saya mau pulang," tangis Lastri. Mardi masih memegangi sebelah tangannya.
"Sudah mas, nggak apa-apa, biar perawat melepasnya,"kata dokter yang kemudin memeriksa Lastri.

"Masih pusing?"
Lastri menggeleng.

"Masih merasakan apa? Sakit? Mual?"
Lastri menggeleng lagi. Ia melihat laporan tekanan darah Lastri, baik dan normal. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Baiklah, mbak Lastri boleh pulang sekarang."
Lastri hampir bersorak kegirangan. Ia langsung duduk.

"Pelan-pelan ya, jangan langsung berdiri dan berjalan, nanti pusing lagi," kata pak dokter.

Lastri turun dari ranjang, berdiri dan diam sebentar.
"Pusing?"
Lastri menggeleng.

"Mas Timan, ayo antarkan aku," rengek Lastri tanpa malu-malu."
"Tapi mobilku dirumah pak lurah."

"Mas Timan bawa mobil saya saja, biar cepat. Nanti kalau keadaan sudah tenang baru mas Timan bisa mengambil mobilnya kembali.

"Termakasih banyak pak lurah, Tapi pak lurah pulang naik apa?"  kata Timan sambil memegang lengan Lastri.

"Itu gampang, saya bisa menyuruh orang menjemput kemari. Sekarang saya mau menyelesaikan administrasinya dulu. "

"Ini kunci mobil saya pak lurah, terimakasih banyak, saya mau pergi sekarang."

"Lastri, kamu harus mengganti bajumu lebih dulu. Itu daster rumahan. Dan kamu nggak pake sepatu atau sendal. Aku bawakan baju yang lebih pantas, dan sendal juga." kata Marni sambil memberikan bungkusan baju ganti dan sendal yang dibawanya dari rumah.

"Iya, berganti pakaian dulu sebentar, supaya lebih pantas. Masa mau ketemu pacar penampilan jelek seperti itu." sambung Timan menggoda.

Lastri menurut, berganti pakaian milik Marni yang dibawakannya, dan mengenakan sendal yang kebetulan pas dikakinya.

"Terimakasih yu, Lastri memeluk Marni setelah berganti pakaian, dan menarik tangan Timan agar segera berangkat.
*

Timan membawa Lastri pulang ke rumah keluarga pak Marsudi. Sepanjang jalan Lastri tersedu, dia tak mengira Bayu memikirkannya sampai sekarang. Lastri merasa berdosa mengira Bayu sudah mendapatkan gadis lain.

"Masih pusing?" tanya Timan yang masih merasa khawatir.
"Nggak mas, aku sangat sehat. Aku hanya ingin segera sampai."
"Sabar ya..."

"Bagaimana kalau terjadi apa-apa atas mas Bayu? "
"Jangan berfikiran buruk Lastri, berdo'a demi kesembuhannya ya?"

"Apa yang terjadi dengan mas Bayu setelah aku pergi ?"
"Dia seperti orang bingung. Setiap kali sedang sedih dia pasti datang kerumah. Suatu ketika pak Marsudi ingin mengenalkannya dengan salah seorang anak temannya, gadis itu cantik,  tapi mas Bayu menolak mentah-mentah. Sekarang gadis itu menjadi pacarnya mas Sapto."

"Kasihan mas Bayu, aku merasa bersalah."
"Kamu tidak bersalah Lastri. Kamu pergi karena menghindari kemarahan pak Marsudi."

Banyak cerita Timan tentang Bayu, yang semuanya membuat hatinya teriris pedih.Serasa ingin terbang agar segera bisa menemui kekasih hatinya.
*

 "Sudah bu, jangan menangis lagi, sabar, dokter sudah menanganinya, Bayu pasti akan tertolong." kata pak Marsudi yang berusaha menenangkan hati isterinya.

"Mengapa Lastri belum datang juga?"
"Mestinya sedang dalam perjalanan, sabarlah bu."
"Bapak harus berjanji, nanti kalau Lastri datang bapak harus bersikap manis pada Lastri."
"Iya, aku janji."

"Bukankah bapak akan mengambil Lastri sebagai menantu?"
"Iya, aku janji."

Bu Marsudi berdiri dan masuk kedalam ruang ICU. Dilihatnya Bayu masih terbaring lunglai. Beberapa alat terpasang ditubuhnya. Seorang perawat menunggui dan terus melihat perkembangannya.

"Bagaimana anak saya, suster?"
"Sudah lebih tenang bu," jawab perawat sambil menepuk-nepuk tangan bu Marsudi.
Bu Marsudi mendekat. Digenggamnya tangan Bayu erat-erat, kemudian dibisikkannya sesuatu ditelinga Bayu.

"Bayu, anakku, kamu harus sembuh. Lastri akan segera datang," itu kata-kata yang selalu dibisikkannya ketelinga Bayu setiap sa'at.

"Ma'af bu, mohon ibu keluar dulu, saya akan mengganti infusnya dan menyuntikkan obat kedalamnya. Diharapkan ini adalah obat terakhir yang bisa menolongnya."

Bu Marsudi keluar sambil mengusap air matanya. Hatinya bergetar mendengar kata-kata suster itu. Obat terakhir? Jadi kalau itu tak menolong maka anaknya akan mati?

"Sudah bu, sabar dan tenangkan hati ibu. Duduklah saja disini," kata pak Marsudi.
Sepasang orang tua yang penuh duka itu duduk dikursi tunggu,  bersandar seakan tanpa daya. Mulutnya berkomat-kamit melantunkan do'a.

Tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki, setengah berlari, mengejutkan keduanya. Seorang gadis dengan rambut digelung , dan wajah pucat menghampiri mereka.

"Lastri!!" teriak bu Marsudi.

Lastri bersimpuh dihadapan kedua orang tua Bayu, menciumi tangan mereka satu persatu sambil air matanya bercucuran.

"Kemana saja kamu nduk?" tanya bu Marsudi sambil memeluk Lastri.
"Aku bersalah sama kamu Lastri, ma'afkan aku ya," kata pak Marsudi penuh penyesalan.

"Nggak apa-apa pak, Lastri sudah melupakannya. Mana mas Bayu? Mana mas Bayu?" isaknya sambil melepaskan pelukan bu Marsudi.
"Dia ada didalam, masuklah dan katakan bahwa kamu telah datang."

Lastri berdiri dan berjalan memasuki ruang ICU.
Bu Marsudi tampak sedikit lega. Ada sejuta harapan dengan datangnya Lastri. Semoga ada keajaiban, karena bukankah derita yang disandang Bayu adalah karena kehilangan Lastri."

"Selamat siang bu, pak," Timan muncul tak lama kemudian.
"Oh, jadi Lastri sama nak Timan? Aku sampai lupa menanyakannya tadi."

"Iya bu, bukankah saya telah berjanji? Mana Lastri?"
"Sudah masuk keruang ICU."

Tapi tiba-tiba Lastri keluar sambil menangis. Hampir copot jantung bu Marsudi melihatnya.
"Ada apa Tri? Bayu kenapa?"
"Mana mas Bayu, saya tidak menemukan mas Bayu." tangisnya.

"Dia ada diruang 3. Bukankah ada suster yang menjaganya? "
"Tidak ada bu, mana dia?"

Bu Marsudi berdiri lalu menggandeng Lastri masuk kembali. Disebuah ruang bu Marsudi berhenti.
"Itu Bayu.."

Lastri tercengang. Laki-laki brewok berambut gondrong itu Bayu?
Lastri mendekat, mengawasi dengan seksama.

"Ya Tuhan, benar dia, bibir itu, hidung itu, mata itu, milik mas Bayu," kata batinnya yang kemudian menubruknya dan menangis sesenggukan.

"Mas Bayu.. mas Bayu.. bangun mas, aku Lastri.. aku Lastri sudah datang untuk mas Bayu.. bangun mas.. jangan begini. Kalau kamu mati aku juga akan mati bersama kamu mas.."

Bu Marsudi tak bisa menahan air matanya. Ia meninggalkan Lastri dan membiarkannya melampiaskan kerinduan diantara keduanya. Apakah Bayu bisa merasakannya?

"Dengar mas, aku juga menderita tanpa mas Bayu, aku menangis setiap hari mas. Mengapa kamu begini? Bukankah banyak gadis cantik ada disekelilingmu? Aku hanya gadis desa, tak punya pangkat dan derajat, mengapa bisa membuatmu begini?” Lastri meratap.

“Bangun mas, jangan begini.. jangan biarkan aku terus menangisimu mas... banguun.."

Lastri terus menciumi tangan Bayu, keningnya, lalu terus menerus membisikkan kata-kata penuh rindu yang keluar dari bibirnya.

"Lihat aku mas, aku kemari tanpa membawa apapun demi kamu. Selembar pakaian yang aku bawa adalah pakaian yu Marni, isteri lurah desa, yang juga sahabatku. Sendal yang aku pakai juga milik yu Marni. Aku ingin segera melihat kamu mas, ketemu kamu dan memeluk kamu.

Bangun maaas.. kasihanilah aku.. Aku akan terus mengabdi dan melayani kamu, aku akan selalu ada disamping kamu mas. Aku Lastri, tidakkah mas Bayu mengenali suaraku.

Maaas, buka matamu dan pandang aku, berikan senyum kamu yang selalu membuat hatiku bergetar, yang kemudian menumbuhkan cinta yang terpendam. Bangun mas.. jangan pergi.. kalau kamu pergi aku harus ikut bersamamu. Biarlah kita mati bersama mas."

Lastri masih meremas telapak tangan Bayu, air matanya terus mengucur. Sesekali ditempelkannya tangan itu dipipinya.

Tiba-tiba Lastri seperti merasakan sesuatu. Jari yang digenggamnya seperti bergerak pelan. Lastri melepaskan genggamannya dan mengamati jari-jarinya.

Itu benar, jari tangan itu bergerak-gerak.
"Dokteeeer," Lastri berteriak.

Seorang perawat datang. Lastri tak bisa mengucap apapun, ia menunjuk kearah jari tangan Bayu yang terkadang bergerak-gerak.

Perawat lari memanggil dokter. Lastri mundur ketika dokter itu datang. Bajunya basah oleh air mata yang membasahinya.

Dokter yang datang segera memeriksa keadaan Bayu. Lalu entah apa lagi yang dilakukannya, Lastri tak henti-hentinya berdo'a.

Tiba-tiba dokter menoleh kearahnya sambil tersenyum.
"Dia akan sadar, dan sembuh. Tekanan darahnya mendekati normal."

Entah karena obat pamungkas yang disuntikkan beberapa sa'at lalu, atau karena kedatangan Lastrilah maka keadaan Bayu jadi membaik. Wallahualam.  Kenyataannya hal membahagiakan itulah yang kemudian didengar oleh telinga Lastri.

Lastri ingin bersorak, tapi justru air matanya yang mengucur lagi. Tak sadar dipeluknya dokter muda itu. Lalu kemudian dia tersipu ketika menyadari sikapnya.

"Ma'af.. aku.. saya.. minta ma'af." kata Lastri tersipu.
"Ibu isterinya?"
Lastri bingung menjawabnya, tapi dia menggeleng malu.

"Calon, barangkali." kata dokter sambil tersenyum, kemudian beranjak pergi, sambil memberi instruksi kepada perawat yang menjaganya.

Lastri kembali mendekati Bayu. Mata itu masih terpejam, tapi wajahnya tak sepucat tadi. Lastri terus menggenggam tangannya, terkadang meremasnya.

Timan yang kemudian ikut masuk, melihat Lastri tidak lagi menangis. Melihat Timan, Lastri melambaikan tangannya.
"Mas Bayu membaik mas, tadi tangannya sudah bergerak-gerak," kata Lastri sambil tersenyum.

"Alhamdulillah. Itu berkat kamu Tri. Dia sungguh-sungguh membutuhkan kamu."
Lastri tersenyum. Ia duduk disebuah kursi yang ada disitu, sambil tangannya tetap menggenggam tangan Bayu.

"Ya sudah, aku akan mengabarkan keadaan ini kepada bapak dan ibu Marsudi." katanya setelah melihat keadaan Bayu.
*

Lastri meletakkan kepalanya pada pinggiran kasur, sambil tangannya terus memegangi tangan Bayu. Ia merasa sangat letih. Semalam dia juga tak bisa tidur, dan hari ini situasi sangat membuat jiwanya lelah. Tak terasa kantuk menyerangnya dan dia tertidur.

Bu Marsudi dan pak Marsudi yang menjenguk kedalam, kemudian tersenyum lalu meninggalkannya. Tentu saja mereka sudah bisa tersenyum, karena Timan sudah mengatakan kalau keadaan Bayu membaik.

Mereka tetap menunggu diluar.
Lastri terlelap, dan bermimpi sedang berlarian disebuah taman bunga bersama Bayu. Lastri bersembunyi dibalik serumpun bunga, dan Bayu tak berhasil menemukannya.

"Lastri.... Lastri..." panggil Bayu. Tapi Lastri tak menjawab, ia sedang menggoda Bayu agar bingung mencarinya.

"Lastri... " tapi kemudian Lastri terkejut. Seseorang memegang kepalanya. Lastri membuka matanya. Mimpi itu telah berakhir.
*

Bersambung …


Tidak ada komentar:

Posting Komentar